Dalam sidang pembacaan putusan, hakim menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan penjara kepada SN. Selain pidana penjara Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang sudah disetorkan ke negara. Selain itu hakim juga menjatuhkan vonis pencabutan hak politik selama 5 tahun sejak berakhirnya hukuman penjara.
Hakim menyatakan bahwa SN telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam proyek KTP-el. SN dianggap melanggar pasal 3 UU No.31/1999 sebagaimana diubah dalam UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hakim juga menganggap SN tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi karena telah dinilai memperkaya diri sendiri dengan meraup keuntungan sebesar 7,3 juta dollar AS dari total nilai proyek Rp 5,7 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu dengan kapasitas dan kedudukannya yang merupakan Ketua DPR, seharusnya menjadi pertimbangan hakim yang memberatkan. Apalagi ini merupakan kasus korupsi pertama dalam sejarah Indonesia yang melibatkan seorang Ketua DPR. Sehingga vonis yang dijatuhkan seharusnya lebih maksimal agar menimbulkan efek jera, dan menjadi preseden bagi pemberantasan korupsi.
Berdasarkan data Tren Vonis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester 1/2017, setidaknya ada 15 terdakwa korupsi yang divonis lebih tinggi dari tuntutan Jaksa. Sehingga bukan tidak mungkin bagi hakim Tipikor untuk dapat memvonis lebih tinggi dari tuntutan yang diberikan Jaksa.
Meskipun menimbulkan polemik, paling tidak putusan tersebut dianggap sebagian pihak kurang memuaskan. Dalam jajak pendapat diakun Twitter @sahabatICW pada 23 April misalnya, sebanyak 77 persen warga net justru mendukung SN layak dihukum berat penjara seumur hidup. Selain itu masih dari akun yang sama juga mengatakan 60 persen warga net kurang puas dengan putusan hakim.
Kendati pada akhirnya vonis terhadap SN telah dijatuhkan, ini bukanlah akhir dari kasus KTP-el. Perjalanan penuntasan perkara masih panjang. Terlebih dalam fakta persidangan terungkap sedikitnya 27 pihak yang diduga ikut menikmati keuntungan dari proyek. Alhasil KPK tidak boleh berhenti pada Setya Novanto saja, melainkan menjadikannya sebagai pintu masuk untuk terus membongkar keterlibatan aktor-aktor lain dalam perkara KTP-el.
Publik tentu masih ingat ketika sedikitnya ada 62 nama yang disebut terlibat skandal korupsi KTP-el yang termuat dalam dakwaan Irman dan Sugiarto. Hal itu tentu menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah bagi KPK untuk mengungkap dugaan keterlibatan sejumlah nama tersebut. Sehingga menjadi keharusan bagi KPK untun menyidik kembali dan menindaklanjuti informasi baik yang disampaikan SN maupun pihak lain dalam persidangan KTP-el.
Selain itu KPK juga harus menyidik kembali Setya Novanto atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), dan melanjutkan adanya dugaan keterlibatan korporasi. Komisi antirasuah bisa memulai dengan menelusuri kewajaran dari jumlah kekayaan SN yang dilaporkan dalam LHKPN. Karena tampaknya sangat tidak wajar bahkan kecil harta yang dilaporkan pada 2015 sebesar Rp 114 miliar bagi seorang SN.
Di samping itu urgensi menjerat SN dengan UU No.8/2010 tentang TPPU, karena patut diduga tercampur uang hasil korupsi KTP-el dengan kekayaan yang lain. Terlebih diketahui adanya sejumlah transaksi uang yang mengalir ke rekening Made Oka (mantan Bos Gunung Agung), dan keponakan SN, Irvanto Hendra Pambudi. Sehingga ada indikasi kuat transaksi uang berlapis-lapis yang bertujuan untuk menyamarkan uang atau aset hasil korupsi KTP-el.
Selain aktor individu dugaan keterlibatan koporasi dalam perkara KTP-el juga penting untuk ditelusuri lebih jauh oleh KPK. Apalagi sejumlah fakta persidangan juga mengungkap adanya dugaan korporasi baik sebagai perantara atau yang melakukan korupsi. Dengan adanya PERMA No.13/2016 tentang Tata Cara Pemidanaan Korporasi semakin mempermudah KPK untuk menjerat korporasi.
Hal ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara dan menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Karena jika dilihat pidana denda dan uang pengganti yang dibebankan kepada SN hanya sekitar 22 persen dari total kerugian negara Rp 2,3 triliun, dan jika ditotal belum sampai Rp 800 miliar kerugian negara yang dikembalikan.
Atas putusan Pengadilan Tipikor Jakarta SN kemudian menyatakan pikir-pikir, begitu juga dengan Jaksa KPK. Seandainya setelah 7 hari setelah vonis ada upaya banding, maka Hakim di pengadilan tinggi sebaiknya dapat mempertimbangkan dampak kerugian publik dalam memutuskan vonis SN berikutnya. Sebab korupsi KTP-el tidak hanya merugikan negara secara materiil namun juga merusak dan mengabaikan hak-hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik.
Tibiko Zabar P anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini