Teror ini direspons beragam. Sebagian merasa bahwa teror ini adalah upaya (baik sistematis maupun tidak) pengalihan isu. Ada dua isu yang diasumsikan sedang dialihkan oleh rentetan peristiwa berdarah ini; pertama, anjloknya nilai tukar rupiah, dan kedua, rilisnya film 212. Bagi isu yang pertama, pemerintah dianggap sedang 'cuci tangan' biar tidak dicecar soal nilai tukar rupiah yang memburuk. Bagi isu yang kedua, orang yang anti-212 dianggap sedang berupaya menggagalkan film tersebut. Tapi, sebagaimana dapat Anda cek dalam argumen-argumen Prof. Mahfud MD, agak picik untuk menganggap aksi teror ini sebagai sebagai (semata) pengalihan isu.
Sebagian lagi mengaitkannya dengan kegagalan banding HTI terkait 'statusnya' sebagai ormas terlarang. Sehingga ketika Felix Siauw mengutarakan opininya yang mengutuk aksi teror bom tersebut, sebagian dari kita mengernyitkan dahi: really? Tapi, penelusuran dari polisi tidak menempatkan HTI atau eks-HTI sebagai dalang. Tersangka teroris terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dengan Aman Abdurrahman (salah seorang napiter di Mako Brimob) menjadi salah satu tokohnya. Dari sana, aksi terorisme ini diyakini sebagai betulan 'asli', dan bukan pengalihan isu, dikompori 'keberhasilan' para napiter 'melakukan jihad' di markasnya 'musuh'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terorisme, sebagaimana bencana, sekali lagi menjadi impuls yang menunjukkan 'watak dasar' bangsa Indonesia: empatif dan guyub. Berduyun-duyun ucapan bela sungkawa, ekspresi dukungan moril dan materil, diekspresikan di mana-mana, dengan media apapun: bunga, 'viralisasi' counter narrative terhadap terorisme, dan lain-lain. Walau kemudian, kita mengerti bahwa penguatan arus ultra-konservativisme Islam telah membuat sebagian dari kita lebih memilih Palestina First. Ini juga jadi masalah: katanya, di mana solidaritas kita terhadap saudara setanah-air?
Sebagian lagi kehilangan kemampuan berempati dan balik mencibir. Mulai dari cibiran bahwa korban adalah layak dikorbankan karena, misalnya, kafir, sampai cibiran bahwa kita terlampau 'lebay' merespons padahal di Suriah dan Palestina, misalnya, korbannya jauh lebih banyak. Cibiran juga muncul sebagai ekspresi kekesalan karena 'Islam' (selalu) disalahkan, walaupun fakta lapangan yang ditemukan, pelaku memang kebetulan secara administratif beragama Islam. Dan, sebagian yang melandasi tindakannya adalah pemahamannya yang keliru atas jihad dalam Islam. Bagi oposan, tragedi terorisme ini adalah juga impuls untuk balik mengkritisi pemerintah sebagai lemah dan tidak bisa menjamin keamanan.
Namun begitu, sebagaimana setiap kali aksi teror berusaha merusak kedamaian dan menyebarkan paranoia di sekitar kita, kita balik berikrar: #kamitidaktakut. Dalam konteks ini, aksi teror memperkuat genggaman tangan kita untuk sama-sama pasang badan saling dukung melawan terorisme. Kita membuktikan sekali lagi keguyuban kita dalam menjaga kodrat keberagaman yang dibingkai toleransi, sikap saling hormat-menghormati. Dari sana, orang kemudian mempertanyakan: apa yang masih bisa dibenahi, diperbaiki, dalam upaya pemutusan virus radikalisme?
Selain penguatan institusi kepolisian dan pendidikan Islam moderat berkemajuan, orang kemudian 'diingatkan' pada RUU Antiterorisme yang mandek di parlemen. RUU ini mestinya dapat menjadi payung hukum dalam optimalisasi tindakan pencegahan, penindakan, dan penanganan korban terorisme. Tapi, RUU ini mandek oleh sebab belum tercapainya kesepakatan tentang hal-hal berikut: definisi terorisme, pelibatan TNI, penyadapan, penebaran kebencian yang dikhawatirkan akan mencederai kebebasan berekspresi, menyoal kewenangan penyidik maupun penuntut untuk menahan terduga teroris, pencabutan kewarganegaraan, serta perpanjangan masa penahanan.
DPR mengklaim RUU ini sudah 99 persen selesai, Asrul Sani mengharap RUU ini selesai sebelum Lebaran. Tapi fakta bahwa RUU ini masih mandek, atau kalau kata Menhan, masih dimandek-mandekan, Presiden Jokowi akhirnya mengeluarkan ultimatum: jika Juni belum selesai, maka Presiden akan mengeluarkan Perppu. Sebanyak 14 ormas Islam mendukung ide penerbitan Perppu ini. Tapi ultimatum ini, bagi ketua Pansus RUU Muhammad Syafi'i dianggap salah alamat. Pasalnya, bagi dia, pemerintahlah yang tidak kooperatif dalam proses penyelesaian dan penerbitan RUU tersebut.
Ini bukan bola salju satu-satunya. Syafi'i dituding sebagai pro-Islam radikal sehingga secara sengaja memperlambat pengesahan RUU. Yang dijadikan rujukan, salah satunya, adalah bukti digital atas responsnya terhadap konflik di Poso. Asumsi ini kemudian digunakan untuk menyerang partai Syafi'i, Gerindra. Di saat orang saling berebut panggung dan saling tuding saling menyalahkan, seorang santri harus kena bentak oleh polisi yang atas dasar kesiagaan sedikit parno takut kardus yang dibawa berisi bom. Kemudian kita memperdebatkan, dan kemudian menuduh teroris, kepada orang-orang yang secara penampilan dan pakaian, kita stigmatisasi sebagai teroris. Apakah penguatan stigma dan phobia ini, ditambah segelintir orang yang lebih memilih saling tuding saling menyalahkan, menunjukkan tercapainya salah satu tujuan teror?
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London, associate researcher Akar Rumput Strategic Consulting
(mmu/mmu)