Setidaknya hal tersebut disampaikan langsung oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dalam konferensi pers di RS Bhayangkara, Surabaya, 13 Mei 2018 lalu, Kapolri meminta agar dilakukan segera revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No 15 Tahun 2003), bahkan memberi saran ke Presiden untuk menerbitkan Perppu.
Sepantasnya masyarakat mendukung Kepolisian untuk memberantas terorisme. Aksi teror ini bukan saja menjadi keprihatinan bangsa ini, melainkan juga bangsa-bangsa di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk Pusat Pemberantasan Terorisme - United Nations Counter-Terrorism Centre (UNCCT) yang didirikan menyusul diadopsinya Resolusi Majelis Umum 71/291 pada 15 Juni 2017.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia sendiri tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat UN Counter-Terrorism Center periode 2015-2018, dan co-sponsor dari Resolusi Dewan Keamanan PBB 2178 (2014) yang meminta negara-negara untuk melakukan berbagai upaya yang diperlukan dalam pemberantasan terorisme internasional.
Artikel ini akan memberikan catatan terkait dua isu: (1) korban tindak pidana terorisme, dan (2) pengaturan rehabilitasi --yang agaknya terbelakang dibanding isu kewenangan kepolisian dan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dalam wacana pengesahan revisi undang-undang atau penerbitan Perppu pemberantasan terorisme.
Perlindungan dan Hak Korban
Masalah perlindungan dan hak korban aksi terorisme sebaiknya juga menjadi prioritas bagi DPR dan Presiden. Dalam UU No 15 Tahun 2003 dimuat secara tegas ketentuan bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
Namun, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bergantung pada amar putusan pengadilan (vide Pasal 36 ayat (4)). Selanjutnya dalam Pasal 38 diatur: (1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri; (2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
Dalam UU No 15 Tahun 2003 juga tidak ditemukan definisi mengenai korban tindak pidana terorisme. Semestinya undang-undang memuat juga pengertian korban, sehingga tidak ditafsirkan sebatas hanya korban yang meninggal dunia melainkan juga kelompok orang yang terkena dampak langsung dari tindak pidana terorisme. Selain itu, UU juga tidak memuat secara khusus perlindungan negara untuk memberikan fasilitas medis bagi korban tindak pidana terorisme.
Isu perlindungan terhadap korban tindak pidana terorisme sebaiknya lebih diperkuat dalam revisi UU atau Perppu Antiterorisme.
Rehabilitasi
UU No. 15 Tahun 2003 telah mengatur hak setiap orang untuk memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut (vide Pasal 37)
UU Pemberantasan Tindak Pidana Teroris tidak mengatur hak seseorang jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan/atau kelalaian aparat penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam praktik, tidak menutup kemungkinan terjadi salah tangkap atau praktik kekerasan dalam proses penyelidikan atau penyidikan terhadap orang yang diduga teroris. Dalam konteks ini masyarakat tentu berharap aparat penegak hukum benar-benar profesional menjalankan tugasnya.
Memastikan aparat penegak hukum tetap berpegang pada nilai-nilai hak asasi pada saat bertugas akan mencegah bangsa ini masuk ke dalam lingkaran kekerasan. Pernyataan Sekretaris Jenderal PBB AntΓ³nio Guterres amat relevan, "Terrorism thrives wherever there is resentment, humiliation, lack of education". Menurutnya, penghormatan terhadap hak asasi dapat mencegah 'vicious cycle' of terrorism (lihat The Guardian, 16 November 2017).
Selamat bertugas Kepolisian.#KamibersamaPOLRI.
Patra M Zen Ketua LBH Partai HANURA
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini