Bonek, mungkin itu yang akan muncul di benak tatkala kata Surabaya disebut. Pendukung tim sepakbola yang suka nekad itu terkenal tidak pernah menyerah walau timnya nyata-nyata kalah. Mereka selalu optimis dan memberikan dukungan tanpa reserve.
Maklumlah, arek-arek Surabaya itu memang dikenal mewarisi jiwa juang tinggi sejak zaman penjajahan. Walaupun kalkulasi di atas kertas tidak mungkin menang, namun bisa menjadi kenyataan berbeda di tangan mereka. Tidak heran, Brigadir Jenderal Mallaby asal Inggris pun tumbang di tangan arek Suroboyo dalam baku tembak pada 1945. Dunia ternganga dibuatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tata kota juga makin cantik. Pemandangan baliho tidak sembarangan. Taman-taman kota tambah banyak. Jalan di trotoar juga nyaman. Jujur saja, bagi saya yang bukan warga setempat, Surabaya lebih nyaman daripada banyak kota besar di Indonesia.
Itulah mengapa, Surabaya berhasil meraup banyak penghargaan di tingkat internasional. Ada Aga Khan Award for Architecture (1984 dan 1986), Citynet kategori Kota Partisipasi Terbaik se-Asia Pasifik (2012), Asian Townscape Award (ATA) 2013 dari PBB, Penghargaan Future Gov Award 2013, dan Socrates Award (2014) kategori City of The Future.
Bahkan beberapa kampung di sana juga menyabet penghargaan seperti Japan Housing Associations-IYSH Matsushita Award (1988), UNEP Award (1990), UNCED Local Government Honour Programme (1992), dan The World Habitat Award (1992).
Perjalanan panjang kota Surabaya menjadi kota metropolitan yang nyaman memang bukan rahasia lagi. Saat banyak kota berjibaku menghadapi masalah polusi, Surabaya melesat menjadi kota masa depan dan percontohan bagi Indonesia.
Tidak mengherankan juga bila kemudian para teroris itu memilih kota idaman ini untuk dikoyak dalam satu hari. Bagaikan gadis tercantik di desa, saat ia terluka pasti akan memantik banyak perhatian masyarakat lokal dan sekitarnya. Target memancing perhatian memang tidak meleset sehingga dunia internasional pun ikut memberikan perhatian sangat serius kepadanya. Uskup misalnya, angkat bicara hanya beberapa saat setelah tragedi itu berlangsung.
Ya, memang sangat keji. Gadis cantik yang tidak bersalah itu telah dijadikan tumbal sebuah ambisi yang tidak pernah bisa dibenarkan dengan dalil serta logika apapun. Si bunga desa itu telah dianiaya, disiksa, dan terus disakiti dari pagi hingga malam hari. Ia menjadi terluka, merintih dan menderita.
Lebih menyakitkan lagi, si gadis ini berusaha dibunuh dengan menggunakan aneka macam bom yang biasa dipakai untuk peperangan di medan laga. Itulah yang menyebabkan kota Surabaya sempat terasa dingin dan kaku selama hari Minggu (13/5) kemarin. Jalanan sepi, dan toko-toko seperti mati.
Apakah Surabaya sudah takluk di tangan teroris? Jawabnya jelas "no". Arek-arek Surabaya tidak akan tergilas dengan provokasi dan aneka siksaan seperti itu. Mereka tidak akan menganggapnya sebagai tantangan berat. Pelajaran mengalahkan tentara penjajah sebelum kemerdekaan, serta kemampuan eksis menjadi kota terbaik di Indonesia jauh lebih menantang dari sekadar letupan-letupan mercon kecil.
Surabaya pasti segera mengobati luka kemarin dengan semangat kemajuan yang tidak pernah padam. Mereka akan menatap masa depan dengan penuh optimisme karena sadar bahwa persaingan dunia semakin ketat. Arek-arek bonek itu memang selalu nekad dan tidak perduli, demi meraih kemenangan.
M Aji Surya warga biasa, pengagum kota Surabaya
(mmu/mmu)











































