Pancasila diharapkan dapat memelihara kemajemukan, mempersatukan perbedaan, dan merawat keberagaman di bawah naungan panji bhinneka tunggal ika. Artinya, kekhasan dan keunikan masing-masing komunitas masyarakat diapresiasi sebagai kepingan-kepingan khazanah bangsa dan energi positif dalam mengarungi bahtera zaman. Dengan demikian, Pancasila dipandang sebagai simpul kesepakatan antarberbagai golongan masyarakat dalam mewujudkan aspirasi bersama, yakni menjadi bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur sesuai dengan amanat Mukadimah UUD 1945.
Namun, aspirasi ideal tersebut dirasa jauh dari kenyataan, mengingat Pancasila belum menjadi ruh yang menjiwai gerak hidup masyarakat. Masing-masing komunitas masih menggunakan bahasa-bahasanya sendiri dalam mengatasi persoalan, dan belum membumikan Pancasila sebagai bahasa pemersatu, pengikat, dan pemelihara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, kita patut merefleksikan kembali makna dan sejauh mana Pancasila mampu menjadi lentera yang menuntun kita dalam mewujudkan cita-cita kolektif sebagai warga bangsa Indonesia.
Pertama, sudahkah kita mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menekankan pentingnya pemahaman keagamaan yang moderat-inklusif dan berorientasi pada harmoni antarsesama umat beragama? Rasa-rasanya belum. Kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur pekan lalu adalah segelintir contoh konflik bernuansa agama pasca 1998 yang menunjukkan betapa kita gagal memaknai dan merelevansikan sila pertama Pancasila dalam kehidupan beragama kita.
Salah satu implikasi dari pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah memutlakkan Tuhan sebagai satu-satunya Dzat Yang Maha Mutlak sehingga menolak, melawan, dan melepaskan diri dari belenggu absolutisme dan otoritarianisme. Tidak dibenarkan suatu pemikiran maupun perilaku yang memutlakkan sesuatu selain-Nya. Bagi seorang Muslim, khususnya, paham Ketuhanan Yang Maha Esa adalah cerminan dari prinsip Tauhid yang merupakan pedoman utama bagi setiap Muslim dalam menjalani kehidupan, yakni senantiasa tunduk dan pasrah sepenuhnya kepada Allah SWT (islam).
Kedua, sudahkah kita mengejawantahkan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang menitikberatkan pada penghormatan hak-hak asasi sesama warga guna memenuhi rasa keadilan dan keberadaban? Rasa-rasanya belum. Kasus penyanderaan dan pembunuhan sadis atas prajurit Polri di Mako Brimob beberapa waktu lalu adalah salah satu cerminan kebiadaban sebagian kita yang bertentangan dengan hakikat kemanusiaan yang paling esensial, yakni manusia sebagai makhluk yang secara inheren selalu berorientasi pada kebaikan.
Siapapun pasti mengamini bahwa cita-cita kemanusiaan universal yang dijunjung sila kedua ini masih jauh dari harapan. Apalagi, semenjak bergulirnya era Reformasi, kecenderungan sebagian warga negara untuk tidak menghormati dan menghargai hak-hak sesama warga negara masih cukup mencolok. Korupsi, pembantaian, perampokan, dan pencabulan adalah sederet kasus yang kian hari kian menggerus nalar kemanusiaan kita.
Ketiga, sudahkah kita mengimplementasikan sila Persatuan Indonesia, yang menjadi pantulan dari semangat bhinneka tunggal ika serta bukti pengakuan realitas majemuk masyarakat sebagai conditio sine qua non bagi lahirnya negara-bangsa Indonesia? Rasa-rasanya belum. Kuatnya pengaruh gerakan-gerakan yang berusaha menggeser kedudukan Pancasila akibat menguatnya politik identitas adalah gambaran bagaimana kita jatuh bangun mengawal kesatuan Republik ini dari berbagai potensi yang dapat memicu perpecahan dan disintegrasi.
Fundamentalisme agama, globalisasi, dan etno-nasionalisme adalah tiga ancaman serius yang saat ini menghantui bangsa Indonesia. Di tengah konstelasi global yang kian terintegrasi, masyarakat dibingungkan oleh derasnya aliran informasi yang menawarkan beragam aliran pemikiran dan ideologi keagamaan di mana masing-masing memonopoli kebenaran akibat paham keagamaan yang cenderung formalistik-ritualistik. Di samping itu, terjadi penguatan identitas lokal berbasis etnis yang menyebabkan masing-masing daerah menuntut privilese yang sama, dan tak jarang bermuara pada munculnya gerakan-gerakan separatis-radikal.
Keempat, sudahkah kita mengaktualisasikan sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, yang merupakan perwujudan demokrasi politik sebagai konsekuensi atas pengakuan kedaulatan rakyat dan penghormatan hak-hak setiap warga negara? Rasa-rasanya belum. Banyaknya wakil rakyat (dengan penekanan pada fungsi esensialnya sebagai pengemban amanah rakyat) yang terjerat kasus korupsi adalah bukti bagaimana rakyat hanyalah angka-angka statistik yang ramai diperebutkan pada masa pemilu, namun sesungguhnya tidak pernah terwakili kedaulatan dan aspirasinya oleh lembaga-lembaga yang selama ini mengatasnamakannya.
Dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pihak yang paling sering kalah, tertindas, dan termarjinalkan. Namanya disematkan di mana-mana, namun tak pernah betul-betul dihadirkan ruh dan esensinya, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyat dielu-elukan di saat tertentu, tetapi dibuang bila tak lagi dibutuhkan. Rakyat hanyalah komoditas politik. Sampah zaman. Adalah kebohongan sejarah bila rakyat dianggap telah terwakilkan aspirasinya melalui mekanisme demokrasi seperti yang ada saat ini. Akibatnya, timbul apatisme dan sinisme dari rakyat terhadap mereka (individu maupun lembaga) yang selama ini mengatasnamakannya.
Kelima, sudahkah kita menerapkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang menjadi tujuan pokok kehidupan bernegara melalui pola distribusi dan kepemilikan kekayaan secara proporsional, dan bertumpu pada semangat solidaritas sosial? Rasa-rasanya belum. Indeks rasio gini yang mencapai 0,391 sebagai salah satu ukuran ketimpangan kemakmuran dan fakta bahwa 1 persen orang terkaya menguasai 49 persen ekonomi nasional merupakan realitas yang sangat melukai nurani dan sense of justice kita sebagai bagian dari Republik ini.
Keadilan sosial merupakan cita-cita luhur dari tujuan didirikannya negara-bangsa Indonesia. Setelah negara-negara kolonial silih berganti mengeruk bumi pertiwi, para Bapak Bangsa merasa sudah saatnya rakyat negeri ini menikmati kekayaan hasil alam yang begitu berlimpah. Itulah sebabnya sila terakhir mengamanatkan keadilan sosial sebagai konsekuensi final dari pergumulan perikemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan yang dijiwai oleh kesadaran atas kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sayangnya harapan ideal itu tidak pernah terwujud karena kekayaan negeri ini masih didominasi oleh kekuatan kapital berskala raksasa yang dibuka lebar-lebar jalannya melalui skema perekonomian kapitalistik oleh para elite politik yang oportunis, licik, dan tak berperikemanusiaan.
Mengingat sedemikian banyaknya pelanggaran yang kita lakukan terhadap prinsip-prinsip luhur Pancasila, sudah sepantasnya kita bermuhasabah dan bertanya: Apakah Pancasila yang kita yakini sebagai dasar dan falsafah negara sungguh-sungguh melandasi setiap pemikiran dan laku hidup kita sehari-hari? Seberapa besar urgensi atas pengamalan nilai-nilai Pancasila di seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam ikhtiar menuju Indonesia yang adil dan sejahtera?
Dengan demikian, sudah saatnya kita sungguh-sungguh berkomitmen mengaktualisasikan Pancasila sebagai wujud penghormatan kita kepada para pendiri bangsa yang telah mendarmabaktikan jiwa, raga, dan pikiran demi lahirnya Pancasila, serta sebagai tanggung jawab kolektif kita sesama warga bangsa yang hidup dan dihidupi oleh Tanah Air Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama, yakni Indonesia yang adil, makmur, damai, dan sejahtera.
Rezza Deviansyah mahasiswa S2 di Australian National University dan Penerima Beasiswa LPDP
(mmu/mmu)