Beratnya Kerja Melawan Terorisme
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Beratnya Kerja Melawan Terorisme

Senin, 14 Mei 2018 10:50 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Dalam kerja-kerja melawan terorisnya yang dimotori oleh Polri tugas kita sangat berat, karena kita berhadapan dengan sosok-sosok yang mirip manusia, tapi bukan manusia. Kita mengira mereka manusia, tapi ternyata bukan. Kalau kita masih memikirkan mereka sebagai manusia, memperlakukan mereka sebagai manusia, kita akan kalah. Parahnya, populasi makhluk seperti ini sangat banyak jumlahnya di Indonesia.

Kita mengira perempuan dan anak-anak tidak akan terlibat dalam sebuah perang. Kita mengira bahwa mereka hanya akan menyerang sasaran bersenjata seperti kantor polisi atau tentara. Ternyata tidak begitu. Mereka menyerang apa saja, dengan cara apa saja.

Kalau kita mengira mereka hanya akan menyerang tempat-tempat orang "kafir", kita keliru, karena mereka juga menyerang masjid. Kalau kita mengira mereka akan menyerang dengan bom dan senapan, kita keliru. Mereka siap menyerang dengan gunting, pensil, bahkan mungkin dengan sambal cabe giling. Apapun yang kita pikirkan, kalau kita masih berpikir sebagai manusia, lalu menganggap ada hal yang tidak mungkin terjadi, maka kita salah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk bisa mengantisipasi tindakan mereka, kita harus berpikir seperti mereka. Di satu sisi itu membuat pekerjaan kita seperti mustahil. Kalau hendak mengantisipasi tindakan mereka, kita harus menjaga setiap tempat dengan penjaga bersenjata. Mulai dari gedung perkantoran, mal, gereja, dan mesjid. Cukup? Tidak. Mereka juga mungkin menyerang stasiun kereta, terminal bis, pasar, sekolah, bahkan rumah penduduk. Bagaimana kita mau menjaganya?

Di sisi lain, berpikir seperti mereka yang minus kemanusiaan akan membuat kemanusiaan kita sendiri akan tergerus. Tanpa kita sadari mungkin suatu saat kita sudah berubah menjadi makhluk kosong seperti mereka.

Dengan nalar manusia biasa saya sulit membayangkan bagaimana pemerintah akan sanggup menanggulangi mereka. Saya hanya bisa menggantungkan kepercayaan pada pemerintah, khususnya Polri, bahwa mereka punya ilmu dan teknik tertentu yang bisa dipakai merumuskan tindakan-tindakan antisipatif. Toh kalau kita bandingkan, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, atau Australia jauh lebih aman dari serangan teroris. Artinya, sepertinya masih ada banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan tapi belum dilakukan.

Yang tidak kalah merepotkan adalah tindakan Polri dalam melawan terorisme ini tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat. Masih cukup banyak tokoh ormas, partai politik, intelektual, dan pemuka agama yang malah menyerang langkah-langkah yang diambil Polri dan pemerintah. Saya katakan menyerang, bukan mengkritik.

Kritik adalah menunjukkan hal-hal yang tidak patut, dan seharusnya diperbaiki. Lebih baik lagi bila disertai saran perbaikan. Tapi yang dihadapi Polri bukan kritik. Ketika Polri harus kehilangan anggotanya dalam serangan di Rutan Salemba Cabang Kelapa Dua, ada sejumlah tokoh yang mengaitkannya dengan keberadaan Ahok di rutan itu. Kata mereka, kerusuhan itu akibat adanya Ahok di situ.

Itu adalah perkataan di luar nalar. Ada ratusan orang yang memberontak dan merampas senjata, lalu menyiksa dan membunuh anggota Polri dengan keji di peristiwa itu. Bisakah kita bayangkan dengan nalar yang sehat bahwa itu dilakukan karena mereka tidak senang dengan keberadaan Ahok di rutan itu?

Ada pula yang menuduh bahwa teror-teror ini adalah sandiwara yang dibuat Polri atau entah pihak mana, untuk memojokkan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuduhnya dibuat untuk keperluan mendapatkan anggaran tambahan.

Ada mayat-mayat bergelimpangan, tapi mereka masih sanggup melancarkan tuduhan bahwa itu sandiwara. Itu terjadi pada hampir setiap kejadian teror. Kritik? Ini sama sekali bukan kritik. Ini adalah sikap orang-orang yang pokoknya menyalahkan. Apapun yang terjadi, apapun argumennya, tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah menyalahkan pemerintah yang mereka tidak sukai. Dengan cara itu mereka berharap bisa merebut pemerintahan, menggantinya dengan diri mereka, atau dengan orang-orang yang mereka sukai.

Siapakah yang sanggup berbuat seperti itu? Tidak ada manusia normal yang sanggup melakukannya. Yang sanggup hanyalah orang-orang yang sudah kehilangan kemanusiaannya, setidaknya sebagian. Pada dasarnya orang-orang ini tidak menganggap para korban sebagai sesuatu yang layak ditangisi kematiannya.

Mereka biasanya adalah orang-orang yang menganggap bahwa ada orang lain, pihak lain, yang senantiasa menjadikan mereka sebagai sasaran kekejian. Mereka berfantasi bahwa ada orang-orang dari kalangan agama lain, etnis lain, yang bersekongkol untuk menguasai mereka. Pemerintah, TNI, dan Polri sering dianggap bagian dari persekongkolan itu. Karena itu mereka berfantasi bahwa ada orang-orang yang sanggup dengan segala cara untuk memburukkan citra Islam.

Para pelaku teror itu adalah muslim, yang bukan dari kalangan abangan. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang juga menyangka bahwa orang-orang yang mereka serang, yang tidak seagama dengan mereka, juga Polri dan TNI, adalah musuh-musuh Islam, yang selalu berusaha memojokkan dan menyingkirkan umat Islam.

Suka atau tidak, mau tidak mau kita akan sampai pada kesimpulan ini. Bahwa para pencela Polri dan pemerintah itu dalam banyak hal mirip dengan para teroris. Mereka adalah beban bagi Polri dan pemerintah. Pada saat harus bekerja keras menghadapi tugas berbahaya, Polri masih harus pula menghadapi ucapan-ucapan yang tidak mendukung dan cenderung menghasut itu.

Kepada mereka saya ingin katakan, tutuplah mulut kalian. Kalian tidak membuat kerja melawan teroris ini menjadi lebih baik atau lebih ringan.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia




Saksikan juga video "Polisi selamatkan bocah di lokasi ledakan Polrestabes":

[Gambas:Video 20detik]




(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads