Kejadian pertama yaitu meledaknya kerusuhan di Mako Brimob Depok (8/5) yang dilakukan oleh narapidana terorisme, selanjutnya disebut napiter, yang memakan korban hilangnya nyawa petugas kepolisian. Berselang hanya beberapa hari terjadi peledakan bom di tiga gereja di kota Surabaya. Tepatnya di Minggu (13/5) pagi ketika jemaat gereja hendak melakukan kebaktian. Ini kejadian kedua. Sangat memprihatinkan.
Alih-alih berbahagia atas datangnya bulan suci, Ramadan disambut dengan duka yang dalam. Siapa yang tidak sedih dengan kebiadaban itu. Jika ada, maka patut dipertanyakan nuraninya. Kedua kejadian ini amatlah patut dikutuk. Peristiwa terakhir sangat di luar nalar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita tidak bisa menyangkal bahwa pelaku ini beragama. Apalagi di setiap kasus terorisme di Indonesia pelakunya hampir pasti beragama Islam. Para napiter di Mako Brimob tegas-tegas menggunakan simbol-simbol Islam ketika melakukan aksinya. Pelaku bom Surabaya kemudian diketahui merupakan anggota sel teroris aktif Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang diduga kuat berafiliasi dengan ISIS dan sebagian anggotanya, bahkan ideolognya, telah ditahan atas kejahatan terorisme.
Nah, karena hampir pasti pelakunya muslim, jadi timbul pertanyaan: apa iya Islam mengajarkan terorisme? Kalau tidak, mengapa pelakunya selalu muslim?
Ini sebenarnya pertanyaan yang gampang-gampang susah jawabnya. Mirip buah simalakama. Kalau dijawab tidak, nanti dibilang penyangkalan. Kalau dibilang iya, bisa jadi masalah karena seakan-akan jadi legitimasi bahwa Islam mengajarkan terorisme. Maka begini saja. Daripada terjebak pada dikotomi penyangkalan atau pengakuan yang sama-sama tidak produktif, mari kita sepakati saja bahwa pelaku ini beragama Islam secara formal tapi secara substansial tidak menerapkan ajaran Islam.
Saya kira itu jawaban paling pas. Tidak ada penyangkalan, namun juga tidak terjadi salah pengertian kepada Islam. Tapi, tunggu dulu. Pas menurut siapa? Mari kita tinjau dengan lebih teliti. Ada beberapa orang yang menyimpulkan Islam mengajarkan terorisme karena di dalam Alquran ada ayat-ayat perang. Sebut saja ayat-ayat yang redaksinya berisi kekerasan. Bunuhlah orang kafir. Singkirkan mereka jika kamu temui. Atau, habisi mereka di mana saja mereka berada. Itu ada di dalam Alquran.
Iya, betul. Ayat-ayat tersebut ada. Dibaca berulang-ulang oleh semua umat muslim di seluruh dunia. Menjadi salah jika shorcut logika seperti itu dipakai dalam hal ini. Jika betul Islam mengajarkan kekerasan dalam ayat-ayat dengan redaksi seperti itu maka seharusnya di mana pun ada orang Islam maka akan terjadi pembunuhan-pembunuhan pada yang liyan secara sporadis.
Tapi faktanya, dari miliaran umat Islam yang saat ini menghuni muka bumi hanya sedikit sekali yang kemudian menjadi pelaku teror. Mayoritasnya justru memandang yang liyan sebagai saudara. Dari liyan menjadi kami. Saling asih, asih, dan asuh tanpa mempersoalkan keyakinan.
Dari sini kemudian diambil opsi lain yaitu ada yang salah dengan pelaku teror. Dengan kata lain, jika dibuat pertanyaan antara apakah ayat itu yang bermasalah atau orang yang membacanya yang keliru memahami. Konsistensi logika di opsi terakhir lebih bisa dipertanggungjawabkan. Atau, bisa jadi memang ada upaya-upaya legalisasi kekerasan dengan main comot ayat sesuka hati yang dilakukan dengan terstruktur. Ini saya kira yang paling masuk akal.
Bagi yang mempelajari Alquran tentu paham, bahwa Alquran adalah kitab suci yang ayat-ayatnya diwahyukan secara bertahap. Alquran bukan produk jadi yang langsung gebruk turun dari langit lalu harus diamalkan isinya tanpa melihat-lihat situasi. Bukan seperti itu. Alquran adalah kitab yang merespons kejadian-kejadian semasa Nabi MUhammad hidup dan mendakwahkan ajarannya.
Karena ia hasil respons terhadap situasi tertentu, akan menjadi fatal apabila respons tersebut atau konteks ayat tersebut dihilangkan. Konteks itulah yang disebut asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya wahyu.
Kita tahu saat Nabi mendakwahkan Islam mengalami banyak tantangan. Salah satunya berupa tantangan fisik. Dalam beberapa kasus, tantangan fisik itu harus diselesaikan dalam bentuk perang. Mengapa perang? Ya, karena itulah cara penyelesaian masalah di saat sudah buntu. Perang adalah hal yang jamak terjadi di masa itu (bahkan saat ini saja ada negara yang sedang dilanda perang).
Dalam kasus Nabi, ketika beliau dan sahabat hijrah ke Madinah, pertentangan fisik dengan kaum Quraisy tidak surut, bahkan eskalasinya meningkat. Dalam suasana perang itulah ayat-ayat itu turun untuk memotivasi Nabi dan umat. Alquran memotivasi umat agar jangan jadi orang lembek, hajar musuh sampai habis, siapkan perbekalan, dan tingkatkan kemampuan berperang, tidak boleh kabur dari peperangan, dan jika mati mendapat syahid atau balasannya surga.
Nah, konteks seperti itulah yang harus dipahami jika membicarakan ayat-ayat yang secara tersurat seolah-olah Islam itu mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Konteks seperti ini sangat penting untuk dipahami. Akan menjadi lucu jika dalam suasana perang lalu turun ayat yang isinya perdamaian, kan tidak klop, alih-alih tersemangati malah drop. Begitu kira-kira.
Nah. Setelah perang selesai maka wahyu yang turun pun nuansanya berbeda. Bukan lagi menggelorakan semangat, tapi sebaliknya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian. Ada ayat yang menyatakan, jika seseorang membunuh maka ia seolah-olah sedang melakukan genosida, pembunuhan terhadap manusia seluruhnya (bayangkan!).
Sebaliknya, saat kita menolong seseorang maka seolah-olah sedang menyelamatkan manusia dari kemusnahan (bayangkan lagi!). Ini penting untuk dipahami. Dalam perjanjian-perjanjian yang dibikin dengan komunitas berlainan agama, Nabi juga sering menerapkan pasal-pasal yang menjamin kebebasan beragama, dan juga perlindungan mutlak atas harta benda, kehormatan, dan nyawa mereka.
Dalam satu hadis bahkan sampai dinyatakan bahwa siapapun yang membunuh non-muslim yang hidup bersama umat Islam maka amal ibadahnya, keimanannya menjadi sia-sia, ia tidak akan mencium bau surga. Jangankan masuk, mencium saja tidak. Padahal wangi surga bisa dicium dari jarak yang sangat jauh. Alias tempatnya di neraka!
Lalu, bagaimana dengan para pelaku teror itu, apa yang membuat mereka meyakini doktrin kekerasan? Dari mana doktrin itu mendapatkan penganut?
Kita ambil contoh pelaku-pelaku teror seperti Osama bin Laden atau Aman Abdurrahman. Sebelum menjadi teroris Osama punya harta melimpah. Apapun yang dimaui bisa dibeli. Namanya juga orang kaya di negeri petrodolar! Sedangkan Aman, dia tadinya imam masjid, dosen di satu cabang universitas Saudi di Indonesia. Keduanya jabatan dengan tunjangan penghasilan yang cukup. Semua ditinggalkan.
Mereka diam-diam gelisah melihat konflik yang menerpa negara dengan mayoritas berpenduduk muslim. Konflik itu bisa karena perselisihan internal, atau karena campur tangan pihak luar, sebut saja Amerika yang kebijakan luar negerinya aktif dan bahkan menyerang negara lain dengan kekuatan militer. Maka mereka memutuskan bergerak. Osama mendirikan Alqaida yang kemudian menjadi cikal bakal gerakan teror hingga beranak-pinak dengan berbagai nama dan jaringan teroris. Di antaranya JAD yang diketuai Aman, dan diduga mendalangi berbagai aksi teror di Indonesia.
Doktrin yang mereka yakini adalah perang saat ini sedang berlangsung. Maka ayat-ayat tentang peperangan tadi dicomot, diracik dengan konteks politik global yang menggelisahkan tadi hingga dari situ terbangun sebuah kerangka doktrin yang kokoh. Selain itu, etika perang yang diajarkan Islam seperti tidak boleh merusak tempat ibadah, menarget warga sipil, termasuk larangan menyakiti binatang atau pepohonan dihilangkan. Akibatnya menjadi destruktif. Doktrin Islam diselewengkan untuk tujuan yang mereka inginkan.
Memecah belah adalah salah satu tujuannya. Untuk itu kita jangan terpancing untuk saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Mari jaga kewarasan, dan buang anggapan-anggapan seperti pelakunya dari paham yang berbeda, lawan politik mendukung terorisme, atau misalnya beredar anggapan konspiratif bahwa itu bagian dari operasi intelijen (mungkinkah?). Bersikaplah empatik. Jaga komentar tanpa bukti.
Menuding pihak lain yang tidak kita sukai memang mudah, dan bisa jadi melegakan kekesalan dan kemarahan. Tapi, bisa jadi itulah yang diinginkan pelaku teror. Maka, mari kita tahan diri dan jaga persatuan. Itulah cara terbaik mengalahkan teror.
Hilmi Amin Sobari menulis opini keagamaan di media cetak dan daring. Alumni Ponpes MWI Kebarongan, Banyumas, Jawa Tengah. Saat ini tinggal di Kota Bekasi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini