Perayaan Hari Raya Idul Fitri tinggal menghitung hari. Salah satu kewajiban umat muslim yang harus ditunaikan sebelum bulan Ramadan usai adalah membayar zakat. Pengertian zakat menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Data dari Kementerian Agama 2018 menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 217 triliun, namun hanya terkumpul sebesar Rp 6 triliun per tahun atau 0,2 persen saja. Di sisi lain, sebagai warga negara yang baik, selain menjadi seorang muzakki (wajib zakat) umat muslim juga memiliki kewajiban untuk membayar pajak (wajib pajak). Dalam APBN 2018, pajak sebagai sumber utama penerimaan negara ditargetkan terkumpul sebesar Rp 1.681,1 triliun.
Data dari Kementerian Agama 2018 menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 217 triliun, namun hanya terkumpul sebesar Rp 6 triliun per tahun atau 0,2 persen saja. Di sisi lain, sebagai warga negara yang baik, selain menjadi seorang muzakki (wajib zakat) umat muslim juga memiliki kewajiban untuk membayar pajak (wajib pajak). Dalam APBN 2018, pajak sebagai sumber utama penerimaan negara ditargetkan terkumpul sebesar Rp 1.681,1 triliun.
Baik zakat maupun pajak, keduanya memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat yakni meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Namun, tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa jika sudah membayar zakat maka tidak berkewajiban lagi membayar pajak. Sejatinya posisi zakat dan pajak bukanlah substitusional atau saling menggantikan, melainkan komplementer yakni saling melengkapi.
Pengurang Pajak
Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa zakat atas profesi yang dibayarkan dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat dibayarkan melalui badan/lembaga penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Ketentuan ini berlaku baik untuk wajib pajak perseorangan maupun wajib pajak badan yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam. Untuk dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak, seseorang atau badan usaha yang membayar zakat berhak untuk meminta Bukti Setoran Zakat. Jumlah zakat yang dibayarkan dicantumkan dalam kolom di bawah penghasilan bruto serta melampirkan Bukti Setor Zakat dari lembaga-lembaga yang ditunjuk. Adapun badan/lembaga yang ditunjuk diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2018, beberapa diantaranya adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ) skala nasional, dan Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh (LAZIS).
Optimalisasi Sinergi
Meski pemerintah sudah memfasilitasi zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, namun kemauan masyarakat untuk melaporkan zakatnya dalam surat pemberitahuan pajak masih sangat kurang. Beberapa faktor yang menjadi kendalanya adalah; pertama, kurangnya sosialisasi baik dari pihak petugas pajak maupun petugas zakat bahwa zakat dapat digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak.
Saat melaporkan surat pemberitahuan pajak tahunan, petugas pajak acap tidak menanyakan kepada wajib pajak apakah atas penghasilan yang dilaporkan sudah ditunaikan zakatnya. Pun dengan petugas zakat, saat menyerahkan Bukti Setoran Zakat tidak menjelaskan kepada muzakki bahwa tanda bukti tersebut bisa digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak.
Kedua, faktor psikologis masyarakat Indonesia. Tentu hal yang dapat dipahami jika selama ini umat muslim masih banyak yang merasa enggan untuk mengungkapkan jumlah zakat yang ia bayarkan karena khawatir akan mempengaruhi kadar keikhlasannya dalam menunaikan salah satu rukum Islam tersebut. Alih-alih mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam formulir Bukti Setoran Zakat, mencantumkan nama asli pun dikhawatirkan akan menimbulkan rasa riya' di dalam hati.
Ketiga, belum tegasnya jenis zakat apa saja yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Dalam penjelasan Undang-undang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "zakat" adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai zakat. Sedangkan dalam Undang-undang Pengelolaan Zakat disebutkan bahwa zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak mencakup seluruh jenis zakat, baik zakat maal dan zakat fitrah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keempat, zakat belum dikelola semodern penerimaan pajak. Jika selama ini atas setiap uang pajak yang dibayar oleh wajib pajak tercatat dalam Modul Penerimaan Negara (MPN) dan mendapat Nomor Tanda Penerimaan Negara (NTPN), maka ke depan diharapkan atas setiap dana zakat yang dibayarkan oleh muzakki pun tercatat dalam Modul Penerimaan Zakat (MPZ). Para muzakki dapat memantau ke mana dana zakat yang telah mereka bayarkan dan digunakan untuk kegiatan apa saja.
Usulan untuk memasukkan zakat dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang masih menemui banyak kendala, karena peruntukan dana zakat terbatas hanya untuk delapan golongan yakni Fakir, Miskin, 'Amilin, Mu'allaf, Riqob, Gharimin, Fii Sabiilillah, dan Ibnu Sabil . Namun, sinergi antara zakat dan pajak yang saling melengkapi harus terus dilakukan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Jika sistem pengelolaan pajak dan zakat sudah sama-sama akuntabel dan kredibel, bukan tidak mungkin jika zakat yang dibayarkan bukan hanya bisa mengurangi penghasilan kena pajak, namun juga bisa menjadi pengurang atau kredit pajak.
Nurfita K Dewi pegawai Kementerian Keuangan
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini