Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencantumkan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Larangan tersebut termaktub dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Kampanye Pasal 8 ayat (1) huruf j.
Tentu respons publik terhadap Rancangan Peraturan KPU tersebut sangat positif, mengingat seluruh elemen bangsa ini sangat muak dengan koruptor. Namun, mengapa Pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri, Komisi II DPR, dan Badan Pengawas Pemilu kontradiktif dengan Rancangan Peraturan KPU tersebut?
Secara peribadi, tentu saya senang dengan gebrakan KPU yang dengan lantang menolak para narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan menjadi wakil rakyat melalui Rancangan Peraturan KPU. Karena, korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime yang dapat merugikan negara dan menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karenanya, DPR mengambil jalan tengah yakni memasukkan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan syarat calon anggota DPR dan DPRD tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetatp karena melakukan tindak pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.
Artinya, narapidana yang terjerat hukuman di bawah lima tahun masih diperkenankan maju menjadi Calon Anggota Legislatif. Hal yang sama berlaku bagi narapidana korupsi dengan masa hukuman di bawah lima tahun.
Pasti publik merasa kesal karena Badan Pengawas Pemilu, Kemendagri, dan komisi II DPR membolehkan mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Dan, sudah tentu dicap pro-korupsi. Namun, jika dilihat dari konstruksi hukum, ketiga lembaga tersebut tepat melihat Rancangan Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Kualitas Pemilih
Jason Brennan, seorang pengajar ilmu politik di Universitas Georgetown, AS mengonversi kelas-kelas sosial menjadi 'masyarakat melek politik' dan 'masyarakat buta politik'. Dalam bukunya Against Democracy, Brennan menjelaskan jumlah masyarakat melek politik sangat kecil. Sebagian besar masyarakat yang datang ke bilik suara ialah mereka yang sesungguhnya buta politik.
Kalaupun mereka tahu politik, lanjut Brennan, mereka hanya tahu sedikit-sedikit saja. Informasi mereka tentang calon pemimpin, wakil rakyat, dan program kerja partai hampir nol. Mereka yang antusias berpolitik umumnya seperti holigan yang mendukung satu klub bola semata-mata karena fanatisme buta, bukan karena kualitas klubnya. Di situlah letak persoalannya. Pemilu dan pilkada tidak menyediakan mekanisme yang adil untuk menilai dan memilih calon-calon terbaik. Sebagian besar yang datang ke bilik suara adalah orang-orang yang secara pengetahuan politik tidak layak. Alhasil, mantan koruptor terpilih kembali.
Contoh Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Mochammad Basuki adalah mantan koruptor yang terpilih kembali menjadi anggota dewan. Sayangnya ia tidak kapok masuk penjara. Basuki kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas kasus tuduhan suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur 2017. Basuki disebut menerima suap dari beberapa Kepala Dinas Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Hal tersebut menandakan kualitas pemiliih masih rendah. Pemilih tidak melihat dampak ke depan jika para mantan koruptor terpilih kembali. Seharusnya, para pemilih sadar bahwa peraturan perundang-undangan "memaafkan" para mantan koruptor untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Tapi, tidak dengan rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak boleh memaafkan mereka yang sudah merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Rakyat harus "melek politik", dan dapat mengidentifikasi pilihannya.
Mengidentifikasi
Ada tiga cara dalam mengidentifikasi, pertama mengikuti peraturan yang telah dibuat oleh penyelenggara. Caleg yang bersih tentu akan mempunyai sikap fair play dalam bertanding memperebutkan hati rakyat. Caleg tersebut tidak akan mau melanggar ketentuan yang sudah dibuat. Sebab, dengan mengikuti peraturan secara tidak langsung sesungguhnya publik sudah memberi nilai plus untuk caleg tersebut, dan kemungkinan besar publik lebih simpati dan memilih para caleg yang taat pada peraturan.
Kedua, caleg tersebut berani mengumumkan jejak rekamnya (track record). Saat ini belum ada satu orang pun caleg yang berani mengumumkan dan mempublikasikan track record-nya ke publik. Caleg yang bersih biasanya akan dengan senang hati mempublikasikan jejak rekamnya, meskipun tidak diatur undang-undang dan peraturan Komisi Pemilihan Umum. Yang diatur hanya mereka yang pernah tersangkut hukum.
Terakhir, caleg tersebut berani melaporkan dana untuk berkampanye. Undang-undang No. 7/2017 memang sudah mengatur terkait pedoman pelaporan dana kampanye. Tapi, hingga saat ini masih saja banyak yang enggan untuk melaporkannya dengan alasan agar tidak diketahui caleg yang lain berapa nominal jumlah uang yang dimilikinya. Sehingga potensi untuk menggunakan uang hasil korupsi pun terbuka lebar. Dengan melaporkan dana kampanye publik pun percaya bahwa caleg tersebut tidak ada niat untuk memperkaya diri sendiri.
Oleh karena itu, biarkanlah para mantan terpidana korupsi atau terpidana lainnya mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, karena itu adalah hak asasi mereka. Namun, dengan kita mengidentifikasi para calon wakil rakyat, saya pikir mereka yang korup tidak akan terpilih di Pemilu 2019 nanti. Semoga.
Ahmad Halim Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kota Administrasi Jakarta Utara
(mmu/mmu)