Di awal Juli ini para bakal calon legislatif (bacaleg) di semua daerah di Indonesia, baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi sibuk mempersiapkan semua berkas persyaratan pendaftaran. Beberapa hari terakhir ada satu persyaratan yang membuat para caleg yang bersemangat ini menjadi bingung, yaitu tes kesehatan (jasmani, rohani, dan bebas narkoba).
Tes kesehatan caleg kali ini bahkan sempat menjadi polemik yang diperdebatkan oleh para caleg di beberapa daerah dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak keluarnya Surat Edaran (SE) dari KPU pusat No. 627 pada 30 Juni. Surat edaran tersebut berisikan daftar nama rumah sakit pemerintah di setiap kota/kabupaten dan provinsi yang memenuhi syarat sebagai rumah sakit rujukan dari KPU untuk para caleg melakukan tes kesehatan. Daftar nama rumah sakit tersebut bahkan tidak terpisahkan dari Peraturan KPU, artinya semua caleg harus memeriksakan/melakukan tes kesehatan di rumah sakit yang sesuai rujukan KPU.
Adanya daftar nama rumah sakit rujukan KPU tersebut membuat banyak caleg yang kecewa dan jengkel karena tidak semua rumah sakit pemerintah di daerah masuk daftar, padahal sudah banyak caleg yang memeriksakan kesehatan sebelumnya. Alhasil, KPU kembali mengeluarkan SE No. 633 yang menjelaskan bahwa sepanjang "memenuhi syarat" maka rumah sakit bisa melakukan pemeriksaan terhadap bacaleg, baik rumah sakit swasta, rumah sakit TNI, maupun rumah sakit Polri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KPU melalui ketuanya mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa bukan mereka yang menentukkan daftar rumah sakit rujukan tersebut, tapi mereka meminta (bekerja sama) Kementrian Kesehatan untuk memilih/menentukan rumah sakit mana saja di seluruh Indonesia yang dapat dijadikan rujukan oleh KPU kepada para caleg. Kemenkes pun menentukan nama-nama rumah sakit rujukan tersebut berdasarkan akreditasi.
Apa yang sudah dilakukan oleh KPU bekerja sama dengan Kemenkes menentukan rumah sakit rujukan mungkin memang menyulitkan para caleg. Tapi, menurut saya hal itu sebenarnya merupakan langkah positif, karena berhubungan dengan bagaimana kualitas tes kesehatan para caleg tersebut. Kualitas tes kesehatan tentu akan menentukan hasilnya. Namun, memang perlu penjelasan dari KPU juga Kemenkes mengenai alasan kenapa tidak semua rumah sakit pemerintah menjadi rujukan. Apalagi, tidak semua caleg bahkan juga partai mengerti tentang akreditasi rumah sakit.
Terlepas dari rumah sakit mana saja yang memenuhi syarat untuk tes kesehatan caleg, sebenarnya yang terpenting bagaimana KPU membuat tes kesehatan untuk para caleg ini tidak hanya menjadi sebuah formalitas. Hal ini patut kita pertanyakan, karena saya pribadi menilai bagi para caleg dan juga partai (umumnya) menganggap bahwa tes kesehatan hanyalah sebuah persyaratan yang tidak terlalu penting. Sebab, bagi para caleg dan juga partai tentunya yang paling penting adalah modal dan popularitas caleg itu sendiri untuk maju dalam pileg.
Saya mengambil contoh, ada salah satu caleg sebut saja dia Mr X di kota Y mengeluh karena merasa uang tes kesehatan yang dia bayar (kenapa bukan partai yang bayar ?) di rumah sakit cukup mahal. Jadi, menurutnya mungkin tes kesehatan cukup di puskesmas saja. Meskipun dalam Peraturan KPU surat keterangan sehat memang dapat diurus/dibuat di puskesmas, tapi pemeriksaan kesehatan di puskesmas sangatlah terbatas --dalam hal alat medis, dan hanya dokter umum yang memeriksa.
Sebaiknya kalau memang tes kesehatan caleg adalah bagian penting dari persyaratan, maka caleg seharusnya dites kesehatan mulai dari fisik, fungsi organ, riwayat penyakit, kejiwaan/psikis, dan tentunya bebas narkoba (bukan hanya tes urine tapi sebaiknya rambut juga untuk hasil yang akurat). Pemeriksaan lengkap seperti itu pasti tidak dapat dilakukan di tingkat puskesmas, karena pemeriksaan lengkap tersebut hanya dapat dilakukan di rumah sakit (minimal RS tipe/kelas C).
Masyarakat tentu menginginkan para wakilnya nanti adalah pribadi yang sehat secara jasmani maupun rohaninya, serta bukan mantan koruptor. Tugas sebagai wakil rakyat bukanlah sebuah tugas dan tanggung jawab yang ringan. Menjadi wakil rakyat itu berat, oleh karenanya dibutuhkan sosok yang sehat secara jasmani dan rohani, agar nantinya benar-benar mampu melakukan tiga fungsi utama (legislasi, penganggaran, dan pengawasan).
Bagaimana mungkin seorang wakli rakyat mampu menetapkan undang-undang ataupun kebijakan lainnya kalau ternyata nanti sering sakit-sakitan? Bagaimana mungkin bisa menyusun anggaran dengan benar kalau ternyata mentalnya korup? Dan, bagaimana mau mengawasi jalannya pemerintahan kalau kejiwaannya sebenarnya terganggu?
Kita (masyarakat) perlu mengapresiasi dan terus mendukung langkah-langkah positif yang sudah dilakukan oleh KPU sejauh ini (salah satunya melarang eks koruptor untuk menjadi caleg). Namun, ke depannya KPU --pusat maupun daerah-- perlu memperjelas dan memperketat peraturan mengenai tes kesehatan para caleg, agar tes kesehatan yang dilakukan tidak hanya menjadi formalitas belaka.
Zefan Adiputra Golo dosen Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Stikes Bakti Nusantara Gorontalo