Pernikahan anak kedua Putra Mahkota Pangeran Charles dan mendiang Putri Diana ini dengan seorang janda cerai yang usianya lebih tua tiga tahun dan beribu kandung warga kulit hitam ini menarik perhatian publik bukan sekadar karena sosok pasangan yang agak di luar kelaziman tradisi Kerajaan Inggris. Tapi, juga karena kemeriahan dan kehadiran para selebriti dunia dalam pernikahan yang eksklusif itu. Sejumlah selebriti dilaporkan turut menghadiri pesta pernikahan keluarga Kerajaan Inggris itu, di antaranya Oprah Winfrey, George Clooney, dan David Beckham bersama istrinya, Victoria Beckham.
Layaknya pernikahan keluarga kerajaan, upacara dan pesta pernikahan yang berlangsung terkesan eksklusif, glamor, dan sensasional. Mulai dari gaun pengantin yang khusus dirancang Clare Waight Keller, yang merupakan direktur artistik rumah mode Givenchy, mobil yang dipakai, aksesori yang digunakan para tamu yang hadir, semua niscaya dibeli dengan bandrol harga yang tak pernah terbayangkan orang kebanyakan. Bukan tidak mungkin, hanya untuk membayar harga sebuah gaun pengantin atau baju yang dikenakan para undangan, uangnya sesungguhnya bisa dipakai untuk membeli satu rumah bagi keluarga di Indonesia kelas menengah sekali pun.
Pernikahan bergaya aristokrat seperti dilakukan Pangeran Harry dan Meghan Markle, bagi sebagian besar perempuan yang menyaksikan langsung maupun menyaksikan lewat siaran langsung sejumlah stasiun televisi, mungkin itulah impian mereka. Menikah meriah bak putri raja yang disunting pangeran yang tampan tentu wajar menjadi impian sebagian besar perempuan di dunia.
Royal Wedding antara Pangeran Harry dan Meghan Markle disebut-sebut sebagai contoh nyata bahwa kisah dongeng bisa terjadi di kehidupan sebenarnya. Meghan Markle yang seorang janda dan datang dari keluarga broken home yang katanya memiliki orangtua dengan garis kehidupan yang tidak menyenangkan, ternyata bisa diterima dengan baik oleh keluarga Kerajaan Inggris, dan kini telah resmi menjadi bagian dari puteri kerajaan. Gelar Meghan setelah menikah adalah Duchess of Sussex. Pemberian gelar ini menjadi simbol bahwa Meghan telah mengalami metamorfosis, berubah menjadi kupu-kupu yang mempesona dan dihormati masyarakat Inggris.
Pangeran Harry dan Meghan Markle yang resmi menikah di hadapan lebih dari 600 tamu undangan di St. George's Chapel, Windsor Castle bukan hanya menawarkan drama kehidupan yang biasa dibaca di novel atau komik tentang kehidupan keluarga kerajaan, tapi bagi sebagian orang juga menawarkan mimpi.
Meminjam konsep Jean Baudrillard, apa yang ditampilkan dalam seluruh rangkaian acara pernikahan Pangeran Harry and Meghan Markle ibaratnya adalah dunia mimpi, sebuah dunia simulakra yang tidak nyata. Dalam pandangan Baudrillard, realitas di era masyarakat postmodern sebetulnya tidak memiliki referensi, karena di sana yang hadir adalah dunia simulakra --sebuah simulasi kehidupan yang sulit dibedakan mana yang asli dan mana yang palsu, yang melahirkan masyarakat hiperrealitas.
Bagi Baudrillard, pergeseran dari modernitas ke postmodernitas terletak pada apa yang disebutnya sebagai perekonomian tanda (sign economy) di mana yang penting adalah simbol dan duplikasi atas duplikasi: sebuah ruang realitas yang disarati oleh duplikasi dan daur-ulang berbagai fragmen kehidupan yang berbeda --sebuah realitas yang hiper-riil. Era modern ditandai oleh produksi material, sedangkan era postmodern ditandai oleh simulasi.
Ketidakacuhan, sikap apatis, dan inersia adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan keadaan masyarakat di era postmodern yang senantiasa dikelilingi oleh media, simulakra, dan hiperrealitas. Lebih dari sekadar pertukaran simbolis, dalam masyarakat postmodern, menurut Baudrillard yang mempengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat adalah godaan. Godaan melibatkan daya tarik berbagai hal yang tidak lebih dari permainan dan bermacam ritual yang superfisial: tidak bermakna, remeh dan tanpa kedalaman, namun justru itulah yang membelenggu konstruksi cara berpikir masyarakat di era postmodern.
Pernikahan Pangeran Harry dan Meghan Markle yang mampu membetot minat jutaan orang untuk menyaksikan melalui layar kaca sesungguhnya adalah sebuah godaan. Ketika upacara pernikahan yang sebenarnya biasa-biasa saja karena semua orang akan mengalaminya, ternyata ketika dikemas dan dijadikan tontonan oleh kekuatan industri budaya global, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya dunia mimpi --sebuah godaan yang melahirkan histeria dan cita-cita.
Semoga para perempuan di Indonesia tidak terjebak dalam dunia mimpi, dan lupa bahwa di balik pernikahan masih menunggu sejumlah tanggung jawab, komitmen, dan kerja keras demi mas depan anak-anak mereka.
Bagong Suyanto Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
(mmu/mmu)