Dulu, bagi rakyat, kepemilikan foto lelaki penyuka sayur lodeh itu menjadi perlambang rasa nasionalisme dan cintanya pada tanah air Indonesia. Tak ayal, foto-foto Sukarno pun bersebaran ke seluruh Indonesia. Hingga pada suatu hari, seorang pejabat polisi menemukan foto Sukarno tertempel di setiap kamar sebuah rumah bordil. Foto Sukarno ditempel di atas meja yang dekat dengan ranjang tempat laki-perempuan bergulat, berkeringat, mendesah penuh kenikmatan ragawi.
Polisi itu melapor pada Sukarno di Istana Negara dengan sangat gugup. "Pak, kami merasa bahagia karena rakjat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wadjar kalau gambar Presiden kita digantungkan didinding rumah pelatjuran. Apa jang harus kami kerdjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding-dinding itu?" ucap si Polisi (Cindy Adams, 1966).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka, saat Ali Sastroamidjojo dan beberapa anggota Partai Nasional Indonesia ingin mendepak 670 pelacur dari keanggotaan partai, Sukarno menolak dengan keras. "Dalam kerja ini maka para gadis pesanan, pelacur atau apapun nama yang akan diberikan kepada mereka, merupakan orang-orang penting. Anggota lain dapat kutinggalkan. Tetapi meninggalkan perempuan macam mereka, tunggu dulu," kata Sukarno.
Foto-foto di rumah bordil itu adalah bukti kecintaan rakyat pada Sukarno, sekaligus wujud kehadiran seorang pemimpin di antara rakyatnya.
Tahun berganti tahun, foto Sukarno makin melegenda dan diinginkan oleh masyarakat. Sewindu pascakematian Sukarno, 1978, pemerintah Orde Baru berencana melakukan pemugaran terhadap makam Sukarno di Blitar. Rencana itu menarik perhatian banyak media massa. Setelah dua belas tahun sebelumnya banyak orang mengecam, tiba-tiba pada tahun tersebut koran-koran memberitakan Sukarno dengan nada memuji.
Popularitas Sukarno kembali terangkat setelah sebelumnya pemerintahan Orde Baru ingin menghapus kenangan satu bangsa terhadap Sang Putera Fajar. Buku-buku tentang Sukarno sempat dilarang beredar, tempat-tempat yang menggunakan nama Sukarno diganti, hingga rakyat pun takut ditangkap lantaran menyebutkan nama Sukarno. Dan, menjelang pemugaran makam itu kerinduan masyarakat pada sosok Sukarno meluber. Buku-buku, foto dan gambar Sukarno beredar kembali di pasaran.
Di Majalah Tempo edisi 3 Juni 1978, pembaca menemukan laporan bahwa seorang pedagang di lapangan Banteng, Jakarta mampu menjual 3000 gambar Sukarno berukuran 50 x 60 cm dalam waktu lima bulan terakhir. Pedagang bernama Jurnalis Harahap asal Medan itu memperoleh gambar-gambar Sukarno dari tukang loak langganannya. Harganya sangat murah. Meski begitu tiap lembar gambar Pemimpin Besar Revolusi, Sukarno, ia jual seharga 2.750 rupiah.
Tapi, kalau pembeli lihai menawar, 500 rupiah pun jadi. Dengan uang senilai itu, pembeli bisa memilih gambar Sukarno berdiri atau foto formal Bung Karno yang berseragam dan berpeci, dengan tatapan sedikit menengok ke kiri. Sejak saat itu, persebaran foto Sukarno kembali marak dan dicari-cari. Rakyat seakan ingin mengatakan pada pemerintah yang berkuasa bahwa mereka menginginkan kepemimpinan seperti zaman Sukarno.
Maka, foto-foto itu pun menjadi teror tersendiri bagi pemerintahan Orde Baru. Terutama ketika foto-foto Sukarno hadir di arena politik. Pada pemilu 1987, Sukarno dijadikan simbol Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipimpin oleh Megawati, putri Sukarno. Dalam masa kampanyenya, PDI menyertakan gambar Bung Karno untuk diarak keliling Jakarta. Seketika itu, Ibu Kota Indonesia menjadi merah total, seperti warna dasar bendera PDI. Rakyat terpikat dan bersemangat.
Kharisma seorang Sukarno terbukti ampuh. Perolehan suara PDI pada pemilu 1987 pun mengalami pelonjakan. Hal itu jelas merugikan Orde Baru. Pemerintah pun was-was kalau-kalau kekokohan kursi kekuasaannya mulai digoyah. Maka pada Pemilu berikutnya, 1992, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan pengarakan gambar Sukarno dengan alasan bahwa Sukarno tak hanya milik keluarga atau kelompok tertentu. Sukarno adalah milik Indonesia (Gatra, 1 Juli 1995).
Kebijakan itu lucu, tapi benar-benar terjadi di Indonesia. Masa itu Sukarno sudah meninggal, tapi lewat fotonya masih mampu memberi teror pada Orde Baru. Pembaca boleh saja tak menganggap foto Sukarno sebagai benda magis. Tapi, minimal kita mengerti, foto Sukarno memiliki nilai jual. Kini, menjelang pemilihan umum, kita pun mafhum maksud dan tujuan partai politik, calon legislatif, maupun calon eksekutif yang menyertakan foto Sukarno di alat peraga kampanyenya.
Hanputro Widyono anggota Karang Taruna "Bitaris" Makamhaji-Sukoharjo
(mmu/mmu)