Meruwat Negara dari Persahabatan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Meruwat Negara dari Persahabatan

Selasa, 05 Jun 2018 11:03 WIB
Ismail Fajrie Alatas
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Meruwat Negara dari Persahabatan
Ismail Fajrie Alatas (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Bulan Ramadan adalah bulan persahabatan. Selain bulan peribadatan, umat Muslim juga menggunakan momentum Ramadan guna meluangkan waktu dengan sanak keluarga, kawan, dan sahabat. Pelbagai ajang silaturahmi digelar, dari buka puasa bersama, temu kangen, hingga reuni. Bagi orang seperti saya yang hidup di perantauan, bulan Ramadan terkadang menyisakan kesedihan. Saat bulan suci tiba, keterasingan dari sanak dan sahabat di Tanah Air semakin terasa. Oleh karenanya, setiap bulan Ramadan tiba, saya selalu mencoba kembali pulang.

Namun, ada yang mengusik pada Ramadan tahun ini. Kehangatan dan keakraban yang biasanya terasa ketika berbuka bersama kawan dan sahabat seakan mendingin. Polarisasi akibat kontestasi politik kenegaraan tampaknya telah merasuk ke sela-sela relasi pertemanan. Cemooh dan kecurigaan mendominasi perbincangan. Canda tawa yang kerap mengiringi buka puasa berganti letup amarah. Sekat-sekat yang idealnya luntur di bulan suci, justru terasa menguat. Apa gerangan yang terjadi?

Tahun 2018 memang tahun politik. Namun, bangsa Indonesia telah melewati beberapa tahun politik semenjak Reformasi. Dalam ingatan dan pengalaman saya, perbedaan pilihan politik tidak serta merta mampu menembus dan mengatur relasi pertemanan, terlebih persahabatan dan kekeluargaan. Sedihnya, justru ini yang tidak saya rasakan tahun ini. Seakan, relasi politik kenegaraan yang bertumpu pada ihwal dan logika kekuasaan telah berhasil mengepakkan sayapnya, dan membayang-bayangi relasi etis dan sosial-politik kemanusiaan yang lain, seperti persahabatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lengan gurita bernama negara-bangsa seakan mencengkeram relasi persahabatan yang sesungguhnya sudah jauh ada sebelum konsep negara-bangsa dicetuskan. Salah satu kekuatan negara-bangsa, sebagai sebuah entitas dan proses politik modern, terletak pada ambisi dan kemampuannya menaklukkan dan mengatur ruang dan waktu kehidupan manusia. Keragaman identitas manusia dan relasi sosial-politik tak lagi dianggap sepenting identitas dan relasi manusia sebagai warga negara. Bahkan, dalam realitas politik internasional yang bertumpu pada konsepsi negara-bangsa, identitas dan keberadaan seorang manusia hanya dapat diakui melalui secarik passport.

Melalui passport, negara-bangsa seakan meminjamkan wujud kepada warganya sehingga dia dapat dikenali di negara lain. Dominasi negara-bangsa sebagai entitas dan proses politik modern menyebabkan kita terkadang lupa pada ragam bentuk dan relasi politik yang berbeda, seperti persahabatan. Seakan, satu-satunya relasi politik adalah politik kenegaraan.

Dahulu, filsuf Yunani Aristoteles mengingatkan kita tentang dimensi etis dan politis persahabatan (lihat: Nicomachean Ethics, buku VIII). Persahabatan adalah wahana terbentuknya pandangan etika dan relasi politik. Persahabatan hakiki, bagi Aristoteles bukanlah relasi antara dua orang manusia yang memiliki pandangan kehidupan dan moral yang sama. Sebaliknya, persahabatan seharusnya berfungsi sebagai ranah negosiasi antara pandangan kehidupan yang berbeda. Dalam persahabatan, dua individu saling mempengaruhi, sehingga terjadi tarik-menarik nilai, pikiran, dan pandangan hidup.

Dinamika tersebut melahirkan pandangan baru, bukan pandangan si A atau si B, tapi pandangan keduanya. Persahabatan yang terjalin dengan baik menghasilkan komitmen bersama terhadap pandangan yang terlahir dari relasi tersebut. Fungsi persahabatan sebagai wahana terbentuknya pandangan moral kolektif inilah yang kemudian menjadikannya sebagai pondasi utama politik.

Dalam pandangan Aristoteles, polis atau negara-kota (city state) adalah proyek kolektif yang bermaksud merealisasikan visi moral yang terbentuk melalui kerangka persahabatan. Oleh karenanya, Aristoteles berpendapat bahwa relasi warga sebuah polis sudah sepatutnya bercermin pada relasi persahabatan. Seperti persahabatan, relasi yang mengikat warga sebuah polis adalah upaya bersama mencari dan merealisasikan visi kebajikan yang terlahir dari dan melalui relasi itu sendiri.

Beberapa filsuf dan teolog Muslim juga mengusung dan menjabarkan pandangan Aristoteles tentang persahabatan. Ahmad b. Muhammad Miskawayh (m. 1030), misalnya, menegaskan persahabatan sebagai intisari ajaran agama (lihat: Tahdhib al-akhlaq). Agama, bagi Miskawayh menawarkan kerangka persahabatan antarmanusia.

Persahabatan adalah cikal bakal pembentukan negara dan pembangunan peradaban. Maka pelbagai praktik yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, seperti salat berjamaah, berpuasa, berzakat, dan haji semuanya dimaksudkan untuk membentuk tali persahabatan antar manusia yang berbeda-beda. Komunitas politik yang dahulu digagas Nabi Muhammad di Madinah pun berdiri di atas fondasi suhba (persahabatan) antara sang Nabi dan para pengikutnya.

Begitu pentingnya persahabatan hingga Abu Hamid al-Ghazali (m. 1111) menegaskan bahwa persahabatan, layaknya perkawinan, adalah sebuah kontrak antara dua orang manusia berjenis kelamin yang sama, di mana kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dihormati dan ditunaikan (lihat: Ihyaʾ ʿulum al-din: kitab adab al-suhba wa al-mu'ashira). Seperti Aristoteles, Miskawayh dan al-Ghazali menekankan pentingnya persahabatan sebagai wahana terbentuknya norma-norma kolektif, dan karenanya ia merupakan relasi politik dan fondasi peradaban.

Visi politik yang terbangun dari relasi persahabatan tidak berorientasi kepada governance atau pemerintahan dan pengelolaan yang bertumpu pada kekuasaan dan kedaulatan, tapi kepada mu'awanah (mutual help/mutual care): praktik saling mengingatkan dan tolong-menolong dalam memikirkan dan merealisasikan kebajikan bersama. Berbeda dengan relasi politik negara-bangsa, visi politik yang terbentuk dalam kerangka persahabatan tidak berdasar pada prinsip-prinsip legal seperti yang membentuk relasi kewarganegaraan.

Visi political community yang ditawarkan Aristoteles, Miskawayh, dan al-Ghazali mungkin terdengar asing bagi kita. Betapa tidak, sedang politik sebagai sebuah proyek bersama adalah konsepsi yang asing dan mungkin usang dalam dunia modern yang semakin bertumpu pada asumsi-asumsi individualisme seperti yang kerap didengungkan oleh para pengusung liberalisme. Di samping itu, di era mutakhir persahabatan tak lagi dimaknai sebagai sebuah relasi sosial-politik.

Lebih lagi, pertemanan maya seperti dewasa ini telah memiskinkan makna persahabatan. Persahabatan tak lagi bertumpu pada upaya pertemuan, meluangkan waktu bersama, saling belajar, dan mengingatkan. Persahabatan justru ditakar dengan praktik saling menyukai, dan mengomentari update status di media sosial.

Namun, setiap bulan Ramadan tiba saya seakan menemukan kembali wujud relasi persahabatan dalam senarai kegiatan yang kerap diadakan. Baik anggota keluarga yang berkumpul kembali sambil menanti azan magrib atau kawan lama yang melepas rindu dalam perjamuan buka puasa dan tarawih bersama. Yang lebih indah lagi, di Indonesia, kegiatan buka puasa tidak hanya melibatkan kawan dan sahabat Muslim, namun juga mereka yang berbeda keyakinan.

Maka, setiap kembali menginjak Tanah Air di bulan Ramadan, perantau seperti saya merasa layaknya kembali tertambat pada relasi-relasi sosial yang jauh lebih luhur dan manusiawi ketimbang relasi profesional ataupun legal (seperti kewarganegaraan). Bulan Ramadan selalu mengingatkan saya bahwa persahabatan mungkin masih memiliki ruang di dunia yang semakin mengabur dan maya.

Tidak heran jika kemudian saya merasa sangat terusik saat ruang hangat persahabatan kerasukan politik kenegaraan. Membiarkan penyusupan ini terjadi berarti mengundang lengan gurita negara-bangsa dengan logika kekuasaannya untuk merasuki ranah sosial yang semestinya bebas dari bayang-bayang politik kenegaraan. Membiarkan proses ini berlanjut sama dengan menghancurkan potensi etis dan politis yang terkandung dalam kerangka persahabatan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan negara-bangsa. Realitasnya, sistem negara-bangsa adalah norma politik yang memang dominan di zaman modern, seperti layaknya dahulu imperium, kerajaan, kesultanan, dsb. Maka sah-sah saja jika kita terus berkomitmen kepada stabilitas sistem pemerintahan, ketatanegaraan, hukum, dan birokrasi yang ditawarkan negara-bangsa. Yang salah adalah ketika kita menjadikan negara-bangsa sebagai satu-satunya artikulasi dan relasi etik dan politik manusia.

Oleh karena itu, biarkan negara-bangsa bergerak sesuai dengan fungsinya. Namun, jangan biarkan logika politik kenegaraan menjajah dan merasuki relasi persahabatan yang juga fundamental bagi kebahagiaan sosial dan individu. Ketimbang mereduksi politik persahabatan dalam kerangka politik kenegaraan, sebaiknya kita biarkan persahabatan memainkan fungsi etis dan politis yang berbeda, namun justru dapat melengkapi peran politik kenegaraan dalam kehidupan manusia. Mungkin bulan suci Ramadan adalah momentum tepat untuk mengingat kembali kekayaan dimensi etis persahabatan dan potensi politik kemanusiaan yang terkandung di dalamnya.

Ismail Fajrie Alatas Assistant Professor of Middle Eastern and Islamic Studies, New York University

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads