Tentu saja istri saya kaget setengah mati mendengarnya. "Whoot?? Kamu bilang 'kowe' ke ortumu??"
Wajar saja dia kaget begitu. Saya juga memaklumi kekagetannya. Bagi orang luar, apa yang kami terapkan dalam komunikasi sehari-hari terdengar sangat kasar. "Pak, kowe lungo jam pira?" Pertanyaan kepada bapak saya tentang pukul berapa beliau akan pergi pun saya sampaikan dalam format bahasa yang sama persis dengan cara saya berbicara kepada teman sepermainan. Kasar sekali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang lebih mengejutkan saya sendiri, saya menyadari bahwa cara berkomunikasi seperti itu diterapkan pula oleh banyak keluarga lain di kampung saya. Tiba-tiba saya merasa, dalam soal tata krama berbahasa, kampung kami mirip Dukuh Paruk dalam novelnya Ahmad Tohari. Tak beradab jika dilihat dari kacamata orang luar, namun baik-baik saja bagi kami sendiri. Kesopanan dan sikap berbakti kepada orangtua jelas tetap menjadi satu nilai penting. Namun, nilai itu tidak dibebankan secara mutlak dalam manifestasi kehidupan berbahasa, melainkan lebih ke dalam soal-soal lainnya.
Karena kami sadar bahwa apa yang kami jalankan itu menyalahi teori umum tentang adab berbahasa menurut kalangan di luar kampung kami, tentu saja interaksi di luar tidak lantas koyak-moyak. Kami toh tidak ngotot bahwa cara kami itu benar untuk diterapkan di mana-mana. Buktinya, kepada mertua saya, saya pun selalu berbicara krama inggil dengan tingkat keterampilan dan kehalusan yang tak kalah-kalah amat dengan seorang raden mas. Lho ini beneran. Tanya saja ke Pak Mertua.
***
Maaf, harus saya potong sampai di sini. Saya takut dibilang terlalu banyak menceritakan kehidupan diri sendiri. Itu tingkah yang agak menjijikkan bagi seorang penulis hahaha. Tapi begini, Sodara. Yang ingin saya sampaikan adalah sebuah fakta kultural bahwa satu wilayah administratif tidak serta merta homogen secara budaya. Saya dan istri sama-sama asli Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak rumah orangtua kami cuma 15-20 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Namun, Anda bisa membaca dari cerita saya, bahkan dengan jarak geografis sedekat itu pun, ada konvensi tata krama yang sangat berbeda.
Jangan salah paham dulu. Nilai-nilai yang kami pegang tetap sama, yakni tata krama, sopan santun, dan sikap hormat kepada orangtua. Yang berbeda bukanlah nilainya, melainkan kesepakatan cara dalam menerapkan wujud dari nilai-nilai itu. Soal-soal seperti ini yang sering gagal dipahami, sehingga manifestasi nilai kerap dianggap sebagai nilai itu sendiri, sementara manifestasi nilai tersebut dikira bisa diterapkan secara general kepada semua orang yang memegang nilai yang sama.
Aduh, kalimat saya terlalu ruwet. Baik, kita langsung ambil contoh hangat saja kalau begitu. Ini tentang kasus mbak-mbak bercelana hot pants yang kemarin ikut lari maraton melintasi desa santri Mlangi, dan konon mendapatkan tindakan kekerasan karena dianggap melanggar aturan tata krama setempat itu.
Soal kekerasan jelas sekali tetap salah, jadi sisi itu tak perlu dibahas lagi. Tapi begini. Melihat kasus tersebut, banyak orang secara latah membela habis-habisan si Mbak Pelari. "Ini sikap intoleran kepada hak azasi dan selera dalam berpakaian!"; "Masak dibilang nggak sopan? Sopan santun itu konsep absurd yang tidak bisa diterapkan secara sama kepada semua orang to? Namanya saja pelari, pakai hot pants ya sopan-sopan saja!"; "Jogjaku sudah berhenti nyaman! Ini bukan Jogja yang kukenal! Jogja tidak lagi menghargai perbedaan!"
Hahaha, seru sekali memang cericit kawanan burung prenjak itu. Yang selalu paling saya sukai adalah bagian glorifikasi masa lalu atas Jogja, seolah Jogja pernah menjadi lembah Shangri La yang aman damai tata titi tentrem kertaraharja tanpa pernah memunculkan gesekan suatu apa. Ini produk dari salah kaprah pemahaman bahwa sebuah entitas administratif dianggap serta merta monolitik secara budaya.
Secara umum, Jogja bersama Solo memang menjadi pusat tradisi kebudayaan Jawa arus utama. Namun, jangan lupa bahwa selain Kraton dan para bangsawan beserta para abdi dalem, di Jogja juga ada kantor pusat Majelis Mujahidin Indonesia, markas pusat Laskar Jihad pada masanya, ada perseteruan fisik turun temurun antara kampung-kampung banteng melawan kampung-kampung bintang, ada tawuran anak-anak SMA dengan motif SARA hingga bergenerasi-generasi, dan sebagainya. Jogja sama sekali bukan entitas budaya yang tunggal.
Dengan pemahaman seperti itulah, kita tidak perlu ignorant sehingga menyangkal bahwa sebuah desa santri seperti Mlangi memiliki sistem kebudayaannya sendiri. Di mana salahnya?
Karena Mlangi punya bahasa kultural sendiri, otomatis mereka juga punya konvensi sendiri dalam menerapkan manifestasi atas nilai-nilai. Dalam hal ini, lagi-lagi nilai yang dimaksud adalah sopan santun. Seorang gadis manis yang bercelana sangat pendek akan dilihat sopan-sopan saja jika berlari di sepanjang Malioboro, atau keliling Alun-alun Kidul, atau menyusuri Lembah UGM. Ketiga tempat itu merupakan titik-titik rendezvous penting di Jogja. Tapi, jangan dikira bahwa ketiga lokasi tersebut merepresentasikan secara keseluruhan konvensi kultural Jogja. Sebab kalau mbak-mbak tersebut masuk ke jalan-jalan kecil di dalam kampung Kauman, misalnya, persepsinya akan lain. Apalagi di Mlangi.
Jadi, konvensi atas manifestasi nilai kesopanan itu memang khas kalau di Mlangi. Apa yang dianggap sopan di luar Mlangi, bisa dianggap tidak sopan di dalam Mlangi. Ini keniscayaan yang biasa saja jika kita memiliki cukup referensi budaya. Sama dengan ketika kita memasuki lingkungan komunitas-komunitas adat, semisal di Baduy Dalam atau Desa Tenganan di Bali.
Di kampung Baduy, Anda tidak boleh membawa radio. Di Tenganan, Anda tidak boleh membawa masuk kendaraan bermotor meski cuma didorong sekalipun. Apakah lantas Anda akan menggugat: "Apa-apaan ini? Di mana toleransinya? Ini radio properti-properti saya sendiri, ini motor milik-milik saya sendiri, barang legal, saya bawa ke ruang publik di jalanan kampung, dan kampung ini juga bagian dari wilayah hukum NKRI! Membawa barang legal di ruang publik adalah tindakan yang dilindungi hukum! Tegakkan keadilan!"
Anda mau begitu? Wuuu, bocah sarap hahaha. Hukum memang secara normatif berlaku bagi segenap rakyat Indonesia. Tapi, naif sekali kalau kita menganggap hukum sebagai satu-satunya instrumen yang menjawab setiap persoalan di masyarakat kita. Hukum modern itu cuma langkah terakhir untuk menyelesaikan konflik-konflik antarwarga negara. Jadi slogan "Indonesia adalah negara hukum" jangan lantas diterjemahkan sebagai penggunaan hukum untuk menyelesaikan setiap perkara. Kalau ada tetangga Anda menyetel dangdut koplo terlalu keras sementara istri Anda sedang sakit gigi, apa Anda mau melaporkannya ke polisi?
Di atas hukum ada etika, dan wujud penerapan etika sangat tergantung pada konstruksi sosial di masing-masing entitas budaya.
Karena itulah, jangan sampai kita rancu dalam membedakan antara "nilai" dan "manifestasi atas nilai". Baik Baduy Dalam, Tenganan, maupun Mlangi sama-sama memegang teguh nilai tata krama. Nah, nilai tata krama di Baduy Dalam dimanifestasikan dengan tidak membawa radio. Nilai tata krama di Tenganan dimanifestasikan dengan tidak membawa kendaraan bermotor. Nilai tata krama di Mlangi dimanifestasikan dengan tidak membuka aurat.
Sebagai nilai, semuanya sama, yakni tata krama, sopan santun, alias etika. Namun setiap komunitas memiliki tafsir masing-masing tentang bagaimana cara menerapkan nilai tersebut.
Maka, nalar yang paling kacau balau adalah membandingkan kasus mbak-mbak bercelana hot pants di Mlangi dengan dua adegan: foto seorang turis berbikini yang sedang memotret barisan warga pelaksana upacara adat di Bali, dan foto seorang perempuan bercadar yang berjalan di tengah masyarakat Eropa entah negara mana.
Foto dan meme-meme begituan beredar banyak di media sosial kemarin-kemarin ini. Bersamanya, disematkan caption yang menyatakan bahwa perempuan berbikini di depan masyarakat Bali tidak diintimidasi, dan perempuan bercadar di depan masyarakat Eropa tetap aman-aman saja. Sangat beda nasibnya dengan gadis malang bercelana hot pants di Mlangi.
Lho lho lho. Analogi macam apa itu? Para penyebar meme itu amburadul dalam mencerna persoalan. Mereka mengira problemnya adalah pakaian. Padahal sama sekali bukan. Problemnya adalah perwujudan atas nilai, Denmas! Di Mlangi, perwujudan atas nilai tersebut dijalankan dengan menutup tubuh. Di Bali beda lagi, karena menutup aurat ala orang Islam bukan merupakan tafsir masyarakat Bali dalam menerapkan nilai.
Nilai masyarakat Bali dan warga desa santri Mlangi sesungguhnya sama, namun konvensi mereka dalam perwujudan nilai itulah yang berbeda. Sehingga meski sama-sama ada orang membuka aurat di depan mereka, respons masyarakat lokal jelas saja juga berbeda.
Demikian pula di Eropa. Nilai kesopanan yang dipegang masyarakat Eropa tidak terkait pakaian. Seseorang menjadi tidak sopan dalam pandangan komunal bukan karena ia berpakaian berbeda, melainkan jika mereka bersikap rasis, melakukan penghinaan fisik, atau menghambat orang lain dalam berekspresi. Makanya, selama Anda menerapkan manifestasi atas nilai-nilai yang dipegang masyarakat Eropa tersebut, Anda mau pakai burqa mau pakai bikini mau sarungan ya monggo saja.
Begitulah kira-kira cara menalarnya. Nggak percaya ya sudah.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini