Menyelamatkan Hak Pilih

Kolom

Menyelamatkan Hak Pilih

Yayan Hidayat - detikNews
Selasa, 05 Jun 2018 12:04 WIB
Pemilu 2014 di Kabupaten Asmat
Jakarta -

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tetap bersikeras tidak memberikan identitas kependudukan kepada masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan negara, kecuali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung dan konservasi menurut Kemendagri tidak termasuk wilayah pemukiman dalam sistem administrasi kependudukan, tidak memiliki batas dan kode wilayah. Penetapan sepihak dan sikap Kemendagri tersebut berdampak terhadap hilangnya sejumlah hak kewarganegaraan masyarakat dalam kawasan hutan.

Mereka dianggap penduduk ilegal, sehingga harus meninggalkan wilayahnya. Padahal banyak areal yang kini berstatus kawasan hutan negara dulunya adalah tempat tinggal legal seperti kawasan hutan Masyarakat Adat. Namun, pemerintah secara sepihak menetapkan pemukiman/wilayah adat mereka sebagai kawasan hutan sejak terbitnya UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Tidak berhenti di situ, sikap Kemendagri tersebut turut menyandera hak pilih Masyarakat Adat yang bermukim di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi. Pasal 202 ayat (2) dan Pasal 210 ayat (3) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS hanya pemilih yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el). Tidak lagi mengakomodir Surat Keterangan bagi warga negara yang tidak memiliki KTP.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terbukti, menurut data dari Bawaslu, di Papua ada 600.000 calon pemilih non-KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Senada dengan yang terjadi di NTT, ada tiga kabupaten dengan total 139.476 pemilih yang secara faktual ada, tapi tidak terakomodir di DPT Pilkada 2018 karena belum memiliki KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP-el. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dua daerah ini merupakan wilayah dominan masyarakat di dalam kawasan hutan negara, rawan konflik tumpang tindih perizinan lahan sehingga memunculkan ketidakpastian atas wilayah domisili.

Patut kita ketahui pula bahwa basis pembuatan KTP-el adalah wilayah administratif; jika wilayah tersebut berada dalam kawasan hutan dan konservasi tidak dapat mengurus identitas kependudukan. Dari persoalan ini saja, AMAN mencatat ada 777 komunitas Masyarakat Adat yang berada di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi dengan populasi 3,2 juta jiwa, di antara itu ada 1,6 juta Masyarakat Adat yang sampai hari ini belum memiliki KTP-el, dan terancam tidak dapat memilih di Pemilu 2019.

Untuk mendapatkan KTP-el dan menggunakan hak pilih pada Pemilu 2019, Kemendagri menyarankan masyarakat dalam kawasan hutan negara harus menunggu izin pelepasan hutan dari KLHK, atau diharuskan terlebih dahulu untuk berpindah ke desa-desa sekitar kawasan hutan yang memiliki legalitas. Ini bukanlah sebuah solusi, sebab pelepasan kawasan hutan negara sesuai Pasal 2 Permen LHK P.51/2016 hanya bisa dilakukan untuk kepentingan pembangunan dan produksi.

Di balik ini sebetulnya terselip agenda terselubung untuk memindahkan secara paksa masyarakat dalam kawasan hutan, agar negara leluasa melakukan eksplorasi di wilayah tersebut. Agenda ini dimulai dengan tidak mengakui masyarakat dalam kawasan hutan sebagai warga negara legal dengan tidak memberikan kartu identitas penduduk. Dalam hal lain, permasalahan ini menunjukkan bahwa ketidakpastian hukum hak tenurial (wilayah) berimplikasi terhadap hilangnya hak politik warga negara. Situasi ini yang mengharuskan kehadiran kebijakan kompromi dari penyelenggara negara.

Kebijakan Kompromi

Esensi pemilu di negara demokrasi sebetulnya adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan elemen masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilihnya. Maka dari itu, lembaga negara dan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut untuk pro-aktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan-hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilih, salah satunya mengidentifikasi masyarakat yang terhalang mendapat KTP-el sebagai basis utama dalam menggunakan hak pilih di Pemilu 2019.

Pada Pemilu 2014, hampir tak terdengar persoalan tentang jaminan hak pilih. Pasal 149 UU No 8/2012 (UU Pemilu) tidak memuat kewajiban bagi calon pemilih untuk memiliki KTP-el. Sebaliknya, Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu justru mengebiri hak pilih banyak orang, sebab sama sekali tidak membuka ruang bagi masyarakat yang tidak memiliki KTP-el karena berada di dalam kawasan hutan untuk dapat memilih di Pemilu 2019.

Bermasalahnya regulasi pemilu menunjukkan kapasitas lembaga negara yang tidak maksimal mengurusi jaminan hak pilih masyarakat. Kemendagri sebagai yang bertanggung jawab dan membawahi instansi pelayanan pembuatan KTP-el sejauh ini terkesan belum berkompromi dengan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan negara di sisa waktu satu tahun menjelang Pemilu 2019. Masalah ini semakin darurat akibat kapasitas penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu yang ternyata belum memadai dalam mengidentifikasi hambatan masyarakat dalam menggunakan hak pilih.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam kawasan hutan negara, penyelenggara pemilu perlu merumuskan kebijakan kompromi untuk mengatasi problem ini dalam jangka panjang, khususnya memudahkan pemilih yang belum memiliki KTP-el untuk dapat memilih. Bentuk kebijakan kompromi tersebut, pertama, mengubah perspektif dan pendekatan dalam mengidentifikasi hambatan hak pilih.

Dalam UU Pemilu No 7/2017, warga negara Indonesia yang dimaksud adalah orang-orang/bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ukurannya bukan zonasi/domisili/wilayah, melainkan wilayah (hukum) NKRI. Selama pemilih sudah berumur 17 tahun ke atas dan berada dalam wilayah hukum NKRI, maka berhak untuk memilih. Nomenklatur ini sebetulnya dapat digunakan dalam menjamin partisipasi masyarakat dalam kawasan hutan negara untuk dengan bebas dapat memilih.

Kedua, sinkronisasi data kependudukan antar-Aparatur Sipil Negara. Desain pemilu pasca UU Pemilu No 7/2017 terutama dalam syarat memilih untuk pemilih dalam negeri hanya menggunakan basis data kependudukan dan administrasi dari Kemendagri. Padahal, basis data kependudukan tidak hanya ada di Kemendagri. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memiliki basis data penduduk Indonesia yang berada di luar negeri, KLHK juga memiliki basis data masyarakat dalam kawasan hutan. Kategori data kependudukan ini sebetulnya perlu disinkronisasi, untuk kemudian dapat mengidentifikasi hambatannya dalam mengurus KTP-el.

Sebagai contoh pemilih luar negeri, basis data pemilihnya berdasar kepada jumlah penduduk Indonesia di luar negeri dengan menggunakan basis data dari Kemenlu. Kebijakan ini sebetulnya dapat diadopsi oleh penyelenggara pemilu dalam rangka mengakomodasi, mengidentifikasi, dan menyelamatkan hak pilih masyarakat dalam kawasan hutan lindung dan konservasi.

Ketiga, realitas yang terbayang oleh penyelenggara pemilu adalah data pemilih berbasis KTP-el secara fisik. Padahal tidak, yang membuktikan masyarakat terdaftar sebagai pemilih itu basisnya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hal tersebut sebenarnya dapat dipermudah prosesnya, cukup membagikan NIK untuk masyarakat yang ingin memilih namun belum mendapatkan KTP-el. Dengan begitu, tidak perlu menunggu proses rekam-cetak KTP dalam menjalankan mandat UU No 7/2017 tentang Pemilu. Penyelenggara pemilu perlu menyederhanakan syarat untuk dapat menggunakan hak pilih, dan tetap menjaga hasil pemilu yang legitimed.

Situasi khusus yang terjadi pada masyarakat dalam kawasan hutan adalah persoalan serius. Perlu diatasi dengan membangun pemilu yang aksesibel dan membuat kebijakan kompromi sebagaimana yang sudah tersampaikan di atas. Perkara kepemilikan KTP-el berkaitan erat dengan hak asasi manusia. Maka dari itu, negara dituntut pro-aktif dalam memenuhi dan melindungi hak asasi manusia seluruh warga negara di setiap kategori kependudukan.

Masalah hak memilih selalu menjadi isu sensitif yang kerap mempengaruhi kredibilitas pemilu. Kita berharap Kemendagri dengan infrastruktur yang dimilikinya bisa mengambil langkah-langkah signifikan untuk menjamin hak pilih warga negara dalam pilkada ataupun Pemilu 2019. Problem yang melanda masyarakat dalam kawasan hutan negara seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga bahwa ada situasi khusus yang terjadi di luar logika administrasi kependudukan.

Selain itu, Kemendagri jangan terjebak pada egoisme lembaga, kesannya berupaya melegitimasi efektivitas dan keberhasilan pada proyek gagal KTP-el dengan digunakan sebagai basis utama dalam memilih di Pemilu 2019. Jangan sampai hak memilih hilang karena masalah administratif. Situasi ini bisa mengingatkan apa yang dikatakan Thomas Jefferson, "If we can not secure all our rights, let us secure what we can." Pemerintah bisa menjamin hak pilih itu.

Yayan Hidayat Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads