Misalnya, masuknya IM melaui Partai Kebebasan dan Keadilan di Mesir dan al-Nahdhah di Tunisia ke arena politik dan merebut kekuasaan disertai moderasi ideologi, keduanya telah meletakkan teori post-Islamisme benar-benar berwibawa duduk di singgasana. Tak hanya itu, di Indonesia dan di sejumlah negara muslim lain, tesis post-Islamisme memperoleh pembuktian yang semakin kuat dengan gerak moderasi partai-partai Islamis dalam isu demokrasi, masyarakat sipil, dan hak asasi manusia.
Sikap moderasi Islamis terhadap negara-bangsa dan demokrasi di sejumlah negara itu menjadi fakta yang bisa dibaca dengan enak dengan konsep-konsep kunci post Islamisme. Namun, perkembangan konflik yang beragam dan rumit pasca-Arab Springs di sejumlah negara Arab yang melibatkan kelompok-kelompok Islamis menjadi titik yang tak lagi mudah dijelaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ideologi Belum Mati
Segera setelah beberapa rezim di Timur Tengah jatuh, kelompok-kelompok Islamis memperoleh kesempatan untuk masuk ke arena perebutan kekuasaan. Dan, faktanya mereka sempat berhasil. Di Mesir, partainya IM (Partai Kebebasan dan Keadilan) memenangkan pemilu parlemen yang disusul kemenangan merebut kursi presiden melalui pemilu demokratis. Muhammad Mursi yang "baru saja" keluar dari penjara tiba-tiba masuk istana dan duduk di singgasana berkat kemenangannya dalam pemilu presiden melawan calon kuat dari militer. Di Tunis, hal yang hampir sama juga terjadi.
Sontak Post-Islamisme disanjung-sanjung sebagai teori yang tangguh dalam memotret dan menjelaskan fakta-fakta baru politik Islam. Dan, saat itu pula para ahli seolah-olah menyepakati bahwa ideologi Islamis telah mati. Semua bergerak ke tengah, menjadi moderat, menerima proses demokrasi, masyarakat sipil, HAM, dan seterusnya baik dengan memandang demokrasi sebagai sesuatu yang kompatibel dengan Islam sebagaimana pandangan kelompok-kelompok Ikhwani memandang demokrasi sebagai alat saja (misalnya partai-partai politik Salafi di Mesir).
Agenda-agenda Islamis seperti mendirikan negara Islam dan khilafah saat itu seolah sudah ditinggalkan, tak lagi memperoleh tempat, bahkan menjadi agenda usang. Tapi, pasca-kejatuhan kelompok-kelompok Islamis dari kekuasaan, dan di tengah "tak adanya" kesempatan struktural, gerakan politik Islam tak lagi mudah dibaca dalam konteks moderasi ideologi.
Agenda formal kekuatan-kekuatan formal politik Islam memang mengarah pada moderasi, tapi di level masyarakat terjadi keragaman yang luar biasa, mulai dari spektrum yang moderat hingga tetap teguh menginginkan agenda formal Islamis bahkan dengan cara-cara teror. Di Indonesia, partai-partai Islam sudah lama menjadi sangat moderat, bahkan bisa dikatakan tak ada perbedaan ideologi yang diperjuangkan antara partai Islam dan bukan Islam.
Tapi, jalanan dan narasi masyarakat muslim Indonesia diwarnai pertentangan tajam hingga persoalan yang sangat dasar. Pada titik ini, kepentingan baik individu maupun kelompok, agensi, dan semacamnya menjadi titik tolak analisis yang tak bisa diabaikan. Jadi, ideologi ternyata belum mati. Kini, pemikiran baru politik Islam mengarah pada kecurigaan terhadap gerak moderasi Islamis belakangan ini. Bahwa moderasi selama ini hanya terkait dengan realitas yang memang mendesak mereka untuk melakukan hal demikian.
Markus Holdo di atas memberikan cara pembacaan baru bahwa mendekatnya Islamis ke nilai-nilai demokrasi, masyarakat sipil, dan HAM tidak datang dari dalam tapi karena tuntutan dari luar agar mereka terinklusi ke dalam lingkungan baru yang ada. Jadi, ini hanyalah persoalan perubahan strategi di lingkungan yang berbeda, bukan persoalan cara pandang yang memiliki arti lebih dalam.
Belum Selesai
Masa depan politik Islam masih remang-remang, dan tentu juga hingga sekarang tak bisa dibaca secara tunggal. Kuatnya pengaruh post-Islamis seolah meneguhkan bahwa agenda-agenda Islamis seperti proyek negara Islam atau khilafah itu dengan sendirinya akan terpinggirkan dan mati. Post-Islamis tak ubahnya adalah endinism-nya Francis Fukuyama yang memproklamasikan kematian ideologi-ideologi di luar demokrasi liberal.
Faktanya, semua itu belum berakhir termasuk di Indonesia. Proklamasi post-Islamisme menurut saya terlalu gegabah. Pertarungan di masyarakat muslim masih akan sangat kuat dan panjang dengan melibatkan spektrum ideologi dari titik yang paling jauh dari demokrasi hingga titik yang paling dekat.
Kelompok-kelompok Jihadis baik dari Islamis, Salafi, maupun gabungan antara keduanya, teroris lokal, internasional, dan gabungan antara semua itu tak bisa dipandang enteng. Ada lapisan masyarakat muslim yang bisa disebut sebagai jaringan keluarga jihad global. Unsur masyarakat muslim ini faktanya mendukung setiap organisasi teror muslim yang paling kredibel mulai Tandzim al-Qaeda, ISIS, dan jika keduanya melemah mungkin juga akan mendukung organisasi teror baru yang muncul.
Lapisan itu sangat sulit dihapuskan dari peta masyarakat muslim dalam satu atau dua generasi. Lapisan-lapisan masyarakat yang semakin mendekat dengan demokrasi juga banyak seiring dengan sikap realistis umat Islam ataupun penggalian keislaman yang substantif. Masa depan politik Islam termasuk di Timur Tengah dan Indonesia adalah medan laga yang belum selesai antara spektrum ideologi yang sangat luas, kepentingan yang beragam, dan agen/aktor yang saling berebut ruang.
Dr. Ibnu Burdah, MA pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam, dosen Fakultas Adab dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)