Tragedi Sosial Budaya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tragedi Sosial Budaya

Senin, 14 Mei 2018 15:36 WIB
Didik.rachbini
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Didik J Rachbini (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik. Pemilihan kepala daerah secara langsung dan pemilihan presiden akan berlangsung tahun ini dan tahun depan. Ruang publik akan sangat penuh dan dijejali dengan anasir-anasir buruk, yang dapat melemahkan ketahanan nasional. Tidak hanya itu, sistem sosial budaya akan terlemahkan secara perlahan dan bisa mengalami kematian pelan-pelan, yang biasa disebut proses entropi.

Tulisan ini melihat dan menganalisis ruang publik tersebut. Saya ingin dan biasa membingkai tulisan dengan teori agar permasalahan yang dibahas menjadi jelas dan gampang dipahami. Teori adalah alat bantu untuk memahami sesuatu yang kompleks menjadi lebih logis, masuk akal, dan bahkan sederhana. Karena itu, meskipun tulisan itu hadir di hadapan umum, khalayak, dan awam penyajian teori secara sederhana masih sangat diperlukan agar permasalahan di dalam tulisan tersebut menjadi lebih baik.

Di dalam tulisan ringkas ini saya akan memotret dimensi sosial budaya dan berbagai permasalahannya yang terlihat pada saat ini. Kebudayaan merupakan hasil karya kolektif akal budi manusia, masyarakat maupun bangsa. Budaya adalah cara hidup, sistem norma, agama, adat istiadat, bahasa, sosial dan politik. Kebudayaan terbentuk karena pergulatan sejarah suatu bangsa, masyarakat, atau komunitas.

Dengan demikian, masing-masing bangsa dan masyarakat memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri. Indonesia memiliki sistem kebudayaan yang berbeda dengan negara lain dalam lingkungan global. Tetapi percampuran yang cepat dalam kehidupan sosial dan budaya pada saat ini telah menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak terduga, terutama banyak sisi negatif. Itu berarti telah terjadi erosi dan kehancuran pelan-pelan dari kebudayaan akibat teknologi komunikasi yang cepat dan masuk ke ruang-ruang publik maupun pribadi.

Sistem norma mengedepankan yang baik dan menyembunyikan yang buruk. Yang buruk dilarang muncul dan dijaga oleh sistem norma. Di dalam revolusi teknologi komunikasi, yang buruk muncul dimana saja dan kapan saja menerabas sistem proteksi norma-norma yang ada. Karena itu, lambat laun sistem sosial budaya mengalami entropi, pelan-pelan mati dan hancur.

Lalu, bagaimana mengantisipasi dan memproteksi perkembangan baru seperti ini? Kita harus mengenali dinamika permasalahan yang terjadi, lalu mencari cara bagaimana memproteksi sistem sosial dan budaya nasional yang sedang terancam seperti sekarang ini.

Suatu ruang publik atau barang publik memiliki kapasitas terbatas untuk dipakai bersama. Agar ruang publik tersebut terjaga, maka aturan main dan norma harus diberlakukan untuk menjaga ruang publik tersebut tetap berfungsi. Di dalam ilmu ekonomi politik kerangka teoritis seperti ini bisa dipakai dan bisa memotret pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta bisa melihat sisi gelap pengaruh globalisasi dan media sosial dalam rangka antisipasi dampak negatifnya.

Teori ini adalah Tragedy of the Common Theory. Jika suatu barang publik, entitas publik, milik kolektif dipakai dan dimasuki berjejal secara berlebihan maka barang publik tersebut cepat atau lambat akan rusak. Sebagai contoh, barang publik padang rumput yang terbatas jika dipakai sebagai padang gembala berlebihan, maka padang rumput tersebut akan rusak. Untuk menjaga kelangsungan ruang publik tersebut, maka harus diberlakukan sistem norma dan aturan main yang dapat menjaga agar pemanfaatannya tidak melewati ambang batas kapasitasnya.

Banyak barang publik menghadapi kehancuran karena tidak ada institusi, norma atau aturan main yang menjaganya. Sistem yang berlaku adalah sistem anarki, yang membiarkan barang publik tersebut dirusak oleh aktor-aktor pelaku yang ada di dalamnya. Jika tidak ada sistem norma dan aturan main dan tidak mengantisipasinya dengan arsitektur norma dan aturan kolektif bersama, maka ruang publik tersebut lambat laun rusak dan hancur sama sekali.

Sama persis dengan contoh tersebut, ruang publik sekarang yang dijejali media sosial akan menyebabkan kerusakan tatanan sosial. Karena sifat buruk dari arus informasi yang masif tidak ada yang menjaga, maka proses ini akan merusak tatanan sosial tersebut. Tatanan sosial ini berevolusi sangat lama dalam menghidupkan keharmonisan. Tapi, kehadiran mendadak dari media sosial dan informasi yang masif menyebabkan sifat buruknya tidak tersaring sehingga merusak tatanan yang ada.

Ruang publik di mana ada budaya dan norma di dalamnya menghadapi bencana karena tidak ada aturan dalam memakainya, tidak ada regulasi, dan ada partisipasi berlebihan. Yang terjadi adalah anarki. Kekosongan institusi yang membingkai revolusi komunikasi ini menyebabkan ruang publik bersama terancam. Jika proses ini tidak disadari secara mendalam maka tatanan harmonis yang terbentuk dalam kurun waktu yang lama akan rusak.

Revolusi teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak sangat luas terhadap kehidupan manusia, kehidupan individu, sosial maupun bernegara. Arus besar yang masif tersebut membawa penyakit ke dalam sistem dan tatanan sosial yang sudah ada. Jika dibiarkan tanpa bingkai institusi, hukum dan aturan main maka pengaruh negatifnya akan lebih besar masuk dan merusak tatanan sosial yang ada.

Tatanan sosial yang dulu dibatasi oleh norma-norma, pakem, dan aturan sekarang dapat dengan mudah diterobos dan diintervensi oleh teknologi komunikasi. Arus besar informasi yang masif hadir tiba-tiba dengan muatan-muatan baru. Ada yang memperkuat dan juga yang melemahkan dan merusaknya. Ada yang sesuai dengan sistem norma yang ada tapi lebih banyak yang bertentangan dan merusak. Lahirnya teknologi informasi dan arus media sosial merupakan tantangan bersama yang sangat serius.

Yang menjadi masalah adalah muatan-muatan yang bertentangan di dalam sistem teknologi komunikasi tersebut kemudian secara masif ke dalam tatanan sosial masyarakat. Lalu muncul resistensi yang hebat dan dengan mudah menimbulkan gejolak sosial yang tidak terbayangkan sebelumnya. Konflik, disharmoni, dan kehancuran muncul sebagai akibat dari tragedi arus informasi yang berjalan anarki.

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah karunia dan produk akal budi manusia. Teknologi ini menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang baik, tapi sebaliknya dapat menjadi sarana melemahkan sistem sosial dan budaya bersama. Bahkan secara nyata bisa dikatakan bahwa ada banyak sisi gelap dari media sosial. Sebagian sudut kritis media sosial adalah bencana.

Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang cepat tidak bisa dicegah, tapi tak bisa dibiarkan anarkis dan melenggang tanpa norma. Negara perlu hadir dengan aturan main dan regulasi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas masyarakat dalam menerima kehadiran media sosial tersebut.

Jika kita bersama diam dan tidak mampu menciptakan arsitektur aturan main bersama, maka bencana tragedy of the common akan terjadi cepat atau lambat. Teknologi informasi dan media sosial yang bebas bisa meretas norma budaya dan lembaga kehidupan yang sudah hidup ratusan atau bahkan ribuan tahun. Dengan ruang publik yang terbuka, maka bangunan norma-norma itu hancur.

Didik J Rachbini pendidik, guru besar ilmu ekonomi, pengajar pada Universitas Mercu Buana dan Pascasarjana UI

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads