Karena pemerintahan Erdogan telah mengubah sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial, ada kecenderungan untuk menempatkan urgensi pemilu presiden sebagai bagian penting dari proses transisi kekuasaan, misalnya dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu parlemen. Dengan begitu, rakyat Turki akan semakin akrab dengan sosok "kepresidenan" dalam sistem pemilu mereka, meski secara de facto Erdogan sendiri telah sempurna malang-melintang memegang semua kunci kebijakan negara dalam dua tahun terakhir.
Dalam pemilu tersebut, saya melihat ada dua faktor yang layak ditelisik secara seksama. Pertama, terletak pada koalisi. Dengan latar belakang ideologi partai politik yang ketat, peta koalisi dalam pemilu Turki selalu menyajikan hal-hal yang rigid dan menunjukkan kepastian. Artinya, sejarah koalisi dalam politik kekuasaan di Turki kerap terjadi karena faktor latar ideologis yang nyambung. Di luar itu, koalisi begitu rumit terbentuk, dan meskipun bisa terbentuk mereka rentan pecah kongsi di tengah jalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deskripsi sejarah koalisi parlemen di atas menunjukkan bahwa tensi dan manuver politik Turki sangat ketat, dan bahkan bisa dibilang tanpa kompromi, alih-alih bertahan dengan bagi-bagi kue kekuasaan. Hingga AKP berkuasa penuh di parlemen sejak 2003, Turki baru bisa anteng dan berfokus kepada pembangunan yang bisa dinikmati hingga 15 tahun kemudian.
Koalisi Islamis-Sekuler
Dalam pemilu 24 Juni kali ini, merapatnya Partai Saadet (kelompok Islamis) kepada CHP (partai sekuler) cukup menghentak publik Turki. Langkah politik yang diambil Saadet dengan tokoh utama Temel Karamollaoglu yang sekaligus menjadi calon presiden dalam pemilu 24 Juni ini bisa dilihat sebagai keberanian yang tak main-main.
Publik Turki, khususnya pendukung dan simpatisan Saadet yang terus meredup karena massanya rata-rata beralih ke AKP, dihadapkan dengan pelajaran politik elektoral yang sesungguhnya di mana musuh politik (secara ideologis) bisa saja duduk bersama dalam parlemen. CHP sebagai partai dengan suara yang stabil (sekitar 26% suara nasional) menjadi motor menginisiasi Koalisi Rakyat (Millet Ittifaki) dengan menggandeng Saadet dan Iyi Parti (Partai Baik).
Iyi Parti adalah partai baru pecahan MHP (Partai Pergerakan Nasionalis) yang suaranya cukup menjanjikan di bawah kendali Meral Aksener. Selain itu partai kecil Demokrat Parti (Partai Demokrat) juga ikut merapat ke dalam lingkaran Koalisi Rakyat.
Langkah Saadet berkoalisi dengan partai sekuler CHP harus dilihat sebagai tindakan politis untuk mengepung dan sekaligus mengembosi suara AKP yang berkoalisi dengan MHP dengan nama Cumhur Ittifaki (Koalisi Republik). Secara umum pandangan internal Partai Saadet dan simpatisan-loyalisnya terhadap AKP dan Erdogan memang sudah berseberangan sejak awal, khususnya ketika AKP mulai menjajaki erat dengan Eropa, Amerika dan Israel, yang secara jelas dianggap berseberangan dengan langkah guru politik mereka Necmettin Erbakan, guru politik Islam Turki termasuk para pendiri AKP.
Secara umum, tokoh-tokoh politik dan para simpatisannya di luar AKP menginginkan betul hadirnya penyegaran dan suasana baru setelah dipimpin AKP dalam 15 tahun terakhir. Kejengahan itu ditunjukkan oleh rakyat, baik dari massa mengambang dan khusunya oposisi. Garis dan kecenderungan ideologis yang biasanya menjadi dasar penting dalam menganalisis politik Turki --apakah Islamis, nasionalis, sekuler, atau pun liberal-- tidak akan menjadi faktor dominan dalam pemilu kali ini.
Pemilu 24 Juni cenderung menjadi ajang dan perhelatan untuk mengepung dan menggembosi AKP dan Erdogan.
Konsistensi HDP
Kedua adalah konsistensi HDP (Partai Rakyat Demokratik), partai etno-nasionalis Kurdi di bawah pimpinan Selahattin Demirtas. Partai ini menunjukkan sikapnya yang tegas dan prinsipil dalam menjalankan visi dan langkah politiknya di tengah-tengah masyarakat Turki. HDP sejak awal sangat jelas bahwa kehadiran partai ini sejak 2013 adalah untuk mengimbangi dan menjadi oposisi bagi AKP.
Jalan terjal dan penuh ancaman itu terus ditunjukkannya secara konsisten meski Demirtas sendiri harus keluar masuk penjara hingga saat ini. HDP bukan hanya musuh bagi AKP dan HMP yang bercokol di tampuk kekuasaan. Mereka juga menjadi musuh bagi partai-partai lain termasuk CHP yang kali ini menilai HPD sebagai "persekutuan setan".
HDP tetap berfokus dan bergeming menghadapi rintangan besar di depan mereka. Kepercayaan dalam langkah dan perjuangan politik yang dirancangnya telah memperkuat keyakinan mereka untuk terus melangkah, tak peduli seberapa banyak tokoh-tokoh penting partai ini yang telah keluar-masuk, dan sebagian juga masih mendekam di penjara atas tuduhan perkomplotannya dengan gerakan teroris PKK (Partai Pekerja Kurdistan). Lambat laun partai ini semakin menatap optimistis dengan merapatnya sosok dan tokoh penting seperti Ahmet SΔ±k (jurnalis senior) dan Baris Atay (aktor dan aktivis) yang meniupkan napas perubahan dan kesegaran.
Di samping itu, HPD juga menyasar generasi milenial yang secara ciamik diintrik oleh Demirtas untuk terlibat secara aktif dan berjuang bersama mereka demi kebebasan masa depan Turki. Salah satu pesan penting melalui video yang dikirim Demirtas dari penjara adalah "Kami mempercayakan khususnya kepada anak muda dan perempuan. Anda tidak perlu resah terhadapku. Jika Anda baik-baik saja, aku juga baik; jika Anda bebas, aku juga bebas."
Menghadapi langkah koalisi yang sudah terbentuk seperti Cumhur Ittifaki dan Millet Ittifaki, HPD juga tidak kalah cerdik membangun koalisi yang berpijak kepada partai-partai dari kelompok suku Kurdi dengan menamakan koalisi mereka Kurdistani Secim Ittifaki (Koalisi Pemilu Kurdistan) yang berisikan PAK (Partai Pembebasan Kurdistan), PSK (Partai Sosialis Kurdistan), PDK-T (Partai Demokrat Kurdistan Turki), dan Azadi Hareketi (Gerakan Azadi).
Akhirnya, meski mulai ada tengarai tentang munculnya hasil pemilu dituduhkan sebagai bentuk kecurangan kepada the rulling, pemilu 24 Juni kali ini sangat menarik kita tunggu untuk melihat proses demokrasi Turki yang lebih bermartabat. Kita dan siapa pun juga harus menghormati apa pun yang dihasilkan dari proses demokrasi seperti ini.
Bernando J. Sujibto analis dan peneliti kawasan Turki dan Timur Tengah, alumnus pascasarjana program Sosiologi di Selcuk University, Turki
(mmu/mmu)











































