Pada April lalu, publik sempat digemparkan oleh sepasang anak di bawah umur yang menggebu-gebu ingin menikah. Mereka pasangan dari Bantaeng, Sulawesi Selatan yang masih berusia 'belia'. Usia si perempuan 14 tahun, sedangkan si laki-laki 15 tahun. Keduanya pun masih duduk di bangku SMP. Permohonan nikah pasangan remaja ini ditolak oleh KUA Kecamatan Bantaeng. Kejadian itu hanya salah satu dari sekian banyak perkawinan anak yang terjadi di Indonesia.
Perkawinan di bawah umur memang menjadi perhatian dunia, termasuk di Indonesia. Ada banyak alasan bahwa perkawinan di bawah umur merupakan permasalahan yang serius, dan perlu diatasi dan dicegah guna menghindari dampak buruk yang berkepanjangan.
Berdasarkan survei BPS bersama UNICEF Indonesia, beberapa wilayah yang merupakan kantong pernikahan anak antara lain Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Jika dikaitkan dengan kasus di atas, kasus perkawinan anak terjadi di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi memang masih banyak wilayah dengan angka perkawinan anak di bawah umur yang tinggi.
Batas usia perkawinan di Indonesia berdasarkan UU Perkawinan saat ini yaitu 16 tahun untuk perempuan, dan 19 tahun untuk laki-laki. Berdasarkan hukum yang berlaku, perkawinan anak dimasalahkan jika pengantin belum cukup umur untuk menikah. Selain melanggar hukum, jika pernikahan terjadi akan ada banyak hak yang terenggut sebagai anak. Hak-hak yang terenggut serasa lebih kompleks ke depannya.
Pasca pernikahan, hubungan pasangan pasti akan mengarah pada hubungan biologis suami-istri. Secara fisik tentu ada yang membedakan dengan pasangan yang menikah dengan usia yang cukup dan matang. Pernikahan usia anak bagi perempuan berdampak banyak hal. Anak usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dunia dalam kasus kehamilan dan persalinan dibanding usia 20-24 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, banyak anak, terutama anak perempuan yang sudah menikah akan putus sekolah. Hal itu dapat menyebabkan semakin sempitnya peluang perempuan muda untuk memperbaiki kesejahteraan. Akhirnya, akan memperpanjang masalah sosial yang sudah ada.
Indonesia memang tengah memasuki fase peralihan untuk pembangunan. Kondisi angka pernikahan anak yang tergolong masih sangat tinggi merupakan salah satu hal yang membuat negara "tertatih". Meskipun angka pernikahan anak mengalami penurunan secara bertahap dari 33% pada 1985, 26% pada 2010, dan 23% pada 2016 tapi prevalensinya masih tetap relatif konstan.
Prevalensi atau angka kejadian pernikahan anak lebih banyak terjadi di perdesaan dengan angka 27,11%, dibandingkan dengan di perkotaan (17, 09%). Permasalahan lain, perkawinan anak di bawah usia 15 tahun tidak mencerminkan prevalensi yang sesungguhnya, karena banyak perkawinan disamarkan sebagai perkawinan anak perempuan di atas 16 tahun.
Berbagai cara dilakukan oleh keluarga agar pernikahan di usia anak bisa terwujud. Terdapat banyak manipulasi data usia. Contohnya, kasus anak perempuan usia 14 tahun yang dinikahkan orangtuanya. Usia sang anak tidak memungkinkan untuk mendapatkan legalitas hukum, maka pernikahan dilakukan di bawah tangan.
Bila orangtua ingin akta nikah, harus meminta persetujuan dari pengadilan. Namun, karena terhalang usia anak yang masih di bawah umur, manipulasi dilakukan dengan cara mengarang usia anak untuk 'sah di mata hukum'. Usia 14 tahun belum mendapatkan KTP, sehingga dibuatkanlah KTP agar 'berusia' 18 tahun. Hal ini bisa melibatkan RT atau RW hanya untuk mendapatkan surat nikah. (BPS, 2016 : 2).
Perkawinan anak di Indonesia kebanyakan juga terjadi di daerah yang masyarakatnya memegang teguh kepercayaan budaya tertentu. Seperti kebiasaan masyarakat yang menikahkan anak perempuannya jika sang anak sudah balig. Lebih aman dinikahkan daripada malah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, atau "banyak anak, banyak rezeki", atau dalih "menghindari zina".
Pernikahan dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral ketika terjadi kehamilan di luar nikah. Tak heran jika ada kasus hamil di luar nikah, maka solusinya adalah pernikahan. Seperti kasus "Siswa SD Menghamili Siswi SMP" di Tulungagung, Jawa Timur belakangan ini. Solusi kekeluargaan yang dipilih adalah menikahkan kedua bocah yang dilakukan. Usia keduanya masih di bawah umur sehingga KUA menolak menikahkan mereka, dispensasi nikah ke Pengadilan Agama pun diajukan.
Peran orangtua dan masyarakat sekitar berpengaruh kuat akan terjadinya pernikahan di bawah umur. Dispensasi perkawinan banyak yang terkabul. Seringkali pihak lembaga pernikahan juga tidak berdaya untuk mencegah pernikahan usia anak jika syarat dan berkas untuk mengajukan pernikahan sudah lengkap sesuai aturan yang berlaku.
Perkawinan anak ada yang dilakukan karena faktor ekonomi. Sebagai contoh, saat anak dinikahkan sebagai penebus utang. Menikahkan anak dengan orang yang lebih kaya juga diharapkan dapat memperbaiki keadaan ekonomi. Jika dilakukan terus-menerus dapat menimbulkan suatu kebiasaan yang pada akhirnya akan berimplikasi pada pembentukan budaya 'menikahkan anak'.
Hal itu diiringi dengan kurangnya pemahaman tentang makna 'pernikahan' yang membutuhkan banyak kesiapan untuk menopangnya. Di Indramayu misalnya, terdapat cukup banyak kasus perkawinan di bawah umur karena faktor kemiskinan. Perempuan di bawah umur dinikahkan dengan laki-laki 'pemberi janji kesejahteraan materi' yang usianya bisa tiga kali lipat. Harapan praktis dari pernikahan itu adalah perbaikan ekonomi. Seragam sekolah harus ditinggalkan, lalu menjadi ibu rumah tangga. Jika perekonomian tak membaik, terpaksa menjadi buruh migran ilegal tanpa keterampilan yang memadai. Kerja pun tak tenang, karena ilegal.
Selain itu, terdapat hubungan yang kompleks antara perkawinan usia anak dan pendidikan di Indonesia. Anak yang menikah di bawah umur cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Padahal, salah satu akses terbaik untuk menunda pernikahan anak adalah pendidikan hingga sekolah menengah.
Jika perkawinan anak masih menjamur, akan berdampak besar pada generasi yang selanjutnya. Kemiskinan belum tuntas masih diiringi dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi. Sehingga kualitas sumber daya manusia juga tidak akan lebih baik. Jika dalam keadaan ekonomi rendah, tentu akan sulit untuk mencapai akses atau fasilitas penunjang keterampilan seperti pendidikan dan lingkungan yang kondusif. Dampak buruk lain terkait dengan pembangunan; pembangunan akan menjadi tidak berarti jika pertumbuhan penduduk tidak terkendali.
Ada banyak aspek yang harus giat dilakukan agar penanganan perkawinan anak berjalan efektif. Penanganan norma sosial dan budaya yang melestarikan praktik menikah di bawah umur dapat dilakukan melalui orangtua, guru, keluarga, dan tokoh agama. Selanjutnya, memberikan akses pendidikan tinggi kepada anak-anak guna menangani masalah kerentanan ekonomi, dan memastikan anak-anak mencapai kedewasaan sebelum menikah. Pergaulan anak sangat perlu pengawasan dari orang dewasa, agar tidak timbul pemahaman yang salah, misalnya si anak sendiri yang justru malah sudah mengenal pacaran dan tumbuh keinginan untuk menikah.
Masyarakat sekitar pun juga harus memahami betul bahwa menikahkan anak di bawah umur sangat tidak dianjurkan. Saat ini sudah banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan. Sehingga banyak yang melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka yang berpendidikan tentu memiliki wawasan yang lebih luas, terbuka, serta kepekaan sosial yang tinggi. Peningkatan angka masyarakat yang berpendidikan diharapkan dapat membantu menurunkan angka perkawinan anak di bawah umur.
Rima Trisnayanti mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY