Penyebab Seseorang Menjadi Teroris dan Pencegahannya

Kolom

Penyebab Seseorang Menjadi Teroris dan Pencegahannya

Harja Saputra - detikNews
Selasa, 15 Mei 2018 12:53 WIB
Jejaring terorisme JAD (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom)
Jakarta - Dari dulu saya penasaran pada satu pertanyaan: apa sih faktor atau penyebab seseorang menjadi teroris?

Saya baca lumayan banyak buku, dan mengikuti kuliah dari beberapa orang pakar terorisme. Di antaranya menyimak kuliah Daniel Byman, profesor yang meneliti khusus Al-Qaidah. Kemudian menyimak kuliah dari Profesor Bruce Hoffman, ahli bidang terorisme yang memfokuskan penelitian pada kasus Irak. Keduanya dari Georgetown University Amerika yang saya ikuti kuliahnya di EDX.

Saya juga mengikuti workshop di lembaga internasional bidang terorisme, di antaranya di UNODC (salah satu lembaga PBB) khusus tentang masalah definisi terorisme dan framework internasional yang terkait dengan penanganan kejahatan terorisme untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu.

Buku-buku tentang sejarah pertumpahan darah sejak era abad pertengahan, era pertengahan, dan era modern baik itu yang berbahasa Inggris, Arab, Indonesia cukup banyak yang dibaca. Begitu pun jurnal-jurnal internasional dan artikel. Lumayan pusing juga. Karena masalah terorisme ini sangat pelik. Analisisnya bermacam-macam.

Apa kesimpulan saya? Banyak ahli dan para politisi yang mengatakan bahwa akar penyebab seseorang menjadi teroris atau faktor utama terorisme adalah masalah kemiskinan dan kebodohan. Atau, karena faktor adanya masalah ketidakadilan pemerintah dalam melakukan distribusi ekonomi pada rakyat.

Saya berani katakan: itu salah. Kenapa? Sebab, kalau melihat biografi para teroris kakap dunia seperti Osama bin Laden, Al-Baghdadi, para pengikutnya, serta puluhan teroris di Indonesia, apakah mereka dari kalangan masyarakat bawah? Tidak. Para teroris itu umumnya berasal dari kalangan menengah dan terdidik. Artinya, tidak miskin, bukan masyarakat kalangan bawah, dan juga tidak bodoh. Cerdas secara intelegensia.

Mari kita petakan dulu. Jika diidentifikasikan, maka ada faktor eksternal yaitu lingkungan, kondisi sosial, kondisi politik, dan faktor eksternal lain. Ada juga faktor internal, yaitu motivasi untuk memberontak, pemahaman yang keliru terhadap suatu ideologi, dan delusi superhero.

Di antara kedua kategori faktor itu, yang mana sebetulnya yang paling berpengaruh? Okelah, jika disebut paling berpengaruh mungkin tidak tepat, karena harus melibatkan perangkat analisis statistika. Kita katakan, faktor mana yang dinilai paling berperan dalam membentuk seseorang menjadi teroris?

Ternyata, yang paling berperan adalah faktor internal individu. Faktor ketidakadilan penguasa dalam distribusi ekonomi, itu sesungguhnya tumpang-tindih. Jika dilihat dari arahnya, dapat disebut faktor eksternal. Tapi, bisa juga disebut faktor internal. Sebab, ini melibatkan persepsi yang sangat subjektif. Pemerintahan dalam suatu negara bisa dipersepsi negatif, dan bisa juga dipersepsi positif, tergantung dari pemahaman seseorang.

Faktor pemahaman terhadap suatu ajaran ideologi juga berperan besar. Ideologi di sini bukan saja agama, tapi ideologi dalam arti luas. Komunisme itu ideologi, bisa melahirkan paham terorisme juga. Agama belum disebut ideologi ketika agama itu hanya yang bersifat ritual ibadah personal. Tapi, ketika agama direpresentasikan dengan sebuah gerakan sosial, nah itu baru disebut ideologi --dan, disebut ibadah juga tapi ibadah sosial yang penilaian dan penafsiran terhadap hal tersebut sangat beragam.

Faktor internal lain yang tidak boleh diabaikan yaitu kadar delusi superhero. Setiap orang memiliki kecenderungan ini, namun dengan kadar yang berbeda. Ketika kita ingin berpartisipasi agar mampu mengubah masyarakat, memberantas kejahatan secara cepat, memberikan yang lebih banyak pada orang lain dengan memberikan pengorbanan yang banyak, itulah kecenderungan superhero.

Dalam kadar tertentu kecenderungan tersebut dikategorikan normal, sebab manusia adalah makhluk sosial. Menjadi tidak normal ketika kadar delusi superhero ini berlebihan. Ada dorongan di dalam diri untuk mengubah tatanan sosial agar terjadi keteraturan sesuai dengan persepsi pribadi yang diinginkan secara cepat. Tindakan radikal diambil untuk mewujudkan itu. Kalau pun harus mengorbankan nyawanya sendiri ia rela. Inilah delusi superhero akut.

Bidadari, masuk surga, martir itu sesungguhnya hanya bumbu penyedap saja yang melengkapi delusi superhero. Atau, dalam kasus tertentu, bisa jadi pemantik yang jitu dalam berbuat radikal. Namun, tetap pijakannya adalah masalah psikis, yaitu delusi superhero tadi.

Yang paling parah adalah ketika banyak variabel internal bersatu, dan didorong dengan faktor eksternal. Dan, kehidupan selalu begitu. Suatu tindakan lahir sering dipengaruhi oleh banyak faktor yang berkumpul menjadi satu. Ketika delusi superhero seseorang sudah akut, ditambah lagi adanya pemahaman tentang faktor politik dan ideologi yang ditanamkan secara kuat, kemudian didorong karena rasa dendam, kebencian mendalam pada suatu sistem atau rezim, maka dipastikan orang yang mengalami hal itu akan dengan sangat mudah untuk berbuat tindak pidana teror.

Pemahaman tentang ini penting untuk merumuskan kebijakan yang seperti apa sesungguhnya yang harus dijalankan oleh para perumus kebijakan dalam menanggulangi masalah terorisme. Penegakan hukum saja tidak cukup. Ia sifatnya responsif. Sementara terorisme sifatnya progresif dan dinamis. Akan gagal jika hanya penegakan hukum.

UU Terorisme yang berlaku sekarang belum mampu menyentuh ke faktor internal itu. Deradikalisasi yang banyak dipuji karena telah banyak mengembalikan para teroris ke jalan yang benar, masih banyak celah kelemahan. Itu karena deradikalisasi pun masih bersifat responsif. Hanya menyasar pada para eks teroris.

Bagaimana misalnya perlakuan terhadap orang yang melakukan provokasi bahkan pencucian otak untuk memasukkan ideologi tertentu yang menyebabkan seseorang mengalami delusi superhero akut di banyak tempat? Bagaimana terhadap masyarakat yang belum terkena paham radikalisasi agar tidak terpapar? Belum tersentuh sama sekali. Padahal ini inti dari penanggulangan terorisme.

Dalam RUU Terorisme yang baru, sepertinya ada harapan. Kebijakan penanggulangan terorisme tidak melulu pada penindakan, tapi juga menitikberatkan pada pencegahan. Upaya-upaya intelijen yang proaktif, kebijakan kontra radikalisasi di samping deradikalisasi, peran serta dari masyarakat, dan pendekatan-pendekatan soft lainnya telah dirumuskan untuk dapat diimplementasikan.

Sayangnya, pembahasan RUU ini masih terkendala karena masalah definisi terorisme. Belum ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR tentang hal tersebut. Pemerintah berkali-kali meminta waktu untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi antarlembaga untuk merumuskan definisi.

Harapannya, jangan lama-lama. Karena, bibit-bibit terorisme ibarat hantu yang nyata; tidak kelihatan tapi dampaknya sangat nyata.

#TumpasTerorisme

Harja Saputra Tenaga Ahli Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads