Beberapa Pelajaran dari Piala Dunia 2018
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Beberapa Pelajaran dari Piala Dunia 2018

Jumat, 06 Jul 2018 14:18 WIB
Arif Yudistira
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Beberapa Pelajaran dari Piala Dunia 2018
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Piala Dunia selalu memikat mata dan hati kita. Selain membuat orang bersatu padu, Piala Dunia membuat dunia tertuju padanya. Perhelatan sepakbola terakbar di dunia itu menjadi ajang paling bergengsi. Sepakbola bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi negara-negara di dunia ini. Ia tak cuma pertaruhan di lapangan, tapi juga di luar lapangan.

Dalam garis tertentu, ia meluluhlantakkan batas teritorial pula. Seorang fans pemain sepakbola, belum tentu fans tim negara yang bertanding, atau sebaliknya. Di Piala Dunia, tak cuma pertaruhan harga diri negara, tapi juga suporter, semangat, dan aksi para pendukung menjadi sorotan dunia.

Di persaingan menuju perempat final misalnya, kita disuguhi fenomena unik sekaligus ekstrem. Seorang pendukung Messi bunuh diri saat menyaksikan tim Argentina kalah. Ia belum sempat menyaksikan Argentina lolos ke babak berikutnya, meski harus tersingkir dan tak masuk perempat final. Argentina harus menerima kekalahan melawan Prancis dengan selisih tipis 4-3.

Bunuh diri dari seorang warga India itu menjadi peristiwa yang menerobos batas-batas negara. Sepakbola menerobos batas-batas itu. Kekaguman dan decak seorang fans bisa begitu dramatis. Fenomena tersebut membuat kita jadi mahfum, sepakbola seperti mendekatkan begitu jauh jarak. Ia bisa melekatkan satu sama lain dalam satu ruang bernama stadion.

Selain aksi dari fans yang begitu ekstrem, kita juga disuguhi betapa ajang Piala Dunia menjadi pertaruhan sengit antara harga diri tuan rumah dan harga diri negara. Rusia selain menyambut warga dari seantero dunia dengan baik, Vladimir Putin juga menunjukkan sebagai tuan rumah yang profesional dan ramah bagi dunia. Rusia juga ditantang untuk melaju ke perempat final. Sebagai tuan rumah, tentu Rusia tak mau menanggung malu untuk "pulang" duluan. Dan, sampai sekarang, Rusia masih membuktikan tekadnya dari semangat suporter dan pemainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ujian Keunggulan Bangsa

George Orwell pernah menulis perkara sepakbola ini di sebuah esainya: Di level internasional, olahraga adalah cerminan peperangan. Tapi, hal yang paling berarti bukanlah perilaku pemain, melainkan sikap penonton. Dan, selain sikap penonton, sikap bangsa yang menjerit-jerit kegirangan hanya karena kontes olahraga yang, jujur saja, absurd, dan benar-benar mempercayai --selama beberapa waktu, paling tidak-- bahwa berlari-lari, melompat-lompat, dan menendang bola ke sana kemari adalah sebuah ujian untuk keunggulan bangsa.

Apa yang "tidak (bisa) diterima" bagi Orwell, tetap berlangsung sampai sekarang. Piala Dunia akan memberikan ujian di lapangan maupun luar lapangan. Teriakan suporter, gengsi sebuah bangsa, dan pertaruhan menang atau kalah ada di sana. Kita bisa ikut menangis ketika Messi tertunduk, dan ribuan suporter Argentina di belahan dunia mana pun dalam satu waktu menundukkan kepala untuk kekalahan Argentina.

Apa yang dialami oleh Argentina juga dialami oleh Jerman yang harus bertekuk lutut terhadap Korea Selatan, satu-satunya negara Asia yang mampu mengalahkan juara bertahan di Piala Dunia tahun ini. Tentu ini menjadi semacam kebanggaan tersendiri bagi negara Asia melawan klub besar Eropa. Kita tahu, pelatih maupun pemain, apalagi penonton German menjadi sangat sedih ketika harus menyaksikan tim kesayangan mereka gagal dan kalah.

Tapi, ada yang menarik di ajang Piala Dunia tahun ini. Meski kalah dan gagal maju di perempat final, Jepang dan Senegal bersama-sama membersihkan stadion. Para suporter dan para pemain menunjukkan negara mereka meski kalah, tetap menjaga etos dan tradisi di negara mereka. Jepang dan Senegal tak meninggalkan sampah, dan membuat ruang ganti dan stadion bersih seperti semula.

Fenomena ini menjadi sorotan dan viral di media sosial, dan gencar di pemberitaan internasional. Jepang selama ini memang dikenal sebagai negara dengan etos yang tinggi dalam kerja. Selain itu, Jepang sendiri juga dikenal sebagai negara yang bersih dan pandai mengelola sampah. Mereka juga dikenal sebagai negara yang menanamkan sejak dini perkara kebersihan.

Apa yang dilakukan oleh Jepang dan Senegal tentu semakin meyakinkan mereka bahwa mereka sebenarnya juara di luar lapangan pula. Bagi Senegal, piala dunia kali ini meski belum membawa mereka ke perempat final, mereka membuktikan bukan tim yang remeh temeh di benua Afrika. Mereka mampu membuktikan di lapangan bahwa negara Afrika juga mampu bermain bola dengan cantik dan sportif. Yang paling mengharukan tentu melihat para suporter dan penonton Jepang memungut sampah sembari meneteskan air mata. Meski kalah, mereka tidak meninggalkan etos dan budaya mereka mencintai kebersihan.

Apa yang dilakukan oleh Jepang di Piala Dunia ini adalah bagian dari tradisi yang dibangun bertahun-tahun bahkan ribuan tahun untuk membentuk karakter negara yang kuat dan berbudaya. Kita, Indonesia, bisa belajar dari sikap Jepang ini, sebagai modal atau bekal untuk mencanangkan diri sebagai tim maupun suporter yang beradab. Dan, hal ini tentu memerlukan proses yang cukup panjang.

Arif Yudistira tuan rumah Pondok Filsafat Solo, suporter Prancis di Piala Dunia 2018
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads