"Sedang apa kalian 21 Mei 1998?" Pertanyaan itu belakangan ramai dicuit atau ditulis para aktivis di akun media sosial mereka. Seolah menunjukkan bahwa dulu mereka bergerak, turun ke jalanan, turut menggulingkan rezim Orde Baru. Pada saat bersamaan, pertanyaan itu juga bernada sinis, semacam menuding hidung sebagian pejabat atau figur publik tertentu yang terindikasi tak punya rekam jejak perjuangan di era Reformasi 1998.
Namun, pertanyaan itu mengusik saya: Sedang apa saya 21 Mei 1998?
Waktu itu saya masih SD kelas 5. Reformasi buat saya hanya kata yang sering saya dengar di berita TV dan radio, atau obrolan ayah di ruang tamu bersama teman-temannya dari kampus. Selain itu, buat saya reformasi hanya judul album yang tertulis di boks kaset bajakan Iwan Fals yang dibeli paman saya, Reformasi I dan Reformasi II.
Saya tak paham betul apa yang sedang terjadi. Tapi, saya ingat ada kerusuhan. Ibu melarang kami keluar rumah. Paman saya belum pulang dua minggu karena ikut rombongan kampusnya ke Jakarta. Ayah menyetel kaset pidato Amien Rais secara berulang-ulang dan akhirnya memutuskan merobek kartu anggota Golkar di dompetnya.
Menanggapi pertanyaan tadi, harus diakui barangkali saya memang termasuk generasi yang awam reformasi. Saya tak ingin sok gagah dengan merasa bisa bernostalgia pada gegap gempita momen tumbangnya Soeharto 20 tahun lalu. Saya tak banyak ingat momen itu, kecuali keesokan harinya Guru Bahasa Indonesia di sekolah menurunkan foto Presiden Soeharto dari atas papan tulis. "Kita sudah memasuki era reformasi," katanya.
Baru ketika SMA, spirit Reformasi 1998 perlahan merasuk ke dalam dada remaja saya. Saya berpikir betapa hebat gerakan mahasiswa bisa menyelamatkan bangsa dari cengkeraman diktator yang mengambil uang rakyat secara membabi buta, menyingkirkan bahkan membunuh para pengkritiknya tanpa ampun, secara curang menjalankan tatak kelola negara dengan banyak memberi keuntungan kepada teman, kerabat, dan keluarga. Di sanalah saya mulai banyak membaca tentang apa itu reformasi, bagaimana mahasiswa berperan, dan bagaimana gelombang massa bisa mengalahkan kediktatoran penguasa.
Di masa kuliah, karena mengambil jurusan politik, diskusi tentang reformasi dan berbagai hal di sekitarnya semakin intens saya lakukan. Impian saya untuk bergabung dengan salah satu gerakan mahasiswa juga segera saya wujudkan. Ketika kuliah, berkali-kali saya ikut demonstrasi, mulai dari mendemo kampus hingga mendemo kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM. Saya tumbuh menjadi generasi aktivis yang diinspirasi gerakan reformasi.
Tapi, lambat laun saya sadar bahwa gerakan mahasiswa harus berubah bentuk. Ia tak bisa hanya mengandalkan demonstrasi dan mimbar bebas jalanan. Saya dan beberapa orang teman memilih untuk menulis, menyampaikan gagasan, dan merawat idealisme melalui artikel-artikel koran, forum-forum diskusi, seminar, dan kegiatan berbasis kreativitas lainnya. Waktu itu saya berpikir, reformasi sebagai sebuah peristiwa, sebagai sebuah event, sudah selesai. Satu satunya yang layak dan wajib kita teruskan adalah semangatnya.
Kini, peristiwa reformasi sudah berlalu 20 tahun. Soeharto sudah tumbang dua dekade lalu, tapi rasanya gurita rezimnya belum tumpas. Gerakan mahasiswa dan kekuatan massa berhasil merebut tahta dari kekuasaan yang telah digenggam selama 32 tahun, namun sepertinya korupsi, kolusi, dan nepotisme belum benar-benar bisa diberantas dari negeri ini. Bahkan ia menggurita lebih besar lagi, dengan cara-cara yang lebih canggih dan ajaib.
Barangkali saya yang berasal dari generasi milenial memang awam tentang reformasi. Saya yakin kebanyakan dari teman-teman sebaya saya juga hanya mempu mengais-ngais spirit reformasi dari puing sejarah dan cerita nostalgia generasi di atas kami. Tapi, memang reformasi jangan dipahami semata sebagai sebuah peristiwa. Karena ia sudah selesai. Jika kita hanya memahami reformasi hanya sebagai sebuah peristiwa, kejadian, yang bisa kita lakukan hanya berefleksi dan bernostalgia. Padahal, kita tahu berbagai masalah yang kita hadapi saat ini tak akan selesai hanya dengan refleksi dan nostalgia belaka.
Saya kira inilah saatnya memahami reformasi sebagai sebuah spirit, gagasan, atau proyek yang selalu dan terus menerus belum selesai. Bahwa kita masih punya PR besar untuk menumpas para maling yang menjarah uang rakyat, penguasa culas yang menggunakan jabatan dan posisinya untuk kepentingan kelompoknya, kecenderungan untuk menindas dan meniadakan 'yang lain' yang berbeda dan tak sejalan dengan hal-hal yang membuatnya nyaman di zona kekuasaan.
Sekarang, saya kira anak-anak muda, mahasiswa, generasi milenial wajib meneruskan spirit perjuangan itu. Kita punya saham politik yang besar di negeri ini. Secara jumlah, kita hampir setengah populasi. Jika kita merasa segalanya baik-baik saja di negeri ini, jika kita tak punya impian untuk menggalang proyek bersama agar bangsa ini semakin hebat dan gemilang di masa depan, kita harus malu karena bukan hanya awam tentang reformasi, tapi kita telah mengkhianatinya secara biadab dan memalukan.
Fahd Pahdepie penulis, pembicara publik, pegiat kreativitas, dan konsultan
(mmu/mmu)