Penurunan Pajak UKM
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Penurunan Pajak UKM

Senin, 02 Jul 2018 16:00 WIB
Ivan Wibowo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sosialisasi pajak UKM 0,5% di Bali (Foto: Hendra Kusuma)
Jakarta - Presiden Joko Widodo menurunkan pajak bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Penurunan yang penting, karena diturunkan setengahnya. Ribuan UKM menghadiri peluncuran penurunan pajak itu di Surabaya. Namun, benarkah UKM diuntungkan?

Alkisah, bertahun lalu terjadi penyederhanaan sistem perpajakan bagi UKM melalui Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 (PP 46). Segala keruwetan pajak bagi UKM hilang seketika. Mudah sekali perhitungannya, pajak UKM adalah 1% dari omzet. Sesederhana itu. Juga mudah pengurusannya. PP 46 memangkas kerumitan pajak UKM secara sangat signifikan. Selain itu, terjadi kepastian perpajakan; sudah jelas, dan tidak dapat diperdebatkan berapa pajak yang harus dibayar. Bukan main!

Awal Maret lalu, pada Rapimnas HIPMI, Presiden Jokowi mengatakan bahwa banyak keluhan dengan pajak 1% itu karena dianggap terlalu tinggi. Jadi, Presiden ingin menurunkan pajak UKM menjadi 0,5 persen. Sungguh sebuah kemuliaan. Semula Presiden menginginkan 0.25%, tapi ditolak oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bertemulah pada angka 0.5%, dan berlaku sejak Juni 2018 ketika Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2018.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Batasan Waktu

Aturan baru itu, selain menurunkan pajaknya, juga memberikan batasan waktu pemberlakuan aturan tersebut. Untuk wajib pajak perorangan dibatasi 7 tahun, sedangkan wajib pajak badan usaha dibatasi antara 3-4 tahun. Setelah waktu tersebut habis, maka akan kembali seperti semula lagi, yaitu di antaranya adalah pajak dihitung berdasarkan pembukuan.

Bagi wajib pajak (WP) badan usaha yang sebelumnya telah terdaftar, pembatasannya lebih pendek lagi. Hal ini berarti bahwa UKM akan kembali pada kerumitan perpajakan. Kerumitan yang akan dialami oleh UKM tersebut yakni, kewajiban mengurus potongan pajak; ini untuk WP bidang jasa, di mana harus merepotkan pihak lain, yaitu penerima jasa (customer). Banyak sekali halangan teknis di sana, dan terlalu panjang untuk disampaikan di sini.

Ketidakpastian nilai pajak; demikian ciri khas sistem pajak non final, yaitu adanya ketidakpastian nilai yang harus dibayar, di mana akan berujung pada pemeriksaan pajak, di antaranya baik pemeriksaan pajak karena "lebih bayar" maupun pemeriksaan pajak karena fiskal.

Lebih bayar artinya membayar pajak melebihi kewajiban Anda membayar. Negara wajib mengembalikan kelebihan itu, dan oleh karenanya harus ada pemeriksaan untuk menghitung secara teliti sebelum kelebihan dikembalikan (restitusi). Kalaupun lebih bayar itu hanya Rp 1 (satu rupiah), tidak ada pilihan lain selain mengadakan pemeriksaan.

Lebih bayar adalah sebuah anomali dalam perpajakan. Contohnya begini, Anda makan satu piring di warteg, dan Anda membayar untuk dua piring. Tentu warteg akan menyambut gembira. Tidak demikian dengan pajak. Kalau Anda membayar untuk dua piring, maka Anda malah diperiksa dompetnya, diperiksa kantong celananya, dicek kantong bajunya, dan seterusnya. Sudah bayar lebih banyak, malah dapat kesusahan. Sayangnya, dalam sistem pajak dengan pembukuan, maka "lebih bayar" atau "kurang bayar" adalah keniscayaan. Saya yakin Anda pun memahami bahwa biaya sosial dari "lebih bayar" itu teramat tinggi, sangat tidak baik untuk masyarakat.

Demikian pula pemeriksaan fiskal, akan menghitung apakah pengeluaran wajib pajak itu telah sesuai ketentuan perpajakan. Ini penting karena pajak dihitung dari keuntungan. Keuntungan adalah pendapatan dikurangi pengeluaran. Nah, petugas pajak harus mencoret pengeluaran yang tidak sesuai ketentuan perpajakan. Misalnya, Anda pengusaha warteg dan membeli pesawat terbang untuk kendaraan operasional, tentunya uang membeli pesawat itu tidak bisa menjadi pengeluaran warteg tersebut.

Namun demikian, contoh pesawat terbang adalah contoh ekstrem. Dalam praktik tentu tidak sesederhana itu, sehingga coret-mencoret itu sungguh susah dipahami oleh pengusaha kelas UKM.

Kembali Hadir

Kerumitan tersebut telah dihapuskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2013. Sayangnya, kerumitan itu kembali hadir sejak aturan baru diberlakukan oleh Presiden Jokowi.

Pemangkasan kerumitan ini penting. Bagaimanapun, UKM bukan konglomerat karena sumber daya yang sangat terbatas. Tidaklah mungkin UKM untuk memiliki manajer keuangan, manajer pajak, dan lain lain. Segala urusan termasuk pajak harus ditangani sendiri oleh pemilik UKM tersebut, di mana pastinya dia bukan ahli pajak, bukan ahli keuangan, bukan ahli akuntansi. Juragan warteg atau toko kelontong tidaklah mungkin diharapkan untuk memahami pembukuan. Waktu komersial UKM akan dihabiskan untuk mengurus kerumitan perpajakan itu, ketimbang mengurus bisnisnya.

Sebaliknya, sistem pajak final bagi UKM saat ini justru menawarkan kemudahan dan kepastian. Tidak ada yang bisa diperdebatkan lagi karena semuanya telah sangat jelas sejak awal. Metode ini cocok untuk UKM.

Sayangnya, Kantor Pajak mengatakan bahwa idealnya pajak adalah sistem pembukuan. Apabila cara berpikir seperti itu, maka sistem norma juga harus dihapuskan. Keterangan resmi sejumlah petinggi pajak adalah pajak final tidak berkeadilan, karena rugi pun kena pajak. Kiranya, biarlah wajib pajak UKM menentukan sendiri mana yang rugi dan mana yang untung. Kalau benar pajak final itu merugikan, UKM ramai-ramai sudah pindah ke pajak reguler yang pembukuan dan maharumit itu, dan PP 46 sekalipun kemarin masih berlaku akan tidak ada UKM yang menggunakan. Kenyataannya kan tidak begitu.

Neraka kerumitan pajak itu pasti akan dialami UKM. Selain itu, tepat pada saat itu pula, pajak final 0.5% itu akan raib, dan Presiden Jokowi terjebak untuk memulai sejarah di mana administrasi perpajakan UKM dipersamakan dengan konglomerat.

Apa gunanya pajak diturunkan, apabila kemudian dikembalikan seperti semula? Selain itu, pada dasarnya Presiden Jokowi menghilangkan kemudahan perpajakan bagi UKM. Penilaian Bank Dunia atas Ease Doing Business di Indonesia, yang telah membaik dari tahun ke tahun di era pemerintahan Jokowi, benar-benar harus ditinjau ulang.

Pada aturan baru ini, badan usaha profesi, sekalipun jelas tergolong UKM, secara spesifik dilarang menikmati kemudahan pajak final. Ini diskriminasi. Ini ketidakadilan. Sama-sama bayar pajak lho! Mari kita bicarakan, jangan main diskriminasi begitu. Ingat kata Adam Malik, semua bisa diatur.

Akhirnya, perkenankan saya menyampaikan bahwa ada baiknya aturan baru perpajakan UKM itu segera ditinjau kembali, karena pada akhirnya tidaklah adil bagi UKM.

Ivan Wibowo advokat

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads