Adanya paham radikal di kampus juga bukan hal baru. Sejak zaman Orde Baru kampus-kampus sudah terpapar pada paham-paham radikal. Ada banyak cerita tentang mahasiswa yang akhirnya berhenti kuliah, untuk bergabung dalam sebuah gerakan untuk membangun negara Islam. Di berbagai pengajian di kampus mereka bertemu dengan pemikiran radikal itu.
Lalu, apa itu paham radikal? Bagi saya definisinya bisa dibuat sederhana, yaitu orang yang dalam beragama menganggap pemeluk agama lain sebagai musuh atau ancaman bagi dirinya, dan ia menginginkan negara ini diatur berdasarkan ajara agama dia secara utuh. Itu definisi dasarnya. Setiap orang yang punya pemikiran seperti itu sudah bisa kita anggap berpaham radikal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, bukankah tidak semua orang yang berpaham seperti itu melakukan tindak kekerasan? Betul. Tapi, boleh dibilang itu cuma soal timing. Begitu orang sudah menganggap penganut agama lain sebagai musuh, ia sebenarnya sudah siap untuk melakukan kekerasan. Paham itu disertai ajaran bahwa mereka wajib untuk terlibat dalam qitaal (perang) bila sudah diperintahkan.
Tentu saja ada perbedaan intensitas radikal tersebut. Ada orang radikal yang siap mati hari ini, saat ini, dan memandang bahwa umat agama lain di sekitarnya layak dibunuh. Itulah para pelaku teror yang selama ini beraksi di Indonesia. Mereka adalah orang yang paling tinggi intensitas radikalnya. Di bawah tingkat itu ada orang-orang yang tidak mau menjadi mujahid secara praktis, tapi mendukung aksi itu. Orang-orang jenis ini dapat dengan mudah kita temukan di media sosial.
Di tingkat yang lebih bawah ada orang-orang yang tidak mendukung aksi teror itu. Bagi mereka, aksi teror itu tidak tepat, karena berbagai alasan. Ada yang menganggap belum saatnya. Ada pula yang menganggapnya tidak strategis dalam konteks mencapai tujuan yang lebih besar. Meski demikian, kelompok ini tetap harus dikategorikan sebagai penganut paham radikal, karena pada akhirnya mereka akan bergerak. Ini hanya soal waktu.
Kelompok-kelompok ini, dengan berbagai intensitas radikalisme tadi, ada di kampus. Bibitnya sudah ada sejak sebelum kemerdekaan. Banyak orang yang berjuang untuk merdeka, dengan niat untuk mendirikan negara Islam. Tapi, lebih banyak lagi yang menginginkan negara kesatuan. Itu tercermin dalam proses pembahasan soal dasar negara di PPKI. Akhirnya diputuskan untuk membentuk NKRI.
Semangat itu tidak pernah padam. Itu tercermin dalam sidang-sidang Konstituante yang berjalan alot. Soekarno kemudian menghentikannya dengan Dekrit 5 Juli. Di sisi lain semangat yang sama menimbulkan sejumlah pemberontakan bersenjata.
Di zaman Orde Baru, Soeharto menekan semua kekuatan politik yang bisa mengancam stabilitas politik dan keamanan. Dia menyebutnya sebagai dua ekstrem, yaitu ekstrem kiri (komunis) dan ekstrem kanan (Islam). Keduanya ditekan dengan keras. Orang-orang dari golongan itu ditangkap dan dikurung tanpa proses pengadilan.
Tindakan Soeharto itu dilakukan dalam semangat menjaga Pancasila sebagai dasar negara. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Soeharto melakukan banyak tindakan untuk mengamankan kepentingan kekuasaan dia sendiri, atas nama Pancasila. Maka waktu itu paham anti-Pancasila dianggap terpuji oleh banyak orang. Anti-Pancasila berimpit dengan anti Soeharto.
Dalam suasana itu paham-paham radikal tadi bersemi, khususnya di kampus-kampus. Aktivitas politik oleh mahasiswa yang dilarang melalui kebijakan NKK/BKK, bergeser menjadi pengajian-pengajian dalam jaringan besar, yang dipecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil. Di masa inilah pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir tumbuh subur. Yang kita saksikan sekarang adalah kelanjutan dari proses itu.
Definisi yang saya buat soal paham radikal itu adalah definisi di level pemikiran. Artinya, orang-orang itu punya keinginan untuk mengubah bentuk negara ini, dan mengganti dasar negara. Mereka tidak otomatis adalah pelaku atau calon pelaku tindak kekerasan. Tapi, mereka sangat potensial untuk setidaknya membenarkan aksi-aksi kekerasan.
Nah, pernyataan BNPT tadi ada di tingkat mana, dan untuk konteks apa? Kalau sekadar menyatakan bahwa kampus sudah terpapar, itu fakta basi. Sudah dari dulu begitu. Kalau yang dimaksud adalah radikalisme dalam bentuk yang lebih tinggi intensitasnya, yaitu siap melakukan tindak kekerasan sekarang, maka arah pernyataan itu tidak ditujukan hanya kepada Kemenristek Dikti, tapi kepada kepolisian.
Meski fakta basi, pemerintah dalam hal ini Kemenristek Dikti memang harus bertindak. Banyak dosen yang berpaham radikal, dan mengajarkannya kepada mahasiswa. Apa tindakan yang akan diambil? Belum jelas.
Secara politis ini soal yang jauh lebih pelik. Tindakan anti-radikalisme yang dilakukan pemerintah dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk membangun dukungan. Mereka mencitrakan tindakan itu sebagai tindakan anti-Islam. Mereka justru menentang tindakan pemerintah, dan menyatakan bahwa pemerintah ini harus diganti karena tindakan-tindakan itu. Oposisi, sebagian memang terdiri dari penganut paham tadi. Sebagian yang lain hanya berpetualang, mencoba memanfaatkan berbagai peluang, tanpa peduli pada bahayanya.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)