Sialnya, ada korupsi besar-besaran yang dilakukan manusia Indonesia atas tausiah dari penyair Italia Dante Alighieri (yang belakangan disundul kembali oleh Dan Brown dalam novel Inferno-nya) itu. Dengan beringas dan semena-mena, ia diseret sekadar menjadi kredo kaum partisan politik.
Berbekal kalimat sakral tersebut, tiba-tiba situasi dan lingkungan sosial memaksa kita untuk seratus persen mengambil salah satu di antara dua identitas kubu politik, yang sejak 2014 pekat mewarnai relung-relung kegelisahan hati manusia Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaannya, apa itu netral? Apa itu berpihak? Betulkah keberpihakan yang dimaksud Dante adalah keberpihakan mentah-mentah kepada satu kelompok politik, atau keberpihakan total kepada satu persona pentolan politisi tertentu?
Kenapa banyak orang tiba-tiba menyingkirkan kemungkinan, bahwa 'berpihak' yang dimaksud Dante adalah pemihakan kepada sesuatu yang lebih tinggi ketimbang sekadar blok-blok politik? Baik berpihak kepada nilai keadilan, atau nilai kemanusiaan, atau kepada kebenaran hukum (yang tentu saja berderajat lebih tinggi ketimbang sekadar kebenaran politik), atau kepada kebenaran faktual atas sesuatu hal ihwal, atau minimal keberpihakan kepada akal sehat?
Menjadi netral dalam pemaknaan "tidak mendukung siapa pun yang mewakili nilai yang diyakini" memang sikap pengecut. Saya sepakat dengan itu. Masalahnya, ketika negeri ini dimabuk kubu-kubuan, apa yang kita sebut sebagai nilai-nilai itu mendadak jatuh ke nomor dua, atau bahkan lima. Nyaris setiap fenomena sosial pada tahun-tahun ini melibatkan suara aktor-aktor politik atau minimal pemandu sorak politik, sehingga dengan mekanisme yang menggelikan setiap fenomena sosial dipaksa malih rupa menjadi fenomena politik.
Dari situ, sadar ataupun tidak, kita jadi terbiasa menggunakan nalar politik dalam melihat nyaris segala hal. Realitas-realitas sosial bermunculan, dan secara refleks kita mencernanya dengan logika politik. Sangat simplistis, sekaligus memalukan.
Akibatnya, kita tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk mencerna satu peristiwa sebagai satu hal yang berdiri sendiri. Tiap-tiap peristiwa sosial adalah medan pertempuran antara kedua kubu politik. Anda akan dipaksa melihat suatu peristiwa sosial sebagai peristiwa politik, dan sikap Anda atasnya pun bakal menentukan nasib identifikasi politik atas diri Anda, menentukan stempel politik yang mendarat di jidat Anda: "Hoi, berarti kamu ada di kubu sana! Bukan sini!"
Situasi seperti ini amat memualkan dan mencemaskan. Ini bukan tentang perpecahan dan ambruknya bangunan integrasi sosial. Kekhawatiran atas perpecahan toh lama-lama menjadi klise, dan sebagian orang menganggapnya urusan sentimentil belaka.
Bukan, bukan yang itu. Ini lebih mendasar lagi, yakni buramnya kacamata kita dalam melihat realitas. Kita akan kehilangan kemampuan untuk secara serius memahami persoalan-persoalan, kemudian memikirkan jalan keluarnya. Solusi yang ditemukan atas masalah-masalah tak akan lagi dirayakan sebagai kegembiraan bersama. Yang akan terus terjadi, mata kita tak lagi terfokus kepada "apa" dan "bagaimana" dalam aneka problem dan solusi, melainkan cukup "siapa".
Dan, awas! Sekali saja Anda melupakan faktor "siapa" berarti Anda telah netral, dan seketika melayang dicemplungkan oleh Dante Alighieri ke dasar nerakanya! Aaaaarggh!
***
Kapan Anda-Anda para orang pintar mengajari kami bagaimana cara mendudukkan beragam masalah pada porsinya? Selalu samakah antara realitas sosial dan realitas politik? Di sinilah kuncinya, saya kira.
Realitas politik, dalam imajinasi saya yang minimalis, mirip kartu suara yang kita hadapi di bilik TPS. Kita menggelarnya, memandanginya, dan ternyata hanya menemukan pilihan calon pemimpin yang sangat terbatas. Sementara, ada banyak sekali kriteria yang ngendon di kepala kita terkait sosok pemimpin ideal.
Malang, semua kriteria itu tak mungkin berkumpul di satu orang. Mereka cuma manusia, yang membawa paket karakter masing-masing, yang dikelilingi para punakawan dan gerbong masing-masing. Kita mustahil bersikap eklektik dengan cuma mengambil apa yang baik-baik dari setiap calon yang ada, sambil membuang yang buruk-buruk saja. Maka, dengan pertimbangan rasional kita mencoblos salah satunya, yang kita anggap paling mendingan di antara semua.
Itulah yang namanya memahami realitas politik, lalu berpihak!
Saya setuju, dalam menghadapi realitas politik kita memang harus berpihak. Dengan keberpihakan kita, kita mendukung siapa pun yang menurut kita lebih layak didukung ketimbang yang lain, yang paling mewakili nilai-nilai yang kita yakini. Pilihannya memang kerapkali sulit. Bukan pilihan antara baik dan buruk, melainkan antara sangat buruk dan superburuk, bahkan kadangkala kita harus memilih antara Si Bedebah dan Si Iblis. Itulah realitas politik.
Makanya, kaum netral penghuni neraka Dante itu buat saya tetap ada. Merekalah para laskar golput yang menolak memilih, tapi tidak menawarkan apa-apa selain sinisme dan keputusasaan.
Akan begitu indah kalau mereka mengkampanyekan golput, lalu punya orientasi untuk melakukan delegitimasi atas kekuasaan yang berdiri kemudian. Tapi, nyatanya tidak. Boro-boro mengorganisasi massa untuk revolusi, mereka bahkan tidak tahu bagaimana caranya menciptakan delegitimasi.
Mereka orang-orang tanpa tujuan hidup, yang bahkan jauh lebih tak jelas visinya ketimbang para penolak demokrasi yang memimpikan khilafah itu. Merekalah orang-orang netral yang sesungguhnya, kaum yang terus-menerus bersikap denial dalam menghadapi realitas politik.
Lain realitas politik, lain pula realitas sosial. Dalam realitas sosial, bukan kartu suara yang kita hadapi. Yang ada adalah meja laboratorium di hadapan kita. Di atas meja laboratorium, kita menghadapi beberapa gelas cairan zat ini-itu, dan deretan cawan-cawan petri. Kita bisa mencampur cairan A, B, dan C dalam cawan pertama. Lalu di cawan kedua kita mencampur cairan B, C, dan F. Cawan ketiga bisa kita isi dengan 100% cairan A, 50% cairan B, dan 30% cairan C. Peluang variasi campuran itu bisa sangat beragam, hingga cawan ke-15 atau bahkan ke-397.
Kenapa kita bisa memakai analogi itu untuk menghadapi realitas sosial? Sebab sikap kita atas realitas sosial tidak dibatasi oleh pilihan yang terpersonifikasi dalam tubuh satu-dua orang, sebagaimana dalam realitas politik.
Lah, kaum mutlak-mutlakan tidak menerima logika cawan-cawan petri itu. Mereka memperlakukan meja laboratorium sebagai bilik suara. Realitas sosial disulap jadi realitas politik. Maka, tak ada alternatif kombinasi ramuan dalam cawan-cawan petri. Yang ada cuma cawan A, B, dan C. Itu, sudah! Anda harus memilih cuma salah satu di antaranya, lalu menenggak hingga tandas segenap cairan berikut ampas-ampasnya!
Pagi ini, di kepala saya mulai muncul kelebat pikiran yang sama beringasnya. Orang-orang yang tidak menerima opsi pemihakan di bawah seratus persen atas kubu masing-masing itu, yang cuma menerima apa pun yang mutlak-mutlakan itu, sesungguhnya merupakan barisan kekuatan hitam. Mereka dengan sengaja melakukan proyek pembodohan massal kepada kita semua, mengaburkan pelan-pelan mata kita, untuk pada akhirnya membuat kita buta sepenuhnya. Sekilas kubu-kubu itu memang tampak berseberangan dan berbeda, padahal sesungguhnya mereka sedang asyik bekerja sama.
Ah, maafkan imajinasi saya yang ngawur barusan hehe. Itu cuma khilaf saja. Ya kan, Pak Dante?
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)











































