A.A Navis salah seorang sastrawan Indonesia menerbitkan kumpulan cerpen yang diberi judul Robohnya Surau Kami. Novel yang terbit pada 1956 ini sungguh fenomenal hingga kini, bahkan senantiasa menjadi rujukan bagi para pengkaji sastra. Menjadi fenomenal, karena cerita pendek yang tertuang di dalamnya memuat unsur sosio-religi yang dapat dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini.
Sederhananya, Robohnya Surau Kami bercerita seputar seorang kakek yang taat beribadah, namun pada penghujung hayatnya mati dengan bunuh diri. Sang kakek melakukan itu karena dia termasuk korban cuci otak, informasi ditelan mentah-mentah dengan tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada para ahlinya.
Cerita tersebut setidaknya memunculkan dua rekomendasi. Pertama, menjalankan ibadah mesti dilakukan dengan semangat keberlanjutan. Kedua, klarifikasikan informasi kepada para ahlinya manakala masih belum jelas sumber kebenarannya. Kedua poin ini menjadi penjelas atas judul tulisan ini, yang dalam konteks ini Surau saya maknainya dengan amal dan pengetahuan. Di samping sekaligus sebagai antitesis dengan karya A.A Navis Robohnya Surau Kami, yang menjelaskan seseorang yang rapuh amalnya pada pengujung hayatnya, serta tidak cerdas mengelola informasi sehingga mencelakakannya.
Amal ibadah memang mesti dijalankan dengan semangat keberlanjutan (istimrar). Amal ibadah yang dilakukan setengah-setengah mengindikasikan kadar keimanannya masih pada tingkatan fluktuatif. Amal semacam ini perlu diantisipasi atas ibadah puasa yang sedang kita jalankan saat ini. Boleh jadi juga sebagai refleksi atas Ramadan kita tahun lalu yang masih berpihak pada ibadah yang kadarnya fluktuatif. Dengan penjelasan lain, rangkaian ibadah Ramadan begitu semangat dijalankan pada awalnya saja, sementara memasuki hari ke-11 hingga akhir energi Ramadan seakan sudah terdegradasi dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Tentu sebagai seorang muslim sejati terpatri dalam dirinya amal ibadah progresif, yang kian hari kian meningkat.
Kurangnya menghayati nilai yang terdapat dalam suatu ibadah menjadi penyebab kadar ibadah seseorang mengalami fluktuatif. Sejatinya sejumlah ibadah yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam tidak sekadar memuat nilai religius, melainkan ada nilai sosiologis, bahkan juga psikologis. Contoh sederhananya, ibadah salat memiliki nilai sosiologis, yang menebarkan kedamaian serta keselamatan pada lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat pada saat seseorang mengakhiri salatnya dengan mengucapkan assalamu'alaikum warahmatullah ke kanan dan ke kiri.
Sosialisasi serta implementasi kerukunan, kedamaian, dan keselamatan sesama manusia menjadi falsafah sejati salam. Oleh karenanya, salat harus berimplikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini telah dijelaskan dalam Alquran Surat al-Ankabut ayat 45, sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Artinya, penebar rasa ketakutan di tengah-tengah masyarakat bukanlah cermin dari nilai-nilai salat. Perilaku demikian merupakan cerminan dari perbuatan keji dan mungkar. Oleh karenanya, ajaran Islam memerintahkan kita untuk menjauhi keduanya.
Demikian juga dengan ibadah puasa Ramadan yang di dalamnya sarat dengan nilai kedermawanan. Seseorang yang sedang menjalankan ibadah puasa pasti akan mengalami rasa lapar dan haus. Rasa lapar dan haus ini baik sekali dijadikan renungan atas perasaan tidak enak ini kepada kaum tidak berpunya yang setiap hari mengalaminya. Barangkali kalangan berpunya menahannya hingga azan Magrib, namun bagaimana dengan kalangan yang tidak berpunya, yang setiap hari belum jelas nasib kelaparan yang melilitnya hingga sampai kapan? Rasa inilah yang membuat kita menjadi peka dan peduli terhadap sesama, terutama kepada kalangan yang tidak berpunya. Oleh karenanya, melalui ibadah puasa akan terbentuk manusia-manusia yang gemar berdarma terhadap sesama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harus diakui bahwa sejatinya karya fenomenal A.A Navis ini menjadi refleksi atas fenomena yang ada pada masa kini. Hal itu dapat dibuktikan dengan tidak sedikitnya orang yang terjerat oleh Undang-undang ITE hanya karena menyebar informasi yang belum tentu jelas kebenarannya sehingga menjadi bumerang bagi penyebarnya.
Tulisan ini menawarkan suatu rekomendasi bahwa kokohnya amal ibadah seseorang mesti ditopang oleh ibadah yang progresif, di samping suatu sikap cerdas membaca informasi. Pasalnya, ketidakcerdasan membaca informasi mengundang kegaduhan di tengah masyarakat. Ramadan ini sebagai momentum tepat untuk mengokohkan sendi-sendi ibadah yang terindikasi masih rapuh. Semoga. Wallahu a'lam bishshawab.
Dr. Muhammad Wildan, M.A dosen Universitas Pamulang