Selain bom di tiga gereja, bom bunuh diri juga meledak di Pos Jaga Markas Polrestabes Surabaya. Tragisnya, bom bunuh diri ini melibatkan anak-anak sebagai aktornya, Ais dan MDS, putra dari Tri Murtiono dan Tri Ernawati. Aksi itu menewaskan ayah, ibu, dan seorang putranya. Sementara, Ais selamat dan sedang menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit.
Bom bunuh diri di Surabaya disusul dengan bom yang meledak di Sidoarjo. Rangkaian kejadian ini menjadikan Jawa Timur menjadi titik panas dalam aksi kekerasan. Beberapa hari sebelumnya, publik seakan terkaget dengan kejadian miris di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Kerusuhan ini menimbulkan gejolak, yang tersulut karena rangkaian peristiwa rumit di internal narapidana terorisme, hingga dinamika internasional. Sebanyak 5 perwira polisi meninggal, dan 3 polisi terluka parah. Indonesia berduka, awan gelap teror dan rangkaian kekerasan menjadi bagian dari peristiwa mutakhir di negeri ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari rangkaian kekerasan yang terjadi, bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak dan remaja sangat memprihatinkan kita. Dari alur ini terlihat bagaimana ideologi kekerasan mendorong aksi bom, hingga mensugesti keluarga dan anak-anaknya. Bahkan, jika dilihat dari akar keluarganya, pelaku aksi bom bunuh diri di Surabaya berasal dari keluarga kelas menengah, terdidik, dan memiliki akses ekonomi memadai.
Radikalisme telah merasuk di kalangan kelas menengah yang memiliki akses sumber daya, dan dari kelompok terdidik. Survei Alvara Research Center dan Mata Air Foundation pada 2017 lalu membuktikan pendapat ini. Survei dilakukan terhadap 1.200 responden di 6 kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Responden dari survei berasal dari kelompok PNS, profesional, dan kalangan BUMN. Survei diselenggarakan pada 10 September hingga Oktober 2017 melalui wawancara tatap muka.
Dari survei itu terlihat bahwa hubungan antara agama dan negara, terutama dalam konteks kepemimpinan. Sejumlah 29,7% responden tidak setuju pemimpin non-muslim: golongan PNS (31,3%), profesional swasta (25,9%), dan karyawan BUMN (25,9%). Isu pemimpin non-muslim masih sangat sensitif di kalangan profesional dan kelas menengah, yang menunjukkan bagaimana persepsi sekaligus pola interaksi antaragama di kalangan mereka.
Menariknya, isu khilafah dan negara Islam menjadi konsentrasi penting dari kelompok profesional. Sebanyak 29,6% profesional menyatakan setuju dengan model ini. Namun, ketika dikerucutkan menjadi khilafah sebagai bentuk negara, hanya 16% kelompok profesional yang setuju. Di sisi lain, kelompok PNS yang setuju dengan ideologi Islam sebagai bentuk negara termasuk tinggi, yakni 19,4%. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan data profesional swasta (9,1%), dan kalangan pekerja BUMN (18,1%).
Dari laporan survei itu terlihat jelas bagaimana kelas menengah telah terinfeksi dengan ideologi-ideologi yang mendorong kekerasan. Isu khilafah dan negara Islam menjadi konsentrasi dari kelas menengah tersebut, meski kelompok yang setuju sekaligus membela Pancasila tetap besar. Tapi, tumbuhnya kelompok-kelompok profesional, baik dari mereka yang menjadi PNS dan profesional BUMN, yang setuju dengan khilafah namun tetap mengakses fasilitas dari negara, menjadi fenomena ambigu yang layak direnungkan sekaligus diantisipasi. Kelompok ini tidak setuju dengan kepemimpinan pemerintah dan sistem negara, namun tetap menikmati gaji dan fasilitas dari negara.
Menunggangi Kekerasan
Di tengah rangkaian peristiwa kekerasan dan bom bunuh di Tanah Air, saya merenungkan sekaligus mengamati orang-orang yang menunggangi aksi-aksi ini. Mereka membelah pendapat publik seraya menunggangi aksi-aksi kekerasan dengan niatan untuk meningkatkan popularitas. Beberapa politikus parpol dan tokoh publik bahkan tegas menyerang pemerintah dengan menganggap ini sebagai pengalihan wacana.
Menganggap bom bunuh diri sebagai aksi untuk menutup berita-berita lain, atau sebagai amunisi mengutuk pemerintah, merupakan ironi. Kelompok ini menunggangi aksi-aksi kekerasan dan peristiwa bom untuk mengambil untung popularitas, menciptakan dan menjaga polarisasi di ruang publik, dan sekaligus menebar bibit kebencian baru.
Pemerintah beserta institusi yang selama ini bertugas mengurus antisipasi teror harus bergerak cepat, bekerja efektif, dan komprehensif. Jangan sampai, kekerasan yang lebih tragis meluas dan bom-bom lain meledak. Ini menjadi pekerjaan berat, yang seringkali mendapat kritikan tajam, apalagi di tahun politik saat ini.
Kita mengutuk pelaku kekerasan dan bom yang merenggut korban, mereka yang mengorbankan nyawa anak-anaknya sebagai martir. Namun, kita juga perlu mengutuk orang-orang yang selama ini menunggangi kekerasan, sekaligus mengambil untung dari aksi-aksi yang menghancurkan kemanusiaan kita.
Munawir Aziz peneliti, sedang riset di University of Southampton, UK
(mmu/mmu)











































