Menepis Angin Segar Islamofobia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menepis Angin Segar Islamofobia

Kamis, 07 Jun 2018 12:03 WIB
Rakhmad Hidayatulloh Permana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Rakhmad Hidayatulloh Permana (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Saya betul-betul ngeri ketika membaca wawancara Dita Siska Millenia --pelaku kasus penusukan Mako Brimob-- yang dirilis oleh sebuah majalah berita mingguan beberapa pekan lalu. Wawancara itu cukup viral di media sosial, setelah dibagikan oleh sejumlah orang yang gemas dengan pandangan radikalisme Ditta. Secara jelas dan lugas, Ditta ingin ISIS ada di seluruh dunia ini. Ia pun tak segan-segan mau membunuh orang kafir jika bertemu mereka di jalan.

Bagi Ditta, Indonesia adalah gelanggang perang yang membuatnya boleh menumpas siapa pun-utamanya mereka yang dianggap kafir. Perempuan yang mengaku terlatih mengangkat galon air mineral ini siap untuk mengangkat senjata buat berperang.

Kawan saya yang non-muslim ada juga yang membaca wawancara itu dan bertanya, "Apakah Islam memang mengajarkan seperti itu?" Sontak, saya jawab: tidak! Diam-diam dalam hati saya tahu bahwa Islamofobia kembali menemukan angin segarnya. Lantas, bagaimana cara untuk menggerus Islamofobia dengan tepat? Mungkin cerita masa kecil saya bisa memberi sedikit gambaran untuk mengurai benang masalahnya dulu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika berusia 12 tahun, saya termasuk bocah yang gagap dalam urusan membaca Al-Quran. Ketika teman-teman sebaya sudah dua kali khatam Al-Quran, saya masih saja betah di level Iqra jilid lima. Sungguh, itu memalukan karena saya tinggal di daerah yang dikenal sebagai kawasan santri. Namun, rasanya saya tak sepenuhnya salah. Karena pada waktu itu, saya memang diajar oleh guru-guru mengaji yang tak bisa memahami karakter saya.

Saya pernah diajar oleh seorang ustaz dengan kumis tebal yang angker. Cara mengajarnya sungguh tidak mengenakkan: saya dibentak jika salah, dan sesekali dipukul dengan batang antena TV. Ketika dipukul memang tidak sakit, tapi hati saya yang sakit, sekaligus dongkol. Tiap si ustaz membentak, konsentrasi saya otomatis buyar. Kemudian saya dipindahkan oleh ibu ke sebuah TPQ. Di sana, saya diajar oleh seorang ustazah berkacamata tebal.

Ternyata sikapnya tak jauh beda dengan ustaz yang dulu. Saya selalu dibentak ketika lidah saya tak becus membedakan bacaan panjang dan pendek. Dia juga menghakimi saya sebagai bocah pemalas yang tak mau berlatih mendaras bacaan lagi ketika di rumah. "Memangnya, kalau di rumah kamu ngapain aja sih? Main mulu ya?"

Tentu, dua guru mengaji itu gagal mengajari saya bagaimana cara membaca Al-Quran. Mereka berdua tak bisa mengerti kepribadian saya yang memang tak bisa diajar dengan cara galak. Tapi, teman-teman saya juga sering mengejek, justru sayalah yang payah dan bermental tempe. Menurut mereka, dua guru mengaji saya itu orang yang baik, hanya saja cara mengajarnya memang begitu.

Tetap saja saya ogah percaya, tak peduli dengan anggapan mereka. Toh, cara ajar dua guru mengaji itu memang tak ramah. Keadaan berubah ketika ibu saya mengantarkan saya ke sebuah pondok pesantren. Di tempat itu saya diajar oleh salah seorang santri. Namanya Cak As'ad, masih muda, dan gemar tersenyum. Cara tuturnya sangat ramah dan bersahabat.

Tanpa sungkan, dia langsung menyapa saya dan berujar, "Oh kamu kata ibumu pinter banget ya. Wah, ayo kita buktikan kepintaranmu." Perlahan, atas bimbingan Cak As'ad, saya akhirnya bisa membaca Al-Quran dengan cukup baik. Pengucapan saya sudah patuh pada makhorijul huruf dan kaidah tajwid. Saya senang, akhirnya saya bisa lancar membaca Al-Quran. Bahkan, bukan sampai pada bacaan Al-Quran saja, saya juga sudah bisa membaca kitab kuning tipis seperti Sulam Taufiq.

Saya hebat? Tidak. Yang hebat justru Cak As'ad yang telaten mengajari saya dengan penuh kesabaran dan keramahan. Dia mau mengerti saya. Keramahannya bukan sekadar slogan, tapi laku dan lisan. Dari cerita ini, setidaknya kita bisa membuat analogi bahwa masyarakat tak ubahnya bocah yang ingin dimengerti dan cara mengajar guru mengaji sebagai bentuk ekspresi keberislaman. Mereka sebetulnya tak peduli amat dengan sekadar anggapan orang.

Penilaian baik dan buruk didapat dari pengalaman pertemuan langsung dengan ekspresi keberislaman itu sendiri. Maka dari itu, untuk menggerus Islamofobia, mulanya adalah pengertian. Saya senang ketika melihat video-video social experiment para perempuan bercadar yang mengkampanyekan "aksi peluk kami". Aksi itu ingin menunjukkan bahwa para perempuan bercadar tak bersinonim dengan teroris.

Meskipun menurut saya, sudut pandang mereka masih ingin dimengerti, padahal seharusnya merekalah yang berupaya mengerti dulu. Sialnya, beberapa hari setelahnya, aksi ini harus diciderai oleh salah seorang perempuan bercadar yang membawa poster bertuliskan "bom takjil". Perempuan tersebut benar-benar tak punya empati kepada para keluarga korban aksi teroris. Perempuan itu melulu menganggap dirinya sebagai korban.

Ia malah menunjukkan sebuah tantangan kepada mereka yang terjangkit Islamofobia. Saya pun berpikir, aksi-aksi para perempuan bercadar ini memang terkesan dipaksakan. Mereka seperti orang yang mengaku dirinya sopan, tapi dengan mudahnya menyiramkan kopi dengan sengaja ke wajah orang lain. Mereka sudah gagal mengerti sejak dalam pikiran.

Masalah menjadi tetap runyam ketika masih ada segelintir orang yang percaya bahwa tindak terorisme adalah setting-an pemerintah. Mereka sekali lagi menyepelekan korban yang kematiannya begitu nyata. Maka, jangan heran jika masih ada orang-orang seperti Ditta yang percaya bahwa jalan kekerasan adalah jihad yang hakiki.

Kita juga mesti belajar bagaimana cara menggerus wabah Islamofobia dari seorang muslimah bernama G. Willow Wilson. Ia adalah seorang comic artist asal Mesir yang membuat tokoh Ms. Marvel dalam serial Marvel Universe. Ms. Marvel merupakan gadis berusia 16 tahun yang memiliki kekuatan super untuk mengubah bentuk tubuhnya. Namanya Kamala Khan, seorang keturunan blasteran Pakistan-Amerika yang juga muslimah. Bisa dibilang, Ms. Marvel juga seorang first muslim avengers.

Tokoh Ms. Marvel secara tak langsung menjadi bentuk komunikasi yang luwes antara Islam dan masyarakat dunia. Penegasan Islam bukan agama teroris itu disampaikan secara halus lewat karakter pahlawan pembasmi kejahatan. Willow Wilson paham bagaimana cara mendekati masyarakat kosmopolitan yang plural dan tak bisa didikte dengan slogan saja. Oleh karena itu ia pun mengerti bagaimana cara menunjukkan identitas keramahan Islam melalui medium produk budaya populer.

Kita pun bisa melakukan hal yang sama seperti Willow Wilson. Mencari jalan alternatif untuk menggerus Islamofobia dengan memanfaatkan berbagai cara yang lebih asyik. Tapi, sekali lagi sebelum itu, mengertilah. Jangan berandai-andai bisa menggerus Islamofobia jika kita sendiri masih memasang curiga pada mereka yang berbeda kepercayaan. Jangan bermimpi bisa menggerus Islamofobia jika kepala kita masih dijajah oleh pola pikir "akulah yang paling suci, semuanya penuh dosa".

Untuk mengerti, pertama-tama kita mesti menertibkan pandangan kita terhadap yang lain. Upaya mewartakan keramahan Islam adalah upaya yang baik untuk menggerus Islamofobia. Namun, jika caranya salah, upaya itu hanya seperti orang yang menggantang asap. Sebab, Islamofobia hanya bisa disembuhkan dengan pengertian yang benar-benar mewujud dalam keramahan pikiran, laku, dan lisan. Bukan sekadar slogan dalam poster bertuliskan "Islam itu Ramah".

Rakhmad Hidayatulloh Permana esais, menulis di sejumlah media

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads