Pilkada dan Kisah Seorang Penumpang Kapal
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pilkada dan Kisah Seorang Penumpang Kapal

Kamis, 28 Jun 2018 13:00 WIB
Jonathan Alfrendi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Keluarga korban KM Sinar Bangun di Posko Tigaras Simalungun (Foto: Jon Roi/detikcom)
Jakarta - Beberapa hari sebelum pilkada serentak di 171 daerah dihelat, muncul rentetan peristiwa yang mencoreng sektor pelayaran kita, dalam makna selebar-lebarnya.

Peristiwa pertama. Tenggelamnya dua jenis kapal kayu dalam waktu berdekatan di perairan Danau Toba yang berasal dari kelalaian manusia membuat kita mengelus dada. Tidak sedikit warga yang menyesalkan kejadian itu, terutama pada kasus KM Sinar Bangun. Dan, kita bisa merasakan getir peristiwa tersebut meski tak langsung mengalaminya.

***

Saya sering menaiki kapal sewaktu bekerja di Raijua, Nusa Tenggara Timur sebagai relawan pengajar selama setahun terakhir. Selama bekerja di sana, saya harus menggunakan kapal sebagai transportasi utama. Ini pengalaman baru, juga menegangkan karena selama seperempat abad menetap di Jakarta tidak pernah naik kapal -- saya paling sering naik angkot, atau mengendarai motor.

Tapi, ketika berada di wilayah kepulauan seperti di Raijua, saya mesti menaiki kapal sebagai transportasi utama. Kapal berukuran dan jenis apapun telah saya coba, mulai dari kapal feri milik Pelni, kapal perintis, hingga perahu lampara berukuran kecil buatan warga. Semua jenis armada punya sensasi berbeda, tapi punya daya konfigurasi yang sama dalam hal memandang penumpang.

Peristiwa kedua. Sebuah video viral menunjukkan aksi buruk dari seorang awak kapal yang membuang tumpukan sampah ke laut. Ceritanya, si petugas itu sedang asyik membuang kantong-kantong sampah dengan seenaknya ke dalam laut. Di saat ia sedang asyik melempar sampah, rupanya seorang penumpang telah merekam aksi konyol tersebut. Sontak video tersebut jadi gunjingan di jagat maya, dan pihak armada kapal "dipaksa" memohon maaf atas perilaku buruk itu.

Melihat aksi konyol itu saya justru bertanya-tanya tentang motivasi dari si penumpang yang memilih memviralkan kejadian itu. Mengapa dia tidak menegur langsung, atau melaporkan ke atasannya?

Saya termenung berupaya mencari variabel-variabel jawabannya. Barangkali untuk menegur seseorang secara langsung pada era kiwari bukanlah cara yang memuaskan. Cukup mengaktifkan video di layar ponsel untuk merekam setiap peristiwa unik atau aneh lalu mem-posting-nya di media sosial untuk "menghukum" tindakan seseorang ketimbang berkonfrontasi. Netizen akan menghukum secara sporadis yang kemudian akan menggerakkan elite perusahaan kapal swasta tersebut untuk segera memohon maaf atas kesalahan anak buahnya.

Hal ini mungkin tidak akan terjadi kalau saja si penumpang itu menegur secara langsung dengan rasa hormat. Yang ada dia akan didamprat.

Maaf, saya cukupkan cerita tersebut. Saya takut kebablasan bercerita dan diomeli oleh pihak armada kapal. Tapi, cerita barusan sebenarnya adalah sebuah fakta kultural tentang mentalitas kehidupan di kapal dalam perspektif penumpang.

***

Naik kapal itu enak, bisa melihat senja kemudian di-posting ke Instagram dengan caption yang bombastis. Tapi, tahukah, di balik kenikmatan itu ada senyum kecut yang berpendar?

Menjadi penumpang kapal tidaklah sehumanis dibandingkan dengan penumpang kereta, angkot, maupun pesawat. Sumpek, mual, dan semrawut adalah hal nyata yang dialami penumpang kapal. Kapal merupakan transportasi yang tingkat keamanannya paling riskan. Banyak kapal-kapal yang kurang peduli terhadap keselamatan penumpang, seperti minimnya sekoci, pelampung, jaket penolong, hingga data penumpang. Bahkan saya sering menaiki kapal yang tanpa punya data manifes.

Kalau musim libur Lebaran seperti tempo hari, biasanya jumlah penumpang membludak; mereka akan saling berebut kursi. Kalau tidak kebagian, ya terpaksa mereka duduk selonjor atau tidur di lantai dengan alas seadanya. Kalau ia seorang anak muda sih tak mengapa, tapi bagaimana bila itu terjadi pada lansia? Sungguh tak terbayang betapa menderitanya bila seorang ibu membawa balita dengan kondisi demikian.

Kesemrawutan sudah terlihat sejak membeli tiket. Anda harus mengantre. Di ujung loket petugas segera mendata penumpang tanpa meminta kartu identitasnya, serta tanpa mendata secara detail beban yang dibawa oleh si penumpang. Jadi, petugas hanya mendata nama-nama penumpang tanpa memverifikasi dahulu. Sangat rentan terjadi kecurangan dan kelebihan muatan. Tak heran bila penumpang bisa membawa muatan yang cukup banyak, bahkan ada yang membawa hewan, wong petugasnya saja cuek. Kalau kapalnya besar sih tak mengapa, coba kapalnya seperti KM Sinar Bangun?

Kemudian muncul pertanyaan, "Kenapa beli tiketnya enggak online saja?" Sistem ini memang sudah ada, namun hanya di perusahaan kapal yang telah mapan, dan itu pun sulit diterapkan. Sepengalaman saya itu sia-sia; bisa jadi ini sebabnya.

Bila mekanisme online diterapkan, maka akan bertentangan dengan sifat penumpang yang masih tradisionalistik. Ini riil, sebab saya kerap mengamati sekaligus berinteraksi dengan saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok yang menggunakan kapal sebagai basis transportasi utama.

Jangankan mau melek internet, mereka saja masih banyak yang hidup dalam kegelapan tanpa aliran listrik. Mereka terbiasa mengingat jadwal kedatangan dan keberangkatan sebuah kapal di luar kepala, dan biasanya tepat. Atau, bila meleset mereka akan bertanya langsung ke petugas pelabuhan atau warga sekitar, kemudian terjadilah interaksi, pola kekerabatan terajut, dan semakin akrab.

Selain itu, transportasi laut sangat bergantung pada kondisi cuaca. Pelayaran akan lancar bila kondisi cuaca baik, dan berlaku sebaliknya. Menurut seorang kapten kapal bahwa kini hampir setiap bulan terjadi badai, dan arus gelombang laut lekas berubah. Terutama di bagian timur Indonesia, jadwal pelayaran tak menentu. Dan, kalau terjadi badai maka pihak syahbandar akan memberlakukan force majeure atau perintah larangan untuk berlayar hingga cuaca membaik.

Maka saya merasa jengkel ketika KM Sinar Bangun diizinkan berlayar oleh syahbandar saat penumpang membludak sekaligus cuaca sedang memburuk. Entah apa yang ada di kepala syahbandar dan dinas terkait yang membolehkan kapal tetap jalan di bulan-bulan seperti ini, yang merupakan waktu pergantian musim angin timur ke barat, di mana angin dan gelombang biasanya besar.

Dalam bahasa yang agak kejam, syahbandar punya peran besar atas kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun! Dan, sudah menjadi rahasia umum bahwa perilaku koruptif sulit dihilangkan di semua lini, sekalipun di pelabuhan.

***

Ini tak beda dengan kasus kru kapal yang membuang sampah di laut. Dia hanyalah korban di antara jutaan pelaut di Indonesia. Banyak pelaut yang melakukan hal serupa. Juga tak sedikit penumpang kapal yang membuang sampah ke laut, tapi masih "beruntung" belum diviralkan.

Tapi, belakangan kita telah menyaksikan beberapa turis mancanegara memviralkan kondisi laut kita. Kotor. Ikan-ikan berenang dalam himpitan sampah plastik.

Barangkali kita menganggap banyaknya sampah tersebut akibat buruknya tata kelola persampahan atau ulah para turis yang tidak tertib. Menurut saya itu bukan faktor tunggal semata, melainkan karena kebiasaan buruk para pelaut maupun awak kapal. Mungkin Anda tidak setuju dengan teori saya. Tapi, percayalah, bagi Anda yang terbiasa menaiki kapal, Anda bisa melihatnya secara nyata.

Saya sering memperhatikan bagaimana kru kapal dalam mengelola sampah saat sedang berlayar. Memang tempat sampah ada, dan diletakkan di hampir semua sudut kapal. Saya mengira penumpang juga tahu adab, namun tak sedikit dari mereka yang membuang sampah seenak jidadnya ke laut. Yang bikin saya kaget lagi tatkala melihat tumpukan dalam tong sampah di tuang ke laut oleh para awak kapal. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Lantas saya memberanikan diri untuk bertanya. Si ABK membalas, "Habis dibuang ke mana lagi, di sini kita sudah terbiasa."

Kejadian lainnya begini. Saya kalau naik kapal senangnya di tempat paling atas, agar bisa merasakan angin laut yang bikin badan jadi rileks. Apalagi kalau ada kafe, wah makin mantap. Menurut saya kafe bukan hanya sekadar tempat yang asyik untuk ngopi, tapi lebih dari itu. Kafe menjadi tempat berbaurnya antarpenumpang, juga perwira kapal untuk sekedar merokok, menyantap hidangan, atau ngopi sambil mengobrol.

Saya menikmati momen-momen seperti itu, terutama ketika melihat petugas kafe membuang beberapa kardus mie instan ke laut. Tragisnya, rombongan perwira kapal berpakaian dinas itu ikut membuang sampah makanannya ke laut, seperti gelas plastik maupun bungkus Pop Mie. Saya membatin. Perwira kapal merupakan orang-orang pilihan, mereka dididik secara 'keras' selama bertahun-tahun di kampus, dan semestinya memberikan teladan. Celakanya, ini bukan kejadian pertama. Ini terus saya temukan setiap naik kapal.

***

Saya sama sekali belum tahu, apa visi dari 171 kepala daerah terpilih dalam mengelola perairan di wilayahnya. Seberapa jauh keseriusan mereka dalam menata sistem transportasi air yang humanis di daerahnya --entah angkutan sungai, danau, maupun laut-- agar derita di danau Toba tak terulang. Yang membahayakan bila semua itu luput diantisipasi oleh mereka.

Entahlah. Saya cuma mengucapkan selamat untuk mereka yang berhasil memenangkan pemilu versi penghitungan cepat. Bagi yang kalah, mohon bersabar, tunggu hasil resmi dari KPU saja.

Jonathan Alfrendi pengajar muda dari Yayasan Indonesia Mengajar, penempatan di Kabupaten Sabu Raijua

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads