Baru-baru ini, para anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019 ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 38 orang. Korupsi diduga dilakukan secara berjemaah. Para anggota dewan itu terjerat kasus dugaan suap berupa hadiah atau janji dari mantan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Tak pelak, uang rakyat miliaran rupiah jadi bancakan. Per orang menerima bagian lumayan besar, Rp 300 juta hingga 350 juta.
Korupsi berjemaah yang melibatkan anggota DPRD tak hanya terjadi di Sumatera Utara. Pada 21 Maret 2018, KPK juga menetapkan 19 tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Penetapan 19 tersangka tersebut merupakan pengembangan dari dua tersangka sebelumnya, yaitu Pimpinan DPRD Moch Arief Wicaksono dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono.
Jika ditarik lebih jauh ke belakang, kasus korupsi berjemaah sejatinya tak hanya kali ini saja terjadi. Kasus Hambalang, kasus cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur BI, dan skandal proyek e-KTP juga bikin penjara penuh dengan tersangka korupsi, yang di dalamnya tak sedikit anggota legislatifnya. Di awal tahun 2000 juga ada kasus Kavling Gate di Jawa Barat yang nyaris melibatkan semua anggota DPRD Jabar kala itu. Dalam kasus e-KTP misalnya, disebutkan bahwa korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun ini menyeret sejumlah nama, dari legislatif, eksekutif hingga pihak swasta.
Persoalan semacam ini tidak saja terkait urusan legislatif, tapi jauh lebih luas daripada itu, yakni soal kualitas demokrasi kita yang memang buruk. Misalnya, pada 2009 lalu, William Case (saat ini sebagai Profesor Politik di Hong Kong University) , pernah memberi label demokrasi kualitas rendah atau low quality democracy kepada Indonesia, meskipun waktu itu Freedom House memberi Indonesia skor baik sebagai negara dengan kategori "free".
Menurut Case, meskipun Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menyandang predikat free berdasarkan penilaian Freedom House, tapi hal itu tidak serta merta berkorelasi positif dengan kualitas demokrasi pada tataran operasional. Secara faktual, demokrasi Indonesia baru sebatas demokrasi dengan tingkat kualitas rendah (low quality democracy), demikian kesimpulan William Case waktu itu.
Mengapa? Karena, masih menurut Case, legislator dan pemimpin partai politik, meski telah terpilih melalui proses demokrasi elektoral yang relatif jujur, adil, dan kompetitif, namun tidak menghasilkan output yang suportif untuk perbaikan kehidupan publik. Mereka justru sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta mengedepankan koalisi-koalisi yang mengkompromikan kepentingan masing-masing kelompok.
Parahnya lagi, tulis Wiliam Case, para wakil-wakil terpilih tersebut bukan saja mengesampingkan public good, tapi juga lebih banyak mengakomodasi kepentingan petinggi-petinggi birokrasi dan kelompok-kelompok pengusaha untuk konsesi-konsesi yang menguntungkan pribadi atau partai. Di sinilah titik penyelewengan bermula. Legisltor bukan lagi sebagai pejuang kepentingan pemilihnya, tapi menjadi para pencari benefit personal dan kepartaian, yang justru acapkali sangat jauh dari aspirasi konstituen (William Case, The Pacific Review, Vol.22 No.3 July 2009).
Ada yang menduga bahwa kongkalikong antara kepala daerah dan anggota dewan, misalnya, terjadi karena aturan dalam pembahasan di dewan yang dianggap terlalu kompleks. Aturan pemda mengatakan, kalau pembahasan anggaran tertunda, yang kena hukuman kemudian adalah aparat pemerintah daerah. Nah, hal tersebut membuat pihak pemda berpikir bahwa daripada berdebat tentang substansi anggaran terlalu lama, lebih baik dibayar saja anggota DPRD-nya, supaya mereka tidak mempersoalkan pembahasan anggaran.
Pada tataran yang spesifik, terkadang aturan tersebut menjadi celah bagi pemerintah di daerah yang tidak ingin terkena sanksi dengan memberi pelicin bagi dewan. Ibaratnya, daripada kena denda, lebih baik menyawer anggota DPRD supaya jauh lebih mudah pembahasan anggaran.
Bila kita tarik lebih jauh ke belakang, celah untuk melakukan korupsi politik secara masif, baik lokal maupun nasional, memang telah tersedia secara matang. Katakan saja dalam ranah pemilihan di Indonesia, untuk maju dan berkompetisi, tak sedikit calon legislatif yang menggandeng sponsor, yakni pihak ketiga yang ikut membiayai kontestasi kandidat. Mereka rata-rata pengusaha alias dari kalangan bisnis atau patron politik sang kandidat yang level modalnya jauh di atasnya.
Lantas mengapa tendensinya negatif? Padahal di negara demokrasi maju, penggalangan dana adalah hal yang biasa. Karena di Indonesia, sponsor tidak memberi secara cuma-cuma alias no free lunch seperti sponsor konser dangdut atau acara kebudayaan. Sponsor dalam konteks Indonesia lebih cenderung bergerak dalam logika "berbisnis dalam politik". Sekian jumlah modal yang dikeluarkan, maka sekian kali lipat jumlah keuntungan yang harus dibayar sebagai feedback-nya di kemudian hari.
Dan, biasanya pembayarannya tampil dalam rupa-rupa proyek pemerintah, pemunculan pasal-pasal dalam perundangan atau perda yang menguntungkan pihak sponsor, dan lain-lain. Kondisi paling mungkin adalah dengan tender-tender yang pemenangnya sudah diatur sedemikian rupa, yakni berasal dari pihak sponsor atau salah satu dari jaringan pihak sponsor. Lantas di mana salahnya? Salahnya tentu bukan pada tendernya, toh semua pengusaha boleh ikut tender selama memenuhi kualifikasi. Tapi, apakah semua pengusaha punya "chance" untuk menang dan mendapatkan proyek? Nah, karena prakondisi ekonomi politik di atas tadi, jawabannya rata-rata tidak.
Pada tender-tender yang dilangsungkan di bawah mekanisme "bersponsor" rata-rata pemenangnya sudah diatur dan ditentukan untuk menang jauh hari sebelum tender itu dimulai. Bahkan tak menutup kemungkinan, proyek tersebut justru diusulkan oleh pihak sponsor alias memang dikhususkan untuk dikerjakan oleh sponsor setelah kandidatnya menang.
Bagi rakyat pemilih di daerah, syukur-syukur jika proyek yang dimunculkan berkenaan langsung dengan kesejahteraan mereka. Jika tidak, maka tidak pula bisa diganggu-gugat, selama secara hukum memang tak bermasalah. Jika ternyata ada kaitannya, rakyat pemilih pun harus bersiap (baca: ikhlas) bahwa kapasitas proyek pada akhirnya hanya tersisa sebagian saja. Karena dana proyek rata-rata sebagian harus dipakai untuk biaya-biaya politik pemulus pemenangan tender, dikurangi net profit untuk pihak yang dapat tender. Begitulah kira-kira cara kerjanya.
Jadi sekalipun kita berbicara demokrasi adalah sistem yang berbasiskan kedaulatan rakyat, di mana para wakil rakyat mulai dari pusat sampai ke daerah menyatakan dirinya sebagai penyambung aspirasi pemilih, rasanya cukup sulit juga kita untuk menemukan pada bagian mana rakyat mendapatkan porsi kedaulatannya dalam pemilihan elektoral atau pemilihan sejenis, selain beberapa jari yang dipakai di bilik suara. Karena level dekadensi demokrasi sudah sangat sistemik, bercampur dengan ketahanan moral para kandidat yang sangat rapuh, sehingga berujung pada kualitas demokrasi yang sangat mengecewakan.
Delly Ferdian peneliti Economic Action Indonesia/EconAct
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT