Kesalehan Personal Berdimensi Sosial
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kesalehan Personal Berdimensi Sosial

Jumat, 25 Mei 2018 11:30 WIB
Candra Malik
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kesalehan Personal Berdimensi Sosial
Candra Malik (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Sungguh Maha Baik Allah yang telah memanggil orang-orang beriman pada Bulan Ramadan untuk berpuasa. Selain bermakna seruan, panggilan dari Allah ini juga berlapis arti lain. Dan, arti yang paling mengena di hati ialah ungkapan Kasih Sayang-Nya pada hamba-hamba yang menjaga karunia iman. Dia tidak membeda-bedakan umat sebelumnya dan sesudahnya. Seluruhnya dihadiahi kewajiban berpuasa. Namun, ini bukan kewajiban yang memberatkan.

Justru, puasa meringankan siapa pun. Dengan berpuasa, kita tidak diwajibkan mengeluarkan harta benda apa pun. Ini beda dengan kewajiban zakat dan haji yang perlu disertai ketersediaan materi. Kita "hanya" diwajibkan menahan diri dari makan minum pada pagi sampai sore. Ibadah puasa juga meneguhkan kesetaraan antarmanusia. Si kaya dan si miskin sama-sama diwajibkan puasa. Yang sehari-hari lapar atau yang sebaliknya, benar-benar sama belaka bagi Allah.

Dalam urusan puasa, Allah sungguh-sungguh hanya melihat isi hati manusia. Jika di dalamnya terdapat iman, meski hanya satu cercah cahaya, maka Allah menghadiahinya kewajiban berpuasa di Bulan Ramadan. Berbekal iman itulah, sekecil apa pun iman tersebut, siapa yang memenuhi seruan Kasih Sayang Allah untuk berpuasa niscaya ia akan mendapatkan hadiah berikutnya, yaitu ketakwaan. Dengan ketakwaan itulah, ia diberi kedudukan mulia di sisi-Nya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa," Q.S. Al Baqarah (2): 183

Melalui ibadah puasa, kita merefleksi kehadiran manusia di dunia yang dalam keadaan tidak memiliki apa-apa dan tak mampu apa-apa. Mengandalkan Welas Asih Allah dengan perantaraan lingkungan hidup yang menyayangi dan mengasihi kita. Seperti janin dalam kandungan, yang bahkan meski tidak dapat memenuhi sendiri kebutuhan gizi, ia tetap mendapat asupan dari ibunya. Saat ini, kita pun sesungguhnya hidup dalam kandungan rahim semesta.

Puasa tidak menyebabkan kekurangan asupan daya hidup dari semesta meski kita tergolek lapar dan dahaga. Sebab, intisari angin pada alam semesta menyatu dengan anasirnya pada manusia menjadi napas. Demikian pula intisari air pada alam semesta menyatu dengan anasirnya pada manusia, dan jadilah tulang dan sumsum. Intisari api pada alam semesta menyatu dengan anasirnya pada manusia menjadi darah. Lalu, intisari tanah pada alam semesta menyatu dengan anasirnya pada manusia, jadi kulit dan daging.

Artinya, proses konsumsi oleh manusia tidak melulu dari mulut hingga usus besar untuk kemudian saripatinya diserap ke seluruh tubuh. Manusia bisa tetap menyerap energi alam semesta melalui pori-pori di sekujur tubuhnya dengan lebih dulu menghentikan aktivitas kunyah. Yang dikonsumsi oleh organ non-mulut bukan lagi materi kasar makanan, tapi sudah halusnya. Sudah esensinya. Energi rohaniah ini bisa didapat dengan jalan puasa.

Sesungguhnya tubuh dan ruh manusia bergumul dalam dialektika tanpa akhir dengan alam semesta. Dengan puasa, kita sejenak berhenti dari keserakahan mengambil sendiri apa-apa dari alam semesta, tetapi bukan berarti berhenti menerima dari alam semesta. Menahan diri dari memasukkan apa pun ke mulut, sekaligus menahan diri mengeluarkan apa pun dari mulut. Mengelola pintu keluar-masuk ucapan dan santapan agar selamat kita dari virus-virus nafsu.

Serba Menahan Diri

Firman Allah dalam Q.S. Al Hujurat (49): 13 memiliki korelasi dengan puasa. Ayat itu menyatakan," Wahai manusia, Kami sesungguhnya menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antaramu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal."

Sebagaimana terhadap alam semesta, manusia juga memiliki hubungan yang terjalin sejak dilahirkan dengan sesama manusia. Menahan diri dari diri sendiri, menahan diri dari liyan, dan menahan diri dari lingkungan, menjadi relevan. Menahan diri termasuk tahap penting dalam ta'aruf, ikhtiar saling mengenal dan pergaulan luas di jagat perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku. Dalam hadis, selama Ramadan, setan bahkan dikondisikan untuk menahan diri dari manusia meski dengan dibelenggu.

Bahkan, bisa disinyalir, malaikat juga menahan diri untuk mencatat pahala puasa orang-orang beriman. Sebab, puasa itu langsung dipersembahkan untuk Allah, dan dalam sebuah Hadis Qudsi ditegaskan, Allah sendiri yang memberi imbalan. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, Allah berfirman, "Setiap amalan manusia adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sebab, puasa itu hanya untuk-Ku dan Akulah yang akan memberinya ganjaran secara langsung."

Dan, ternyata dengan menahan diri itulah manusia dalam pergaulannya dapat mengambil batas sehingga tidak melampaui batas itu sendiri. Dengan demikian, ia makin dekat pada kedudukan mulia: takwa. Bayangkan saja apa jadinya jika kita hanya tahu kapan berlari tapi tidak tahun kapan harus berhenti. Tentu, banyak hal yang tertabrak dan terdobrak. Banyak hal yang rusak dan keluar dari tatanan. Puasa menjelma rem dalam pergaulan.

Menahan diri dari makan dan minum di pagi hingga sore tidaklah sesederhana menahan diri dari dorongan mengatasi lapar dan dahaga. Lebih dari itu, puasa adalah rem pakem untuk menahan laju birahi kesenangan dan kekuasaan kita terhadap dunia. Dalam perkembangan peradaban, bukankah manusia terus-menerus terbukti tega dan berani saling serang demi sesuap nasi dan setetes air? Demi makanan pokok, bahkan demi makanan selingan, bangsa-bangsa saling jajah.

Demi sumber air, segolongan manusia tega terhadap segolongan yang lain. Demi sumber daya alam, perang terus dikecamukkan bahkan meski sumber daya manusia harus dikorbankan. Ini krusial, dan oleh karena itu kewajiban puasa jadi penting dan kontekstual. Tak hanya diminta berempati pada lapar dan haus orang lain, kita diperintahkan mengalami dan merasakan sendiri lapar dan haus itu dengan berhenti makan dan minum sepanjang hari.

Multidimensi Ramadan

Meski dipersembahkan hanya pada Allah, puasa tidak hanya berdimensi personal-transendental. Tapi, juga berdimensi sosial-material. Pada saat bersamaan dengan puasa Ramadan, kita tetap disunahkan melanjutkan kegiatan lainnya seperti hari-hari biasa, tidak justru mengasingkan diri dari denyut kehidupan dan bersikap anti-sosial. Tidak mengurung diri di kamar agar tidak tergoda apa pun, bahkan agar tak terkena pancaran matahari.

Yang berpuasa tetap boleh bergaul dengan yang tidak berpuasa, tetap boleh memilih dan menyiapkan menu sahur dan buka yang baik baginya, ditawari ganjaran jika memberi buka pada yang berpuasa, bahkan niscaya dilipatgandakan imbalannya dalam beribadah dan beramal saleh selama Bulan Ramadan. Puasa sebagai jalan utama menuju ketakwaan seiring dan selaras dengan jalan pendamping di sisinya dan menjadikannya dinamis.

Inilah kesalehan personal yang juga berdimensi sosial. Dengan menahan diri dari makan dan minum, manusia sesungguhnya sedang menata dan mengelola kesadarannya. Mencapai adi-inderawi yang luhung, yang dengan demikian manusia dapat mengontrol akal dan pikirannya, hati dan perasaannya, serta birahi dan pelampiasannya. Dengan berpuasa itu pula, manusia selayaknya bisa belajar untuk berhenti berebut; dari berebut makanan dan minuman hingga berebut kesenangan dan kekuasaan.

Puasa Ramadan adalah jalan yang dipilihkan Allah bagi manusia untuk kembali menjadi manusia. Lebih dari itu, puasa adalah jalan bagi manusia untuk menjadi manusia yang paripurna. Yaitu, manusia yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan mulai memikirkan kepentingan orang-orang di sekitarnya. Berhenti dari kenyang sendiri dan mulai mengurus lapar orang lain. Di rumah kaum miskin dan papa, Allah menjelma sebagai amal para penderma.

Candra Malik budayawan sufi

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads