Jawa Barat kini menjadi target pembangunan megaproyek infrastruktur transportasi seperti pembangunan Bandara International Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, dan pembangunan Jalan TOL Cisumdawu. Sebuah langkah yang diambil untuk memperluas dampak geliat kegiatan Metropolitan Jabodetabek di tanah Parahyangan dengan menghubungkan Tol Padaleunyi dengan Tol Palimanan-Kanci.
Dikatakan bahwa dengan dengan adanya BIJB di Kertajati masyarakat Bandung dapat menghemat waktu hingga 50% untuk melakukan penerbangan ke luar daerah. Dan, dengan adanya Tol Cisumdawu perjalanan dari pelosok Jabar ke ibukota menjadi lebih ringkas. Pergerakan menjadi serba cepat, dan perekonomian diharapkan dapat terdorong untuk meningkat pesat.
Namun, sebenarnya bagaimanakah pembangunan infrastruktur tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat desa di Jawa Barat? Dan, mengapa masyarakat desa menjadi penting untuk dipertimbangkan sebagai penerima manfaat?
Dikatakan bahwa dengan dengan adanya BIJB di Kertajati masyarakat Bandung dapat menghemat waktu hingga 50% untuk melakukan penerbangan ke luar daerah. Dan, dengan adanya Tol Cisumdawu perjalanan dari pelosok Jabar ke ibukota menjadi lebih ringkas. Pergerakan menjadi serba cepat, dan perekonomian diharapkan dapat terdorong untuk meningkat pesat.
Namun, sebenarnya bagaimanakah pembangunan infrastruktur tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat desa di Jawa Barat? Dan, mengapa masyarakat desa menjadi penting untuk dipertimbangkan sebagai penerima manfaat?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data Badan Pusat Statistika (BPS) menunjukkan Gini Index (GI) atau nilai ketimpangan perekonomian Jabar pada 2017 menduduki angka 0,403, dan memiliki tren yang naik sejak 2005. Secara khusus nilai GI kawasan perkotaan adalah 0,412, dan GI di kawasan perdesaan adalah 0,324.
GI menunjukkan bahwa ketimpangan di desa maupun di kota telah mengalami peningkatan. Jenjang pendapatan masyarakat menghadapi jurang perbedaan yang semakin tinggi. Secara umum dapat didefinisikan terdapat 1 (satu) persen dari jumlah penduduk Jawa Barat yang menguasai 40,3% pendapatan daerah, dan 99% dari penduduk Jabar harus berbagi untuk menikmati 49,7% sisanya.
Artinya, meskipun nilai pendapatan daerah terus mengalami peningkatan, namun belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah perlu dikaji relevansinya secara lebih adil.
Masyarakat desa, terutama pada area terdampak langsung pembangunan secara umum memiliki kerentanan ekonomi untuk melangsungkan penghidupan. Hal ini pula yang menimbulkan banyak pertentangan di masyarakat sejak proses pembebasan lahan hingga proses pembangunan. Permasalahan tidak bisa dianggap selesai dengan memberikan ganti rugi lahan yang pantas. Namun, bagaimanakah sistem penghidupan masyarakat desa di wilayah terdampak pada masa selanjutnya?
Beda halnya dengan pergerakan komuter metropolitan dan kawasan perkotaan lainya yang bisa ditempuh makin cepat, pergerakan di internal kawasan pembangunan justru bisa terpecah. Selain rumah dan lahan pertanian yang tergusur, akses masyarakat untuk bermobilisasi juga memiliki potensi terpotong.
Jika sistem penghidupan masyarakat tidak direncanakan dengan cermat, maka pembangunan infrastruktur justru akan memicu pertumbuhan ekonomi yang stagnan di wilayah desa. Pembangunan infrastruktur yang seharusnya menciptakan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial justru berpotensi meningkatkan jurang ketimpangan ekonomi.
GI menunjukkan bahwa ketimpangan di desa maupun di kota telah mengalami peningkatan. Jenjang pendapatan masyarakat menghadapi jurang perbedaan yang semakin tinggi. Secara umum dapat didefinisikan terdapat 1 (satu) persen dari jumlah penduduk Jawa Barat yang menguasai 40,3% pendapatan daerah, dan 99% dari penduduk Jabar harus berbagi untuk menikmati 49,7% sisanya.
Artinya, meskipun nilai pendapatan daerah terus mengalami peningkatan, namun belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah perlu dikaji relevansinya secara lebih adil.
Masyarakat desa, terutama pada area terdampak langsung pembangunan secara umum memiliki kerentanan ekonomi untuk melangsungkan penghidupan. Hal ini pula yang menimbulkan banyak pertentangan di masyarakat sejak proses pembebasan lahan hingga proses pembangunan. Permasalahan tidak bisa dianggap selesai dengan memberikan ganti rugi lahan yang pantas. Namun, bagaimanakah sistem penghidupan masyarakat desa di wilayah terdampak pada masa selanjutnya?
Beda halnya dengan pergerakan komuter metropolitan dan kawasan perkotaan lainya yang bisa ditempuh makin cepat, pergerakan di internal kawasan pembangunan justru bisa terpecah. Selain rumah dan lahan pertanian yang tergusur, akses masyarakat untuk bermobilisasi juga memiliki potensi terpotong.
Jika sistem penghidupan masyarakat tidak direncanakan dengan cermat, maka pembangunan infrastruktur justru akan memicu pertumbuhan ekonomi yang stagnan di wilayah desa. Pembangunan infrastruktur yang seharusnya menciptakan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial justru berpotensi meningkatkan jurang ketimpangan ekonomi.
Mengambil Peluang
Dalam waktu dekat diperkirakan pembangunan infrastruktur tersebut akan rampung dan mulai beroperasi. Sebelum eksternalitas negatif dari pembangunan tersebut terjadi, pemerintah daerah di wilayah terdampak harus berinisiatif untuk menumbuhkan perekonomian secara internal. Ruang-ruang penghidupan yang baru harus diciptakan untuk mengambil peluang dari keberadaan infrastruktur tersebut.
Misalnya saja jika Kabupaten Sumedang mengambil potensi keberadaan pintu Tol Cisumdawu untuk menarik wisatawan dari arah Jakarta. Jika kegiatan pariwisata tersebut mampu menyaingi atraksi wisata alam di Lembang dan Kota Bandung, maka bukan hal yang tidak mungkin akan lebih banyak wisatawan yang memilih melakukan destinasi ke Kabupaten Sumedang selepas keluar dari pintu tol Cileunyi. Akses yang lebih cepat dan tidak macet akan menjadi nilai tambah bagi wisatawan.
Namun, kegiatan wisata sebagai strategi ekonomi daerah harus dilakukan berbasis masyarakat. Pengelolaan lokasi wisata harus dilakukan berbasis masyarakat desa, dengan demikian manfaat dari pembangunan infrastruktur akan mampu menciptakan pemerataan ekonomi.
Arni Muslimah Handayani Widjaja, ST mahasiswa Magister Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB angkatan 2017
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini