Arah Haluan Pembangunan Kelautan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Arah Haluan Pembangunan Kelautan

Jumat, 08 Jun 2018 11:40 WIB
Muhamad Karim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Setiap tanggal 8 Juni diperingati sebagai Hari Laut Sedunia. Bagi Indonesia yang kini giat-giatnya membangun kelautan, hal ini menjadi momentum penting untuk memperkuat eksistensinya untuk mewujudkan Poros Maritim Dunia (PMD), Sayangnya, pasca dua dekade Reformasi, pembangunan kelautan Indonesia tak berkelanjutan dan cenderung zig-zag tanpa arah haluan yang jelas.

Hingga kini kontribusi sektor kelautan terhadap PDB sebesar 28.34 persen (PKSPL IPB 2017). Sementara, potensinya senilai US$ 171 miliar per tahun (Kusumastanto, 2018). Bandingkan dengan Korea Selatan maupun Vietnam yang memiliki kontribusi sebesar 48 dan 57 persen terhadap GDP-nya. Mengapa demikian? Sebab Indonesia tanpa adanya arah dan haluan negara yang menjadi penuntunnya. Padahal, penekanan pembangunan kelautan dimulai semenjak era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid 1999-2001.

Nyatanya, era Presiden berikutnya mengalami hal serupa. Hingga 2014, Presiden Jokowi memulainya kembali dengan slogan PDM yang tercantum dalam Nawacita-nya. Menilik selama empat kali pergantian kepemimpinan nasional, pembangunan kelautan Indonesia memiliki arah haluan yang berbeda-beda, sehingga sulit diukur kemajuannya. Apalagi dalam setiap era kepemimpinan itu, yang disertai pergantian kabinet, juga melahirkan arah haluannya juga berbeda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu bisa terjadi karena Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya memuat kebijakan dan strategi pembangunan kelautan tidak ada. Jadi, arah haluan pembangunan kelautan selalu dimulai dari nol setiap berganti kepemimpinan nasional karena bergantung pada visi-misi Presiden dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusunnya.

Pentingnya GBHN

Secara historis, dibentuknya MPR sebagai lembaga tertinggi negara oleh para pendiri negara dan tercantum dalam UUD 1945 versi 18 Agustus 1945 tidak bersifat a-historis. Keberadaan lembaga MPR bukan menjiplak teori kenegaraan yang dikembangkan oleh model Eropa (Prancis maupun Inggris) atau pun Amerika Serikat, melainkan mempunyai akar kesejarahan yang kuat dan bersumber dari peradaban masyarakat Nusantara sejak pra-sejarah maupun era kerajaan-kerajaan/kesultanan.

Melalui lembaga "Dewan Syara" (masyarakat Maluku, Buton, Muna, Makassar, Aceh) atau Ninik Mamak (dalam Masyarakat Minang, dan Melayu Riau) di masa itu telah dijalankan secara konsisten sistem permusyawaratan/perwakilan untuk mencapai mufakat dalam menyeleksi dan memilih pemimpin (Raja maupun Sultan) serta pengambilan keputusan dalam menjalankan pemerintahan kerajaan/kesultanan, termasuk di dalamnya kebijakan ekonomi dan perencanaan pembangunannya.

Dewan Syara ataupun Ninik Mamak secara kelembagaan substansinya persis sama dengan keberadaan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia modern. Jadi, para pendiri bangsa kita tatkala menyusun UUD 1945 bukan "asal" , melainkan telah mempertimbangkan secara matang aspek filosofis, sosiologi, antropologi, dan akar kesejarahan masyarakat Nusantara. Inilah dasar ontologis lahirnya Pasal 1 dan 3 UUD 1945, yang memposisikan MPR berperan penting dalam sistem demokrasi ala Indonesia yang berdasarkan Pancasila baik secara politik maupun ekonomi.

Merujuk model sistem ketatanegaraan versi UUD 1945 itu,, MPR berperan sebagai pusat kedaulatan rakyat (locus of soverignty). Sebelum amandemen UUD 1945, MPR berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan GBHN. Tugas Presiden terpilih hanyalah mandataris MPR untuk menjalankan GBHN. Patut dicatat, bahwa MPR dan GBHN itu bukan produk Orde Baru dan sudah tercantum dalam UUD 1945 sejak ditetapkan 18 Agustus 1945.

GBHN di era Orde Lama disebut Rencana Pembangunan Semesta Berencana. Sementara, yang menjadi embrio MPR untuk menyusun GBHN ialah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, lahirlah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang meliputi DPR Gotong Royong ditambah utusan daerah dan golongan.

Sayangnya, pasca-amandemen UUD 1945 ketatanegaraan semacam itu tak lagi berlaku. Imbasnya, pembangunan nasional tak lagi memiliki arah haluan yang konsisten dan berkelanjutan, termasuk bidang kelautan. Tiap era kepemimpinan, pembangunan kelautan nasional memiliki arah haluan berbeda serta tak berkelanjutan.

Penyebabnya, pertama, visi besar kelautan yang mulai digagas sejak Presiden Gus Dur ialah memposisikan kelautan Indonesia sebagai penggerakan utama kekuatan ekonomi nasional. Sayangnya visi besar itu kandas seiring berakhirnya kekuasaan Gus Dur. Baru pemerintahan Jokowi pada 2014 visi besar itu direproduksi lewat gagasan PMD dengan merekonstruksi kabinetnya, yang ditandai adanya kelembagaan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya.

Kedua, baru pada 2017 Indonesia memiliki dokumen Kebijakan Kelautan Nasional (KKN) yang ditetapkan lewat Peraturan Presiden (Perpres) No 16/2017. Mestinya, KKN ini jadi arah haluan pembangunan kelautan yang sudah termuat dalam GBHN yang berlaku hingga Presiden berikutnya. Sebab, Presiden terpilih selanjutnya tidak bisa mengubah kebijakan kelautan dalam GBHN, terkecuali lewat MPR.

Ketiga, program-program pembangunan kelautan sejak awal Reformasi hingga kini sulit menarik benang merahnya. Karena, setiap era kepemimpinan nasional memiliki visi-misi pembangunan yang berbeda. Imbasnya, sulit menilai kemajuannya. Bahkan, jika menterinya diganti oleh Presiden berakibat pada perubahan orientasi pembangunan kelautan. Hal ini mengisyaratkan bahwa tanpa adanya GBHN dan mengembalikan fungsi MPR, problem struktural semacam itu bakal terus berlangsung. Korbannya ialah rakyat, karena mereka tak bakal pernah menikmati dampak pembangunan kelautan secara berkelanjutan dan mendongkrak kesejahteraan mereka.

Merujuk uraian di atas, pentingnya mengembalikan GBHN sebagai arah dan pijakan dalam melaksanakan pembangunan nasional termasuk kelautan sekaligus mereposisi MPR pada posisinya semula sebagai lembaga tertinggi negara jadi keniscayaan. Posisi MPR inilah yang menentukan arah dan keberlanjutan kebijakan pembangunan kelautan nasional. Lewat sistem MPR inilah demokrasi politik dan ekonomi dalam pembangunan kelautan menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Pasalnya, GBHN hasil ketetapan MPR bersifat mengingat dan tidak mudah diubah begitu saja oleh rezim penguasa.

Berbeda halnya, bila GBHN dibuat MPR lalu ditetapkan menjadi UU oleh Pemerintah dan DPR. Selain terkesan rancu secara ketatanegaraan, juga dapat saja berubah setiap pergantian kekuasaan lima tahunan. Hal ini bergantung visi-misi Presiden terpilih dan kepentingan politik yang menguasai parlemen (DPR). Bahkan lebih ekstremnya lagi, DPR berpotensi memproduksi UU yang bertentangan dengan GBHN buatan MPR yang ditetapkan UU itu. Jika, pemerintah dan DPR memilih jalan ini untuk menghidupkan GBHN, negara terancam krisis ketatanegaraan yang parah. Ujung-ujungnya, pembangunan nasional khususnya kelautan juga tak berkelanjutan bahkan absen.

Imbasnya, rakyat bakal menjadi korban. Sementara, permasalahan yang mesti diselesaikan tak pernah tuntas dan selalu kembali memulainya dari nol. Menjadi kian parah, apabila kepemimpinan nasional berikutnya mengabaikan sama sekali arah dan kebijakan pembangunan sebelumnya akibat "gengsi" dalam pertarungan dalam pemilihan umum. Faktanya, situasi ini kita alami selama dua dekade terakhir. Contoh, kasusnya soal kemiskinan nelayan dan pengelolaan pencemaran (minyak, plastik) di wilayah pesisir.

Oleh karena itu, tak ada pilihan lain untuk mewujudkan PMD selain menghidupkan GBHN dan mereposisi ulang MPR pada kedudukannya semula. Semua komponen bangsa mesti berkorban untuk kepentingan seluruh rakyat, bangsa, dan negara. Bukan ambisi pribadi atau kelompok yang bersifat sesaat.

Muhamad Karim dosen Universitas Trilogi Jakarta, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads