Halal-Haram Berpolitik di Masjid
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Halal-Haram Berpolitik di Masjid

Senin, 07 Mei 2018 11:07 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Ada cukup banyak pernyataan yang menghendaki agar masjid tidak dipakai untuk kegiatan politik. Masjid, katanya, adalah tempat suci yang tidak patut bila dipakai untuk kegiatan politik. Asumsinya, masjid itu suci, politik itu kotor. Melakukan kegiatan politik di masjid artinya mengotori masjid.

Tapi, berpolitik itu apa? Ini hal yang sangat sulit untuk didefinisikan secara pasti, karena batasannya sangat variatif. Padahal tanpa definisi yang tegas soal apa itu berpolitik, pernyataan menolak pemakaian masjid sebagai tempat berpolitik bisa jadi merugikan pihak oposisi.

Ketika seorang presiden atau gubernur petahana berkunjung lalu salat di masjid, bisakah kita memastikan ia sedang menjalankan aktivitas ibadah yang suci, atau sedang berpolitik? Tidak bisa. Selama sebuah kegiatan atau tindakan politikus dilihat oleh orang lain, khususnya dalam jumlah besar, maka tindakan itu punya akibat politik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah seorang politikus pergi ke masjid itu untuk beribadah atau untuk berpolitik, itu hanya diketahui oleh si politikus sendiri. Karena itu, menghendaki agar masjid tidak dipakai untuk kegiatan politik sama halnya dengan melarang politikus pergi ke masjid.

Di atas saya sebut bahwa hal itu bisa merugikan oposisi. Kenapa? Bagi petahana pergi ke masjid itu bisa merupakan bagian dari pelaksanaan tugasnya. Ia harus menyapa rakyat, berkomunikasi dengan mereka, bahkan menyalurkan anggaran. Semua itu punya dua sisi, yang salah satunya adalah sisi politik. Artinya, petahana secara otomatis menikmati keistimewaan, boleh memakai masjid untuk politik. Larangan memakai masjid untuk politik terasa efeknya bagi oposisi yang tidak punya keistimewaan itu.

Kalau yang dimaksud adalah agar masjid tidak dipakai untuk berpolitik dengan gaya "hard selling" seperti ajakan "pilihlah saya" atau "ganti presiden", bagi saya itu hanya soal kadar. Baik halus maupun kasar secara substansi pesan politik itu sama. Seorang politikus pergi ke masjid, membangun citra saleh dan berpihak pada umat, secara substansi sama dengan ketika ia pergi ke masjid lalu berkata "pilihlah saya". Yang berbeda cuma kadanya. Kalau dianalogikan, yang halus tadi ibarat bir dan wiski. Kadar alkoholnya berbeda, tapi secara substansi keduanya adalah minuman keras.

Terus terang permintaan untuk tidak berpolitik itu terdengar naif. Sama naifnya dengan permintaan agar tidak memakai agama sebagai alat politik. Di mana, dan di zaman apa itu tidak terjadi? Agama itu ibarat api dalam kegiatan pembukaan lahan di musim kemarau. Ia sangat praktis. Dengan sekali sulut, lahan dengan semak belukar dan hutan bisa dibersihkan dalam waktu sekejap. Cepat, hemat tenaga, dan tentu saja murah. Tidak ada politikus yang tidak tergoda untuk memakainya.

Apakah di negara maju hal itu terjadi? Itu terjadi juga di negara maju. Kalau di Indonesia Jokowi itu difitnah sebagai Kristen, di Amerika Obama dulu difitnah sebagai muslim. Baik di Indonesia maupun di Amerika, juga di berbagai tempat, agama memang diperalat untuk berbagai kepentingan politik.

Itu pun bukan fenomena dunia modern. Agama untuk politik usianya hampir sama dengan usia agama itu sendiri. Tak lama setelah Nabi Muhammad wafat, terjadi pertemuan di Saqifah Bani Saidah di Madinah, untuk menentukan siapa yang akan jadi pemimpin sepeninggal Nabi. Versi halusnya, itu adalah majelis syura untuk memilih pemimpin. Tapi kalau kita lebih jujur melihat sejarah, sulit untuk tidak menyebutnya sebagai peristiwa politik.

Pertemuan itu tadinya hanya dihadiri oleh orang-orang asli Madinah, tidak mengundang pendatang dari Mekkah. Abu Bakar dan Umar bergabung saat pertemuan itu sudah berlangsung. Di situ orang-orang berdalil soal siapa yang lebih berhak menjadi pemimpin. Tentu saja nama Tuhan dan Nabi dipakai dalam berdalil itu. Itu adalah aktivitas politik yang memakai agama.

Periode berikutnya bahkan lebih parah. Ali dan Muawiyah, masing-masing membawa ribuan tentara, berperang. Tentu saja kedua pihak sama-sama punya klaim kebenaran, lagi-lagi dengan dalil masing-masing. Itu terus berlangsung turun temurun. Pada generasi berikutnya, Yazid anak Muawiyah berperang melawan putra-putra Ali, Hasan dan Husen. Kemudian di masa berikutnya dinasti yang dibangun Muawiyah tumbang, dihancurkan oleh anak cucu Abbas, yang mengklaim sebagai pewaris hak Ali atas kekuasaan.

Kalau Anda belajar ilmu hadis, Anda akan tahu soal hadis palsu. Salah satu sumber hadis palsu adalah politik. Orang-orang memalsukan hadis dengan isi yang memuliakan kelompok sendiri, juga merendahkan kelompok lawan. Ini persis seperti hoax yang sekarang dikarang orang, lalu disebar di media sosial. Edannya, hoax itu tentang perkataan Nabi.

Kita bisa mengatakan, politik bisa sekotor itu. Bahkan Nabi yang suci pun dipakai orang untuk berpolitik. Tapi itu sekaligus menjadi dalil sejarah, bahwa agama dan politik memang mustahil dipisahkan. Dari sudut pandang lain, para politikus itu bahkan tidak menganggap diri mereka sedang berpolitik. Mereka merasa sedang beribadah. Dengan kata lain, politik adalah agama mereka.

Jadi, bolehkan menjadikan masjid sebagai tempat untuk berpolitik? Itu adalah pertanyaan naif. Memangnya ada yang tidak boleh dalam politik?

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads