Panitia SBMPTN tahun ini menerapkan pukat penerimaan mahasiswa baru yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya, penilaian SBMPTN sangat sederhana: benar dihargai 4 poin, salah diberi sanksi -1 poin, dan tidak diisi dihitung 0 poin. Dampaknya, siswa tak bisa sembarangan mengisi agar tidak diberi sanksi -1. Siswa disarankan mengerjakan mata uji dari yang mudah hingga yang sulit sesuai ritme otak. Sebab, otak jika langsung dipaksa mengerjakan soal sulit akan tertekan. Karena itu, para mentor selalu menganjurkan agar siswa mengerjakan soal-soal mudah terlebih dahulu.
Lagi pula, siswa yang ikut SBMPTN bersaing pada soal yang mudah, bukan soal sulit. Pertimbangannya sederhana: soal mudah rata-rata bisa dikerjakan banyak orang, sementara soal sulit hanya bisa dikerjakan orang-orang tertentu. Nah, setelah berpengalaman bertahun-tahun dengan sistem ini, kami sudah sangat biasa meluluskan banyak siswa ke PTN-PTN favorit, mulai dari UI, ITB, UGM, Unibraw, dan sebagainya. Bahkan, sebelum SBMPTN dimulai, kami sudah bisa menduga siapa saja siswa yang akan lulus pada PTN dan jurusan favorit. Dugaan itu umumnya tidak meleset.
Tahun ini, untuk pertama kali skema SBMPTN sudah berubah. Sudah tak diterapkan lagi benar (4), salah (-1), dan kosong (0). Bahkan, konon, sistem pembobotan sudah dilakukan. Dampaknya, dengan sistem ini peserta yang menjawab jumlah soal yang sama dengan peserta lain belum tentu mendapatkan nilai yang sama. Nilai tergantung pada soal mana saja yang dikerjakan. Teknisnya bahkan sangat kompleks. Pada tahap I, semua jawaban peserta dihitung: benar 1 dihitung 1 dan kosong/salah dihitung 0. Tahap II, Teori Respons Butir (Item Response Theory) diterapkan.
Ibarat Lotre
Sekilas harus diakui, sistem ini sangat canggih, apalagi konon sistem ini sudah dilakukan di negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa. Sebelum pengumuman, saya bahkan sangat optimistis bahwa sistem ini akan menjaring calon mahasiswa yang "profesional". Dikatakan "profesional", sebab dengan sistem selama ini yang menurut saya sudah sangat bagus, namun hasilnya masih saja buram. Betapa tidak, sekitar 87 persen mahasiswa yang telah kuliah pun merasa salah dalam memilih jurusan. Ini terjadi karena sekitar 90 persen calon mahasiswa juga bingung dalam memilih jurusan kuliah (Kompas, 1/5/2018).
Namun, setelah pengumuman hasil SBMPTN tahun ini, saya sangat terkejut. Dugaan kami terhadap siapa saja siswa yang akan diterima di jurusan favorit umumnya meleset, bahkan hampir menyentuh angka 80 persen. Sebaliknya, siswa yang kami pikir tidak akan lulus PTN malah lulus, bahkan tak sedikit ke jurusan dan universitas favorit. Mengapa? Banyak alasan yang mungkin menjadi penyebab. Namun, dalam benak saya yang menjadi penyebab utamanya adalah karena tidak adanya penskoran, terutama karena tiadanya nilai minus untuk jawaban yang salah. Akibatnya, ibarat lotre, setiap siswa berlomba-lomba mengisi jawaban.
Ini berdampak luas, bahkan sangat luas, terutama karena adanya sistem pembobotan nilai. Jika dulu siswa berloma-lomba mengerjakan soal yang mudah lalu menghindari soal yang rumit, apalagi karena adanya nilai minus, sekarang justru sebaliknya. Siswa rata-rata menjawab soal mana saja, terutama yang rumit. Sembarang menjawab soal rumit ini tentu sangat menguntungkan: dijawab benar maka nilainya akan bertambah banyak karena bobotnya tinggi, sementara kalau dijawab secara salah pun tak akan mengurangi nilai. Maka, siswa-siswa pun mencoba peruntungannya.
Sayangnya, di Medan, karena keterbatasan informasi, belum lagi karena pada malam terakhir menjelang SBMPTN, Panitia Lokal 44 Surakarta mengeluarkan surat edaran. Pada surat edaran itu, tepat pada poin B-8 disebutkan bahwa akan ada pengurangan nilai. Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya sudah diumumkan bahwa tak ada pengurangan nilai. Akibatnya, siswa-siswa kebanyakan tidak menjawab sembarangan. Namun, tetap saja banyak siswa yang sembarang menjawab. Saya sendiri kepada siswa-siswa yang bertanya tentang surat edaran itu menyarankan agar mereka tetap menjawab semua soal.
Hasilnya, dari penjajakan sementara yang saya lakukan, kelulusan siswa saya lebih baik daripada kelulusan kelas yang diwalikan rekan guru lain. Padahal, secara grade, kelas saya lebih rendah daripada kelas rekan guru lain tersebut. Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah karena umumnya siswa-siswanya juga takut menjawab soal secara sembarang. Namun, penjajakan lain yang saya dapatkan, umumnya bimbel-bimbel favorit dan besar di Medan mendapatkan hasil kelulusan yang jeblok tahun ini. Beda dengan bimbel-bimbel di Jakarta, umumnya kelulusan mereka baik.
Bahkan, dibandingkan dengan bimbel di Jakarta dengan merk yang sama dengan kami, mendapatkan kelulusan yang jauh lebih baik. Mendapatkan kenyataan tersebut, saya menanyakan kiat-kiat dari mereka. Ternyata, jawabannya sederhana: karena tidak ada sistem pengurangan nilai, siswa-siswa di Jakarta umumnya membabat semua soal tanpa takut pengurangan nilai. Pertanyaannya tentu sederhana: apakah dengan sistem ini niat panitia untuk mendapatkan mahasiswa profesional terpenuhi? Dari hasil yang kami terima dan saya amati, saya sangat tidak yakin.
Saya justru melihat sistem ini sebagai kemunduran, setidaknya dari sistem-sistem sebelumnya. Sistem ini bahkan mendekati myth dengan caranya yang tragis: menjauhi logos. Padahal, melalui SBMPTN kita sedang mendaulatkan logos untuk menghindari myth. Faktanya, dengan sistem ini kita justru menuhankan myth. Mengapa? Sebagaimana lotre, jangankan kita, siswa pun tak tahu mengapa menang, mengapa pula kalah. Inilah sistem yang tidak terukur yang penuh dengan kegelapan.
Tidak ada transparansi, bahkan sesama dosen dan guru besar juga agaknya tidak saling mengetahui. Transparan dalam artian yang lebih lugas, yaitu tahu mengapa lulus dan mengapa tidak. Poin saya menuliskan artikel singkat ini adalah supaya skema SBMPTN yang sekarang ini diubah dan dipercanggih lagi. Kalau tidak bisa, setidaknya mengikuti sistem sebelumnya. Sistem ini sudah gagal untuk mendapatkan siswa "profesional" dengan sangat tragis.
Tragisnya adalah, siswa-siswa "berpotensi" tidak lulus, tetapi siswa-siswa yang "diragukan" malah lulus. Saya tidak bisa membayangkan, apalagi di tengah radikalisme yang kini masuk ke jantung pendidikan tinggi, jangan-jangan siswa-siswa yang diragukan ini kelak malah menjadi sasaran empuk para kaum radikalis di kemudian hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)