Masjid yang Menjamu Tamu Seperti Rumah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kalis

Masjid yang Menjamu Tamu Seperti Rumah

Jumat, 11 Mei 2018 16:57 WIB
Kalis Mardiasih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Memilih tempat tinggal di depan sebuah masjid kampung membuat saya sering mendapati pemandangan yang membuat hati sejuk. Kemarin siang seorang bapak penjual mainan anak-anak keliling mengambil jeda sejenak setelah mampir Salat Zuhur. Ia mengipasi tubuhnya yang berpeluh di siang terik. Setengah hari itu ia selesai mangkal di sebuah hajatan pernikahan. Lumayan, beberapa balon plastik terjual. Ia lalu bersiap mencari tempat hajatan lain setelah saya tawarkan untuk mengisi botol minumnya dengan air putih.

Pada sebuah sore yang mendung, sepasang anak muda memarkir motornya di depan masjid. Ada dua keranjang besar di sisi kanan dan kiri motor, penuh sesak berisi bibit-bibit tanaman. Dua remaja itu mengetuk pintu-pintu rumah dengan membawa sebuah buku album besar yang berisi foto gambar tanaman.

"Kelengkeng merah...jambu deli...masing-masing 50 ribu, Ibu-Ibu."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka berasal dari Madiun dan telah hampir seminggu berkeliling ke arah Solo, dan telah dua hari bermalam di musala-musala pom bensin di Yogyakarta. Desa ini dekat dengan Gunung Merapi. Ada banyak kebun-kebun di pinggir menuju Merapi. Bibit tanaman yang mereka bawa kurus kecil dengan daun tampak penyakitan. Apalagi, harganya lebih mahal.

Kini, tiap kali memandangi bibit tanaman pot yang sudah jauh lebih gemuk dengan daun rimbun itu, saya teringat dua anak remaja dengan etos kerja bersemangat tengah berteduh di masjid, ditemani serombongan ibu-ibu tetangga yang mengajak mengobrol apa saja.

Masjid yang menyenangkan menjamu tamu seperti rumah. Pada sebuah musala kecil di Jalan Prambanan-Piyungan, saya singgah. Selepas Salat Magrib, seorang bapak menghampiri saya dengan mengucap salam. Ia kemudian bertanya dari mana dan hendak ke mana. Saya baru tersadar, musala kecil semacam itu biasanya digunakan untuk berjamaah warga sekitar saja, sehingga satu dua wajah yang asing berarti orang yang berasal dari luar desa.

Malam itu saya menuju acara bedah buku Tikuse Pada Ngidung karya Mohammad Sobary. Ketika saya sebutkan alamat tinggal di sekitar Pondok Pesantren Pandanaran, ia lalu bercerita bahwa awalnya anak terakhirnya juga akan ia kirim nyantri ke Pandanaran, sebelum akhirnya mantap memilih Ponpes Darul Quran Wonosari.

Ketika saya jawab saya hendak menuju Ponpes Kaliopak, ia sedikit kebingungan, mengaku tak pernah mendengar. Saya berusaha menjelaskan bahwa Ponpes Kaliopak memang hanya semacam ruang perjumpaan bagi orang-orang pengkaji kebudayaan. Menjelang akhir perbincangan, ia meminta doa agar anak-anaknya yang masih nyantri di As Salam Solo juga di Ponpes Wonosari diberikan kemudahan dalam menyerap ilmu dan kelancaran studi. Saya jawab amin, dan dibalasnya dengan doa keselamatan perjalanan untuk saya.

Ini mungkin fragmen yang biasa saja tapi entah kenapa menyajikan hal remeh semacam ini menjadi lebih relevan pada masa-masa sekarang. Dua orang yang saling bicara, pada masa lalu sebelum segala rupa teknologi komunikasi hadir adalah petunjuk yang membuka segala macam kemungkinan. Dua manusia asing di jalan terkadang bahkan tidak ingat untuk saling bertanya nama. Tetapi perbincangan dua manusia asing ini adalah satu dari banyak daya dukung sosial yang membangun ruh hidup bersama.

Perbincangan yang tidak terikat norma formal institusi yang mengukur segala sesuatu dengan angka atau nilai kuasa yang mengukur segala sesuatu dengan gelar atau lencana. Dua manusia asing bertemu sebagai cukup sesama manusia. Manusia, atau muslim yang menyenangkan ada dalam rasa saling percaya dan hasrat mengharapkan kebaikan satu sama lain.

Masjid itu dua macamnya/ Satu ruh, lainnya badan/ Satu di atas tanah berdiri/ Lainnya bersemayam di hati/ Tak boleh hilang salah satunya/ Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu/ Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu/ Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu.

Begitu Emha Ainun Nadjib menulis sajak Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Jumlah yang satu itu sudah tentu adalah ruh kasih sayang. Manusia melangkah ke masjid mewakili sebuah kerja penghambaan. Manusia sadar Tuhan ada di mana-mana, bahkan lebih dekat daripada urat nadi, tetapi manusia tetap berusaha hadir di masjid dengan pakaian paling bersih dan hati penuh kesadaran seolah-olah hanya di tempat sujud itu Tuhan menemui mereka dan menjamu dengan lebih khusus.

Misi politik hari ini sudah terlampau menjijikkan. Tapi, ada banyak orang tetap ingin berpolitik di masjid. Mereka merasa paling mengenal Tuhan, memahami ajaran Rasul, dan berjuang untuk agama. Tapi, semua mimbar orasi politik adalah arsenal kebohongan. Lebih buruk lagi, rupa kesalehan dengan bibir bertabur adu domba mendapat mimbar di masjid. Berpakaian putih dengan kain penutup kepala putih, tetapi ia tak pernah sadar bahwa hasrat mulutnya dituntun oleh nafsu. Entah nafsu merasa paling benar atau nafsu mengalahkan golongan lain, tapi teriakan-teriakan itu seringkali juga menutup nalar untuk menyampaikan sebuah informasi dengan masuk akal.

Masjid lalu menjadi lantai-lantai beku. Dindingnya sunyi berduka ditempeli buletin-buletin penuh ancaman. Pelantangnya ingin memuji kebesaran Tuhan serta mulianya akhlak Muhammad, tetapi dibelenggu oleh seruan membenci kelompok lain demi hasrat-hasrat picik yang tak ada hubungannya dengan Tuhan.

Masjid tetap tak memberontak. Tapi ia rindu manusia-manusia yang bergegas datang hanya untuk bersimpuh melantai. Ada seorang tua lugu yang jiwanya lapang untuk memberi rasa nyaman pada orang-orang asing. Masjid ingin menjadi rumah tempat para kekasih yang sebenar-benar kekasih mencari jalan pulang.

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads