Resonansi Paham Radikal Muslim Milenial
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Resonansi Paham Radikal Muslim Milenial

Kamis, 07 Jun 2018 13:20 WIB
Anwar Kurniawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Istimewa
Jakarta - Densus 88 mengamankan tiga orang alumni di kampus Universitas Riau (UNRI), Sabtu (2/6/2018). Polisi menemukan bahan-bahan peledak, termasuk ditemukan pula buku-buku tentang cara merakit bom, dan video ISIS.

Sebagaimana diberitakan detikcom (3/6/2016), salah satu pelaku yang diamankan itu memiliki kaitan dengan Jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD). Sebelumnya, Majalah Tempo edisi 28 Mei-3 Juni 2018 dalam investigasi Paham Radikal di Kampus Kita menyebut bahwa Perguruan Tinggi yang seharusnya menjadi pusat ilmu dan kajian kritis, kini menjadi sarang tumbuh suburnya paham radikal berbasis dogma agama. Mahasiswa berhimpun dalam organisasi-organisasi intra-kampus tak lagi mempercakapkan riset dan inovasi.

Bahkan penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama tiga tahun terakhir menemukan, kampus-kampus di Indonesia sudah terpapar radikalisme sejak 30 tahun lalu. Kasus 'Dua Siska' --akhwat yang diduga hendak menyerang polisi di Markas Komando Brimob di Depok, Jawa Barat beberapa waktu lalu-- yang tak luput dari investigasi itu setidaknya merupakan bukti terdekat, betapa agama dipahami dengan penuh ironi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Betapa tidak, Siska Nur Azizah (SNA) umpamanya, Mahasiswi jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia ini bisa begitu saja larut dalam bujuk rayu jaringan teroris. Ya, lewat Telegram dia belajar Negara Islam. Senada dengan SNA, Dita Siska Millenia (DSM) juga mengaku bahwa pemahaman keagamaan dia konsumsi secara otodidak dari media sosial.

Sejujurnya, saya geli ketika DSM memaparkan 'persetujuannya' atas laku kriminal; memenggal kepala, membunuh, pengeboman, dan sebagainya. Saya geli karena potret kegagalan sangat fatal dalam memahami teks ajaran agama itu hadir dalam wujud seorang bocah puber. Pada titik inilah saya kira, ambivalensi Islam sebagaimana disebut oleh seorang sosiolog Amerika, Mark Juergensmeyer (2001) dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence menunjukkan dirinya dengan benderang.

Jelas, kita bahkan bisa mengklaim bahwa tujuan spiritual yang paling prioritas dalam Islam adalah tanpa kekerasan dan damai. Sayangnya, pada saat yang sama di tangan para teroris, wajah Islam tampil dengan penuh kekerasan, dan bahkan dalam bentuknya yang paling ngeres. Agama, dalam hal ini Islam, akhirnya menjadi semacam titik paling mengejutkan: di satu pihak penuh pertumpahan darah, namun mengklaim kasih sayang pada pihak yang lain.

Memang, problem yang sekarang menyelimuti umat Islam adalah soal penafsiran. Namun, tafsir seperti apa yang mampu memberi kepuasan atau landasan normatif, bahkan mungkin ideologis bagi umat Islam dalam berhadapan dengan tantangan modernisasi yang amat represif?

Secara metodologis, sumbangan terkait hal itu sebenarnya telah melimpah ruah ditorehkan oleh berbagai kalangan Islam dalam menjawab soal penafsiran ini. Hasan Hanafi (2003) umpamanya, menekankan pentingnya suatu kesadaran keberagamaan yang menghasilkan tafsir perspektif. Yakni, tafsir yang dibangun atas kesadaran humanistik serta dapat berbicara tentang kemanusiaan, menjamah hubungan manusia dengan manusia lain, dan menghujam kesadaran tugas-tugasnya di dunia, serta kedudukannya dalam sejarah untuk membangun sistem sosial-politik.

Dalam melihat Alquran, lanjut Hanafi, lebih baik dilihat dan/atau berfungsi sebagai sebuah etos atau sumber motivasi bagi sebuah tindakan. Karenanya, penafsiran atas teks Alquran harus didasarkan pada 'persepsi kehidupan manusiawi'. Karena itu Islam sebagai agama, mengutip Asghaar Ali Enginer (1999) adalah ajaran dengan watak monoteisme yang tegas, egalitarianisme, dan penekanannya lebih dominan pada ide persamaan derajat di antara semua orang beriman.

Dalam pengertian demikian pula bisa dipahami bahwa yang patut disimak dari pengalaman karier kenabian Muhammad atas sikap penolakan kaum Mekkah pada ajaran Islam bukanlah semata-mata karena ajaran tauhid yang dibawa. Melainkan, seruannya pada keadilan yang sangat tegas dan keras. Sehubungan dengan ini misalnya, firman Tuhan tentang legitimasi perang --konfrontasi yang paling melelahkan karena menguras banyak hal; baik fisik, materiil maupun pikiran-- yang seringkali dibelokkan untuk meringkus sunnatullah, keberagaman.

Jumhur sejarawan sepertinya bersepakat bahwa ayat izin perang dalam konteks pewahyuan turun pasca-hijrahnya Nabi Muhammad. Karenanya dalam istilah ulumul quran ia akrab sebagai golongan ayat Madaniyah. Kendati terdapat perbedaan mengenai mana yang turun paling perdana, lantaran Alquran sendiri berbicara perang tidak cuma sekali, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 190-191, dan Q.S. al-Hajj [22]: 39-40. Tapi, bukan itu poin saya.

Penjelasan mengenai ayat izin perang ini menurut Sahiron Syamsuddin (2013), bukan perang itu sendiri yang menjadi pesan utamanya. Melainkan, seruan dalam menegakkan kedamaian, yang dalam konteks ini, perang digambarkan sebagai tindakan darurat. Di samping juga untuk menghapus penindasan dan menegakkan kebebasan beragama dan perdamaian.

Dengan kata lain, lanjutnya, perang hanyalah sebuah instrumen paling akhir untuk mewujudkan nilai moral. Atau, mahum muwafaqah-nya, perang sebisa mungkin dihindari jika masih ada jalan non-kekerasan yang masih dapat dilakukan. Seperti dikatakan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Quran al-Karim, bahwa perang itu sendiri adalah hal buruk. Dan, akal yang sehat tidak akan mengizinkan menempuh keburukan kecuali dengan maksud menghilangkan keburukan yang lebih jahat.

Akhirnya, pada titik ini saya bersepakat dengan Sumanto Al-Qurthuby (2018) bahwa teks itu memang tidak bertulang. Ia bebas berlabuh selaras dengan 'kepentingan' penafsir. Di tangan umat Islam yang sadar realitas bahwa terdapat jarak cukup jauh antara 2018 dengan era pewahyuan, memahami teks atau dalil keagamaan tentu tidak bisa hanya berpangku pada terjemahan. Artinya, dibutuhkan seperangkat onderdil keilmuan untuk memahami teks atau dalil-dalil agama.

Sementara, di tangan "Dua Siska" atau sebagian umat Islam fatalis lainnya, belajar agama secara otodidak di grup Whatsapp, channel Youtube, Telegram, serta berdasar panduan dan tuntunan Google, atau media sosial lainnya adalah rujukan yang sahih untuk memahami agama Islam. Lebih parah, jika yang demikian itu ditopang oleh suntikan "jihad" atau sugesti amar ma'ruf nahi munkar kemudian merasa paling benar. Itulah tantangan umat Islam milenial menghadapi resonansi paham radikal.

Anwar Kurniawan alumnus STAI Sunan Pandanaran, peneliti di Asosiasi Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads