Mantan Koruptor Jadi Wakil Rakyat?

Kolom

Mantan Koruptor Jadi Wakil Rakyat?

Emerson Yuntho - detikNews
Senin, 28 Mei 2018 16:03 WIB
Komisi II DPR rapat dengar pendapat dengan Bawaslu dan Pemerintah (Foto: Lamhot Aritonang)
Jakarta - Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan terpidana korupsi menjadi calon wakil rakyat dalam Pemilihan Umum Legislatif 2019 ternyata tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR Selasa (22/5) lalu pihak DPR, Pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan menolak rencana KPU. Ketiga lembaga ini memutuskan mantan terpidana korupsi diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif (caleg) asalkan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Keputusan ini tidak saja menimbulkan banyak pertanyaan, namun tentu saja mengecewakan KPU yang berniat mendorong pemilu yang lebih demokratis dan berintegritas. Pihak KPU beralasan bahwa ketentuan melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai caleg diperlukan agar masyarakat bisa memilih anggota parlemen yang bersih dan punya rekam jejak bagus, termasuk tidak pernah tersandung masalah korupsi.

Usulan KPU ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan, mengingat pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Kondisi ini berbeda dengan Pemilu 2014 di mana KPU saat itu masih membolehkan mantan narapidana perkara korupsi ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif asalkan memenuhi sejumlah syarat. Sejumlah syarat yang harus dipenuhi antara lain telah selesai menjalani pidana penjara, secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan narapidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang.

Berdasarkan ketiga syarat tersebut sejumlah mantan narapidana korupsi kemudian mendaftarkan diri menjadi caleg pada Pemilu 2014. Sebut saja mantan Ketua KPU periode 2001-2005 Nazaruddin Sjamsuddin yang terjerat perkara korupsi dana taktis KPU dan dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Nazaruddin pada Pemilu 2014 pernah dicalonkan oleh Partai Bulan Bintang untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat meskipun akhirnya tidak terpilih.

Contoh lainnya adalah Muhammad Taufik, mantan Ketua KPU Jakarta yang pernah dijatuhi hukuman18 bulan penjara karena terbukti melakukan korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004. Taufik yang diusung oleh Partai Gerindra kemudian ikut dalam Pemilu 2014 dan terpilih menjadi anggota legislatif bahkan sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta.

Keberadaan caleg yang tidak berintegritas tentu saja akan menambah masalah bagi parlemen --baik di pusat maupun di daerah-- dikemudian hari. Muncul kekhawatiran mantan koruptor dalam parlemen hanya akan menularkan bibit korupsi kepada anggota legislatif lainnya, atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya.

Kekhawatiran mantan koruptor akan kembali melakukan korupsi (residivis) bukan tanpa alasan. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch hingga kini setidaknya terdapat 3 residivis dalam kasus korupsi di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Mochamad Basuki Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur dari Fraksi Partai Gerindra. Pada 6 Juni 2017 lalu Basuki ditangkap KPK dalam kasus suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur 2017. Basuki disebut menerima suap dari beberapa Kepala Dinas Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Proses hukum terhadap M. Basuki masih berlanjut di KPK.

Bukan kali pertama Basuki tersandung korupsi. Sebelumnya pada 2002 Basuki saat menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya pernah terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar pada 2002. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman pada Basuki 1 tahun 5 bulan penjara. Namun, di tingkat banding hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun penjara. Basuki keluar dari penjara pada 4 Februari 2004.

Pelarangan mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai caleg harusnya dimaknai sebagai niat baik KPU untuk mengembalikan citra lembaga legislatif di mata publik. Selama ini wajah legislatif selalu dinilai negatif akibat banyaknya anggotanya yang terlibat dalam perkara korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se-Indonesia pernah tersangkut perkara korupsi selama kurun waktu 2004-2014. Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 hingga Maret 2018 bahkan telah memproses 202 anggota legislatif baik di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten.

Pihak KPU sebagai penyelenggara pemilu pada dasarnya berwenang membuat aturan pelaksana asalkan tidak bertentangan dengan UU Pemilu. Hal ini bahkan pernah dilakukan pimpinan KPU pada 2014 lalu dengan melarang anggota DPR yang tersangkut dugaan perkara korupsi untuk dilantik sebagai DPR periode 2014-2019 meskipun hal ini tidak diatur dalam UU Pemilu. Ketika itu KPU mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunda pelantikan lima anggota DPR yang berstatus tersangka korupsi. Mereka hanya dapat dilantik sebagai anggota dewan setelah dinyatakan tidak terbukti secara hukum melakukan korupsi.

Pada akhirnya meski ditolak DPR, Pemerintah, dan Bawaslu, pihak KPU sebaiknya tidak perlu ragu untuk tetap mempertahankan gagasannya. Apalagi wacana ini telah mendapatkan dukungan dari KPK, perguruan tinggi, dan publik. Dukungan publik atas langkah KPU ini dapat dilihat dari petisi online change.org/koruptorkoknyaleg yang hingga 10 Mei 2018 telah ditandatangani oleh 67.200 orang. Jumlah ini setidaknya dapat menunjukkan bahwa masyarakat banyak yang menolak koruptor jadi caleg, dan berharap KPU konsisten dengan usulan tersebut.

Terlepas apakah rencana KPU akhirnya berhasil atau gagal diwujudkan dalam sebuah peraturan, publik pastinya menagih komitmen antikorupsi dari masing-masing parpol untuk memperbaiki proses seleksi internal mereka dengan lebih memperhatikan aspek integritas serta kualitas dari caleg yang akan maju dalam pemilu legislatif. Parpol bahkan seharusnya melarang kadernya yang bermental korup untuk maju menjadi caleg.

Jika tidak ada lagi mantan koruptor yang menjadi anggota legislatif setidaknya dapat mendorong perbaikan citra parpol dan parlemen di masa mendatang. Kedua lembaga tersebut nantinya tidak lagi ditempatkan sebagai institusi terkorup di negeri ini.

Emerson Yuntho Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW)

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads