Gibran, Sumiyati, dan Kemanusiaan Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Gibran, Sumiyati, dan Kemanusiaan Kita

Selasa, 03 Jul 2018 14:06 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Kemarin muncul berita seru dari Solo, Saudara. Ribuan orang menggelar aksi ganti presiden. Yang agak mengganggu, aksi tersebut digelar di depan Markobar, warung martabak miliknya Gibran anak Jokowi.

Iya, iya, katanya sih nggak sengaja orang-orang kumpul di situ. Makanya saya tak hendak membicarakan demonya itu sendiri. Yang lebih saya (dan pasti Anda juga) sukai adalah bagaimana komentar Gibran melihat ribuan orang mendemo bapaknya di depan warungnya.

Terima kasih sudah antre dari pagi, Markobar memang terbukti kelezatannya sebagai pionir martabak manis dengan toping premium.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hehehe. Gemblung.

Andai saya jadi Gibran, tentu saya akan bersikap jauh lebih reaktif. Dengan strategi komunikasi kecil-kecilan, saya akan mencari dukungan emosional dari orang-orang yang sama-sama sebal.

Duh, anak presiden yang dulu pada berebut fasilitas dan dukungan bapaknya buat maju ke medan politik. Saya sih jualan martabak saja, wong nggak paham politik. Tapi kok ya tetap dikejar-kejar begini, ya? Apesss... hehehe.

Kira-kira seperti itulah yang mau saya twitkan. Meski masih terasa selow, minimal tetap ada upaya untuk menunjukkan kemarahan yang sayup-sayup.

Nah, tapi Si Gibran beda. Responsnya jenaka, bahkan dengan licin ia menggunakan arus ketidaksukaan kepada bapaknya untuk mengiklankan dagangannya! Bwahaha!

***

Sekitar dua bulan lalu, saya menghadiri diskusi buku di sebuah warung kopi. Dua sastrawan hebat berbicara di sana, Mas Agus Noor dan Mas Eko Triono. Dalam obrolan itu ada satu isu menarik, yakni bagaimana para cerpenis sekarang dinilai takut-takut melakukan eksplorasi sastra yang berselera humor.

Kesimpulannya, di zaman ini orang mulai ketakutan dengan humor. Bahkan rasa takut itu merasuk ke ceruk-ceruk yang sebenarnya relatif aman dari segala konsekuensi buruk, misalnya sastra. Bayangkan saja, di dalam ruang-ruang kesusastraan pun para penulis takut melucu!

Atmosfer yang mendung seperti ini berbeda dengan di masa Orba. Dulu orang takut melucu karena kekuasaan tangan besi membatasi selera atas kelucuan-kelucuan. Sekarang ketakutan itu datang dari sebab yang berbeda. Bukan karena ancaman popor senjata, tapi karena teman-teman dan tetangga.

Kita sekarang jadi terlalu akrab dengan situasi lapor-melaporkan, Saudara. Pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan penistaan agama. Dua yang pertama rasanya masihlah bisa diabaikan dalam sastra. Toh, itu sastra. Dalam cerpen, misalnya, tokoh-tokohnya rekaan semata. Orang masih paham bahwa ketika seorang tokoh dalam cerpen dituliskan, segala polah tingkahnya juga diposisikan sebagai rekaan.

Bisa jadi sih tokoh itu memang menyindir seseorang di alam nyata. Namun, orang tetap paham bahwa sindiran dalam sastra bukan sindiran yang bisa menjadi, mmm, semacam amunisi hukum, gitulah.

Malangnya, ketika menghadapi ancaman tuduhan penistaan agama, batasannya semakin kabur tak jelas. Ya kalau masyarakat kita paham sastra, dan memosisikan sastra tetap sebagai sastra. Pada kenyataannya, publik awam tidak paham apa itu sastra. Ya to? Walhasil, apa yang dituliskan dalam "koridor epistemologis" kesusastraan pun tetap akan menanggung risiko disambar tetangga sendiri sebagai sebuah ulah penistaan!

Tak ayal, para sastrawan pun ketar-ketir penuh kecemasan. Honor cerpen tak seberapa, masa iya harus menanggung risiko dua tahun penjara? Aduduuh. Jadilah lebih baik semua menghindar saja. Jauhi lelucon saat menulis karya sastra!

***

Kalau terus dibiarkan, iklim seperti ini berbahaya. Di mana-mana orang bertampang tegang dan seriuuuss.

Saya sendiri tak yakin apakah "di mana-mana" itu betulan di alam nyata. Bisa jadi sebenarnya cuma gara-gara setiap orang memajang etalase dirinya di dunia maya. Padahal, wajah berkerut dan kata-kata yang kecut dari mereka hanya muncul di medsos, hanya mencuat kalau bicara politik, apalagi agama. Yang demikian itu tidak akan tampak kalau perbincangannya hanyalah soal sehari-hari belaka di alam nyata.

Repotnya, benarkah kita masih punya perkara sehari-hari? Bukankah sekarang ini selalu ada saja caranya orang menyeret setiap hal kecil menjadi urusan politik, dan setiap urusan politik menjadi urusan agama? Siapa yang akan mampu melucu dalam udara sepengap ini? Oh Tuhan....

Tak bisa tidak, harus ada gerakan kebudayaan yang habis-habisan untuk melawan segenap keseriusan yang menakutkan ini. Dunia butuh dimanusiakan kembali. Dengan humor, dengan lelucon, dengan suara tawa yang enak, bukan tawa tertahan yang penuh kecemasan dan ketakutan.

Saya rasa, Gusti Allah sudah menurunkan satu tanda kepada kita agar kita pulang kembali menjadi manusia. Ada seorang guru spiritual yang Dia datangkan di tengah umat manusia Indonesia, namun banyak di antara kita yang tak kunjung menyadarinya.

Bude Sumiyati, namanya. Anda kenal? Cobalah masuk ke akun Instagram-nya, dan Anda akan menemukan rentetan aforisma-aforisma yang menggetarkan dada.

Ingin jadi bunga desa tapi takut riba; Cinta yang bersenggama dengan jarak akan melahirkan rindu yang beranak pinak; Seandainya kamu benar mencintai aku dan dia, aku rela cuma dapat mencinnya dan dia dapat tainya.

Satu-dua kali saya terpingkal membaca kalimat-kalimat suci itu. Tapi, tiga-empat kali saya melihat bahwa kualitas humor seperti itu tidak mungkin diraih oleh manusia-manusia dengan jidat berkerut yang kehilangan kemanusiaan mereka.

Bude Sumiyati adalah sosok nyata yang mampu menyajikan kata-kata dalam makna yang jauh melampaui teks. Dengan kemarahan-kemarahan sampeyan selama ini, dengan kadar keseriusan sampeyan dalam memamah berita-berita selama ini, kualitas kemanusiaan seperti Bude Sumiyati tak akan bisa sampeyan raih. Percayalah.

Cermati saja, orang-orang yang kehilangan saraf kelucuan dalam kepala dan hati mereka lazimnya adalah kaum yang berhenti membaca teks hanya sebatas sebagai teks. Mereka tidak punya itikad dan kemampuan untuk melompat beyond the text. Itulah akar tunggang dari sindrom ketidaklucuan yang menjangkiti peradaban Nusantara hari-hari ini.

Selama ini, kita selalu memaknai kemanusiaan dengan begitu cupetnya. Kita bicara keragaman, kehidupan, nyawa, kematian, lingkungan, atau masa depan ilmu pengetahuan. Di saat yang sama kita lupa bahwa untuk menjadi manusia kita perlu juga mencerap hidup dengan penuh canda tawa. Sebab kemanusiaan adalah ke + manusia + an. Kemanusiaan adalah paket ikhtiar untuk bersama-sama menjadi manusia!

Lah, dengan keseriusan tak bertepi yang selalu sampeyan pamerkan itu, sungguhkah sampeyan mampu untuk benar-benar menjadi manusia?

Maka, Bude Sumiyati adalah kunci. Begitu pula Gibran Rakabuming. Tidak, tidak. Saya tidak akan memuja dan mendukung Gibran dalam orientasi agar dia melanjutkan dinasti politik bapaknya. Politik terlalu remeh dan profan. Peran kemanusiaan seorang Gibran sebagai pedagang martabak justru sudah jauh melampaui tugas-tugas politik kekuasaan.

Di mana pun pilihan politik Anda, kita perlu mengikuti mereka. Sosok-sosok seperti Gibran dan Bude Sumiyati akan membuka lorong setapak, agar kita bisa bergandengan tangan dan berjalan pulang. Pulang, sesaat mencampakkan fungsi diri sebagai mesin politik dan mesin perang, lalu hadir sebagai manusia sejati dalam laku spiritual paripurna seperti ini: menertawakan diri sendiri.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads