Dalam Pilkada Jatim, dua piantun sepuh yang saya daku sebagai guru --kiai-- mempunyai preferensi politik yang berseberangan. Yang satu ke Gus Ipul-Puti. Satunya ke Bu Khofifah-Emil. Hanya dua pasangan inilah yang bertarung, tidak ada calon ketiga. Meski begitu, tetap terbuka pilihan ketiga.
Pilkada serentak tinggal hitungan jam. Kalau boleh jujur, secara pribadi saya tidak punya parameter yang kuat untuk menjatuhkan pilihan di antara keduanya. Karenanya, kalimat-kalimat Gus Dur kembali terngiang. Kira-kira dan kurang lebihnya bunyinya begini, "Buat apa repot-repot datang ke TPS kalau tidak ada yang bisa dipercaya, malah nanti kecewa." Gus Dur waktu itu melakukan perlawanan sekaligus pendidikan politik dengan laku golput. Golputnya Gus Dur bersifat ideologis. Karena dengan sadar ia memilih abstain dalam pemilu.
Golputnya Gus Dur bukan karena hambatan kerja, jarak, ataupun waktu. Bukan juga sekadar malas datang ke TPS. Tapi, ya itu tadi, tidak ada yang layak dan pantas dipercaya. Bagi Gus Dur waktu itu, pilkada mungkin lebih mirip dengan pameo "keluar dari sarang buaya, masuk ke sarang srigala." Sama-sama membahayakan.
Gus Dur tidak takut dipidana karena pilihannya. Beliau siap menanggung risiko. Bahkan menunggu kalau ada yang mempermasalahkan tindakannya. Secara normatif Gus Dur bisa dianggap menyerukan golput, menghalang-halangi (orang lain) untuk menggunakan hak pilih, mengganggu ketertiban, dan menghambat pemungutan suara. Dan, ini punya implikasi hukum. Nyatanya Gus Dur tetap keukeuh. Memilih atau tidak memilih adalah sama-sama hak. Sama asasinya dengan setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan. Tapi, itu Gus Dur, dan terjadi beberapa tahun lalu.
Golputlah pilihan ketiga yang saya maksud di atas. Artinya, di luar pencoblosan salah satu kandidat, terbuka kemungkinan untuk melakukan protes, pembangkangan politik, dengan tidak datang dan memberikan suara kepada salah satu kandidat dalam karnaval politik elektoral. Tentu hal ini akan dicap menghambat proses demokrasi. Dituding sebagai warga negara yang tidak baik, karena membiarkan hak pilihnya terbuang sia-sia. Bisa juga dinilai menurunkan kualitas demokrasi, akibat menurunnya angka partisipasi.
Diakui atau tidak, disadari atau tidak, demokrasi kita hari ini masih berkutat pada wilayah prosedural. Demokrasi sekadar soal suksesi kekuasaan dengan beragam keriuhannya. Para penganjur demokrasi liberal hanya melihat pilkada sejauh prosedur dan metode penyelenggaraannya. Ketimpangan struktur sosial, ekonomi, dan politik tidak ditimbang, dan cenderung diabaikan begitu saja. Sehingga, statistik partisipasi dalam setiap momentum elektoral menjadi teramat penting. Golput pun menjadi musuh dalam watak rezim elektoral yang semacam ini.
Namun, sebelum memutuskan untuk memilih atau tidak memilih alias golput alangkah baiknya kita memindai para kandidat. Abaikan dulu pilihan untuk golput. Mari membayangkan, di hari pencoblosan, langkah kaki kita mengarahkan ke tempat pemungutan suara. Di sana kita bakal memutuskan untuk siapa hak suara kita berikan. Kemungkinan tidak sampai lima menit ritual pencoblosannya. Tampaknya sederhana. Memberikan suara, pulang. Lalu, menunggu kabar siapa yang menang. Simpel kalau kita hanya berpikir bahwa pilkada sebatas siapa calon yang menang dan mana yang kalah.
Padahal, siapa yang menang nantinya bakal memimpin kita lima tahun mendatang. ABC-nya kebijakan daerah ada di tangan mereka. Nasib sumberdaya alam kita ke depan, apakah dieksploitasi, dijajakan kepada para investor, atau dikelola secara kolektif sesuai mandat UUD 45 (prinsip keadilan dan kemakmuran bersama), berada di meja kerja mereka. Begitu pula dengan urusan-urusan publik lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, infrastruktur, kenyamanan, dan sebagainya.
Salah dalam memenangkan calon akan berakibat fatal. Anggaran daerah (APBD) yang semestinya diperuntukkan bagi peningkatan kualitas hidup rakyat akan terancam. Ia bakal menjadi sumber bancakan oleh para pemburu rente. Data Kementerian Dalam Negeri pada 2015 menunjukkan bahwa ada sekitar 343 dari 524 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Artinya, lebih dari 70% kepala daerah di seluruh Indonesia telah tersangkut korupsi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berulang menjaring kepala daerah cukup menjadi bukti penguat. Bahwa, pilkada "berhasil" melahirkan para bandit demokrasi.
Tidak hanya berhenti soal korupsi. Kesalahan memastikan kepala daerah bisa jadi berimplikasi pada banyak hal. Gunung dibedah demi tambang. Hutan-hutan digunduli dan dialihfungsikan menjadi area industri pertambangan. Kampung-kampung distempel kumuh dan tak layak huni, lalu digusur demi berdirinya jalan tol, hotel, pusat perbelanjaan, bandara, pabrik, dan sebagainya. Silakan ditambahkan sendiri persoalan publik lainnya jika masih ada.
Tawaran untuk memindai para kandidat itu penting, tapi sia-sia. Penting, karena dapat kita jadikan dalil dalam menentukan pilihan. Hal yang paling permukaan adalah mengenali profil dan rekam jejak kandidat. Setelah itu baru lebih jauh membandingkan visi-misi, program terbaik di antara kandidat. Jangan dilupakan, partai apa saja yang mendukung dan kemungkinan pialang politik yang berada di belakangnya.
Dikatakan sia-sia, karena pada akhirnya kita akan menjumpai para kandidat yang seragam. Sama-sama lihai menyusun, memoles, dan menawarkan visi-misi juga program kerja. Mudah saja menemukan hal ini melalui debat kandidat yang disiarkan kepada publik. Para kandidat juga sama-sama disokong partai politik yang meskipun beda partai tapi wujud aslinya mirip: racun di dalam botol berlabel madu. Kelihatannya madu, setelah dicercap menimbulkan keracunan. Para kandidat ini juga sama-sama mengolah modal finansial besar menjadi elektabilitas. Padahal kita tidak mengetahui siapa pemodal politiknya. Dan, apa konsesi yang bakal diberikan kepada si pemodal politik ketika seorang calon terpilih.
Pada 2016 KPK menyampaikan hasil kajian tentang Potensi Benturan Kepentingan pada Pendanaan Pilkada yang bisa kita baca melalui Majalah Integrito vol 52/VII/Jul-Agustus 2016. Kajian tersebut menggambarkan konsekuensi sumbangan yang akan dibayarkan setelah calon terpilih. Yaitu, berupa kemudahan perizinan (65,7%), kemudahan akses menjabat di pemerintahah (60,1%), kemudahan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (64,7%), keamanan dalam menjalankan bisnis (61,5%), mendapatkan akses dalam menentukan kebijakan/peraturan daerah (49,3%), dan mendapatkan bantuan sosial/hibah (51,7%). Kita yang mengangkatnya dengan memberikan suara hanya beroleh remah-remah. Itu pun kalau mereka ingat rakyatnya.
Oke, ada yang memilih karena ikut suara ulama, kiai, pendeta, atau katakanlah pemimpin agama. Apa bisa jadi jaminan? Belum tentu. Toh, kandidat yang saling bertarung pun sama-sama didukung pemimpin agama. Misalnya, satunya mendaku dapat restu dari poros ulama khos. Satunya mengaku memperoleh dorongan dari ulama yang mendapatkan restu langit. Dan, satunya lagi mendeklarasikan telah mengantongi tanda tangan para pewaris nabi. Kenyataannya memang begitu.
Sekali lagi, patronase politik kepada tokoh agama belum bisa jadi jaminan. Lah, kepala daerah yang beberapa bulan terakhir ini ditangkap KPK, dulunya juga didukung para ulama. Bupati Jombang, Walikota Blitar, Walikota Malang, Walikota Batu, dan masih banyak lainnya dulu ketika pemilihan juga direstui bahkan dibantu oleh para tokoh agama. Namanya ijtihad politik; bisa keliru, tapi bisa juga tepat.
Pastinya, apapun pilihan kita pada 27 Juni besok, seyogianya berangkat dari pertimbangan yang matang. Tidak asal memilih sekaligus mengikuti pilihan politik orang lain. Bahkan, tidak memilih pun tidak jadi soal. Demokrasi mensyaratkan setiap rakyat untuk berpikir, menalar, bukan begitu saja percaya. Apalagi mengkultuskan. Di sinilah letak proses politik semacam pilkada dapat menjadi sarana pendidikan politik yang mengemansipasi. Bukan membodohi.
HA. Muntaha Mansur santri Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Malang
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT