Setelah pemerintah mengumumkan negara darurat narkoba serta darurat korupsi, mungkin juga bakal disiarkan bahwa kita darurat kekerasan. Belum lagi menghitung persoalan lain seperti kemiskinan, yang secara angka bisa jadi lebih baik, namun masih jadi masalah ketika bersentuhan dengan jaminan kesehatan serta pendidikan yang belum merata. Bagai kerikil dalam sepatu, sepanjang jalan akan mengganggu langkah.
Tidak cukup waktu semalaman suntuk sekalipun untuk menyebutkan persoalan satu per satu yang akhir-akhir ini makin menggurita, mengikat kita. Pertanyaannya adalah mengapa itu semua terus terjadi? Adakah solusi dari ini semua? Bagaimana kita bisa bahagia sementara sekian persoalan tersebut berkelindan dengan keseharian kita? Berbagai pertanyaan ini menjadi penting, dan punya nilai strategis untuk mengkaji dan memahami serta mencari solusi yang jitu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesadaran Buddha Sakyamuni juga berawal dari pergulatannya pada pertanyaan-pertanyaan hakiki seputar kehidupan. Terlahir dalam kerajaan Kapilavasthu, Siddharta Gautama adalah pangeran yang telah disiapkan menjadi putra mahkota, penerus tahta Raja Sudodhana, ayahnya. Namun, pertemuannya pada empat peristiwa, yakni kelahiran, orang tua, orang sakit, dan orang meninggal telah menggelisahkan dirinya. Membuat dirinya bertanya-tanya untuk apa sesungguhnya manusia dilahirkan ke alam ini, jika sejak lahir sudah menangis, menderita karena tua, tak berdaya karena penyakit hingga kemudian meninggal? Adakah tujuan kelahiran manusia hanya untuk menderita? Lalu, apa itu kebahagiaan?
Kegelisahan akan sejumlah tanya tanpa jawab ini telah mengalahkan nafsu untuk menikmati harta, menduduki tahta, serta semua yang bisa diperoleh seorang pangeran, calon raja. Semua ia tinggalkan, untuk mencari jawaban yang terus menghantui dirinya. Berbagai guru ia temui, sejumlah ajaran dipelajari. Bukan cuma itu, ia juga bertapa, berkelana, bahkan menyiksa diri dengan membatasi makan dan minum.
Hingga kemudian ia mencapai kesadaran di bawah pohon Bodhi, yang dikenal dengan kesadaran Buddha. Salah satu ajaran utamanya adalah maitri karuna. Secara sederhana kesadaran yang tertuang dalam ajaran tersebut, pertama bahwa tujuan kelahiran kita sebagai manusia adalah untuk satu sama lain saling memikirkan, membantu perwujudan kebahagiaan bersama. Hidup hanya akan ada arti jika kita menumbuhkan simpati, empati, maupun cinta pada satu sama lain untuk kebahagiaan bersama.
Sementara dalam keseharian kita saat ini, jika menengok dinamika (media) sosial, sepertinya berisi melulu kebencian dan kekerasan. Kalau saja piranti gadget kita bisa diperas, mungkin mampu meneteskan darah. Sejak dalam pikir, menguasai perasaan, terekspresi dalam perkataan dan perbuatan, aksi saling benci terlihat mendapat panggung, dipertontonkan, mendapat tepuk tangan, dan ditiru dengan kebanggaan. Bagai harta, bahkan kebencian tersebut juga diwariskan untuk agar seluruh generasi terus dan saling benci.
Kesadaran lain Sang Buddha yang juga termasuk utama adalah keterkaitan antarmanusia dan lingkungan, satu sama lain yang saling memiliki dan menumbuhkan hubungan sebab akibat. Artinya, segala akibat yang kita alami dan terima, pasti juga memiliki sebab dari diri kita yang pernah kita buat. Mungkin tidak dirasakan atau diingat pada masa sekarang, namun bisa saja dilakukan pada kehidupan masa lampau. Bagai bentuk dan gerak yang membentuk bayangan, kitalah yang menjadi sebab hingga mengakibatkan bentuk bayangan seperti itu.
Sebaliknya, menyadari bentuk bayangan yang bengkok, untuk mendapatkan bentuk yang lurus, kita pun menerima bayangan sebagai pelajaran untuk memperbaiki diri. Namun, sekali lagi, kenyataan keseharian saat ini justru sebaliknya. Kita lebih mudah menyalahkan siapa saja, apa saja, atas kemalangan yang kita alami. Usaha yang bangkrut menyalahkan lawan bisnis yang curang; pengangguran menyalahkan tidak tersedianya lapangan kerja yang cocok dengan keinginannya; anak sekolah menyalahkan guru dan sekolah karena tinggal kelas; hingga, politisi yang memarahi rakyat karena tidak mendukung.
Kekalahan diri disebabkan oleh keberadaan orang lain. Sehingga tidak heran jika kemudian jalan yang dipilih untuk menang adalah meniadakan keberadaan orang lain, kalau perlu menempuh kekerasan. Dalam konteks sehari-hari, kita juga sering berpandangan bahwa perceraian, atau pun kebangkrutan yang kita alami disebabkan oleh orang lain. Rasa benci yang sangat akut, terkadang membuat kita malas melihat orang itu. Secara esensi, sama saja. Kita tidak mau orang lain itu ada.
Perayaan Trisuci Waisak 2562/2018 mengangkat tema Transformasikan Kesadaran Delusi Menjadi Kesadaran Murni dengan sub tema Marilah Kita Bersama-sama Berjuang Mengalahkan Sang Ego. Melalui Waisak ini kita diingatkan mengenai kesadaran Buddha yang murni, sesungguhnya adalah ketika justru menaruh kepentingan, kebahagiaan orang lain di atas diri kita. Kebahagiaan seorang ibu adalah ketika anak-anaknya sukses, kebahagiaan pedagang adalah ketik pelanggannya puas, kebahagiaan seorang tukang cukur rambut adalah ketika pengguna jasa merasa dirinya cantik dan tampan.
Sudah sewajarnya jika kemudian segala rasa, pikir, ucapan, dan tindakan kita kerahkan untuk mencari upaya membahagiakan orang lain. Kebahagiaan diri sendiri terletak dari usaha membahagiakan orang lain. Sebaliknya, akibat hawa nafsu diri sendiri yang terlalu besar, kita malah terjerat oleh delusi khayalan yang memabukkan. Seolah-olah kebahagiaan adalah ketika kita lebih dari orang lain. Entah itu lebih kaya, lebih kuasa, lebih pintar, lebih rupawan. Menjadi miskin, buruk rupa, dan rakyat jelata sepertinya tidak berhak untuk bahagia. Hanya dengan membenci, meniadakan mereka yang kaya, cantik, dan pintar kita bisa bahagia. Itu semua jelas delusi.
Kembali pada berbagai persoalan yang menerpa negeri ini seperti korupsi, narkoba, dan aksi kekerasan, jika dipandang dari kesadaran Buddha, itu semua adalah sebagian dari wajah kita. Kita yang serakah, kita yang mudah terbuai khayal, kita yang lebih menghamba benci ketimbang cinta. Ada baiknya semua itu kini tampak di permukaan, sehingga bagai cermin, kita dapat melihat dengan jernih kebaikan maupun kekurangan diri kita. Persoalan memang bikin kita susah, menderita. Tapi, juga pelajaran. Dan, ibarat batu di tengah jalan, kalau tidak kita hiraukan mampu membuat kita tersandung. Namun, jika disadari justru bisa menjadi pijakan kuat untuk melangkah lebih jauh.
Iwan Setiawan pandita, staf Majelis Nichiren Syosyu Buddha Dharma Indonesia, anggota redaksi Majalah Buddhist Prajna Pundarika (mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini