Dibilang fantastis, karena negeri ini punya 357 bioskop dengan jumlah layar 1.615. Artinya, sekitar 75 persen bioskop Tanah Air hanya memutar satu film. Di hari berikutnya jumlah layar malah ditambah seratus. Di hari ketiga tiket Infinity Wars sudah terjual hingga 1,5 juta di Indonesia. Tampaknya, film ini bakal dengan mudah jadi film Hollywood terlaris sepanjang masa di Indonesia, menumbangkan Fast and Furious 8 (2017) yang mengumpulkan 19 juta penonton.
Hal tersebut bukan hanya fenomena di Indonesia. Di negara-negara Asia lain yang lebih dulu menayangkannya daripada AS (27/4) aksi anyar Avengers juga mencatat rekor penonton. Di wilayah Amerika Utara (AS dan Kanada) sendiri, di akhir pekan pertama Avengers: Infinity Wars mengumpulkan USD 245 juta lebih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski sejak dulu film superhero dipercaya bisa mendatangkan box office, kebanyakan penontonnya anak-anak, orangtua yang terpaksa menonton menemani anak mereka, serta mereka yang disebut "geek" dan "nerd". Maka, ketika film superhero jadi tontonan semua umat, banyak yang menganggap ini pertanda kemenangan kaum geek.
Seperti ditengarai Noam Cohen di koran New York Times edisi 13 September 2014, kita semua jadi "nerd" sekarang. Ia menulis, "Belum pernah terjadi batasan antara kultur geek dan kultur mainstream begitu bercampur." Pada 2014 itu, produk-produk Apple menguasai pasar. Orang banyak nonton serial The Big Bang Theory dan Silicon Valley, Guardians of the Galaxy dan Captain America: The Winter Soldier yang diangkat dari komik jadi film paling banyak ditonton, atau Game of Thrones begitu disuka.
Cohen menyimpulkan, hal-hal yang dulu hanya merupakan obsesi para kutu buku atau mereka yang dianggap bocah aneh seperti komik, gadget, dan dongeng fantasi berisi naga, mendadak jadi kegemaran semua orang.
Definisi Geek dan Nerd
Tapi, apakah geek? Apakah nerd? Apa beda geek dengan nerd?
Nerd sering diterjemahkan sebagai kutu buku. Di film maupun tayangan TV, kutu buku digambarkan stereotip berkacamata, selalu baca, atau menenteng buku, mengenakan pakaian rapi kemeja yang dikancing hingga leher, dan berjalan menunduk menghindari bertatapan langsung dengan orang-orang untuk pertanda ia pribadi yang kikuk dan asosial.
Geek tak jauh beda. Sama-sama tak punya banyak teman di lingkungan sosialnya. Geek biasanya digambarkan sebagai bocah gendut, berkaus kekecilan, hobinya nonton TV, main game, mengoleksi action figure superhero/anime favorit, dan baca komik/manga.
Di kamus Oxford English Dictionary, geek didefenisikan sebagai seseorang yang "tak fashionable dan tak cakap secara sosial." Kamus itu juga mengidentifikasi geek sebagai orang yang punya antusiasme dan pengetahuan obsesif, misalnya geek komputer (computer geeks). Dalam cerpen Robert Heinlein berjudul The Year of the Jackpot (1952) kata "geek" digunakan untuk menggambarkan orang yang gemar sains, matematika, dan perkembangan teknologi.
Sedangkan nerd digambarkan dalam kamus sebagai "orang yang terlihat culun yang tak punya kemampuan bersosialisasi atau orang yang tampangnya membosankan." Tapi nerd juga digambarkan "seorang ahli di bidang teknis tertentu", misalnya, "seorang computer nerd." Belakangan, memang istilah nerd lebih condong pada kutu buku dan sikap kikuk.
Ditilik ke belakang, perjumpaan Hollywood dengan nerd dan geek bisa dilihat ke era 1970-an. Jelang dekade itu Hollywood merilis Star Wars (1977) bikinan George Lucas. Star Wars merajai box office sekaligus titik awal apa yang disebut merchandising. Sebuah film tak hanya bisa menjual tiket bioskop, tapi juga barang ikutannya: novel, komik, poster, mainan, boneka action figure, tas, mug, dan macam-macam lagi. Saat itulah lahir generasi baru kaum geek; mereka yang cinta mati pada Star Wars.
Namun Hollywood lantas mengkhianati kaum geek dan nerd. Mereka jadi bahan olok-olok. Citra stereotip geek dan nerd tak lain lahir dari Hollywood pula. Era 1980-an, tak sampai sepuluh tahun sejak Star Wars rilis, Hollywood membuat Revenge of the Nerds (1984), film komedi yang bercerita tentang kaum nerd di sebuah kampus membalas dendam pada rekan mahasiswa mereka yang digambarkan kekar, tampan, seksi. Meski diniatkan memberi suara kaum tertindas, film karya Jeff Kanew itu menggambarkan nerd dengan stereotip merendahkan. Alih-alih melahirkan empati, penonton awam tetap menganggap nerd orang aneh dan bahan tertawaan.
Kala Geek Jadi Mainstream
Masa-masa kelam itu telah usai. Kaum nerd dan geek kini menguasai jagat budaya pop mainstream. Selera mereka yang menentukan. Film superhero masa kini mula-mula dibuat untuk memuaskan fans setianya, yakni para geek, baru kemudian orang awam. Mengutip aktor Wil Wheaton, seorang geek, di artikelnya Cohen menulis, "Menjadi mainstream bukan kata yang tepat; yang mainstream mengikuti (para geek)."
Film superhero Marvel contoh tepat bagaimana kepentingan kaum geek didahulukan. Seperti diungkap Bloomberg Businessweek pertengahan April 2014, konten film superhero Marvel ditentukan komite kreatif beranggotakan enam orang yang sangat menguasai komik. Ketuanya adalah Kevin Feige, Presiden Marvel Studios. Feige, misalnya, berkeras latar film Captain America pertama, The First Avenger (2011) era 1940-an, menampik kekhawatiran bahwa hal itu akan membuat penonton muda tak tertarik. Feige berargumen, film pertama seharusnya berlatar masa lalu supaya penonton memahami dislokasi psikis yang dialami Kapten Amerika 70 tahun kemudian di The Winter Soldier (2014).
Film superhero Marvel punya prinsip dasar: prioritaskan kepuasan pembaca komiknya. "Harus benar-benar mulai dengan para loyalis," kata Joe Quesada, Pimpinan Divisi Kreatif Marvel. "Jika para loyalis menolak, kami merasa semua juga akan menolaknya."
Loyalis itu tak lain tak bukan kaum geek. Pertanyaannya kemudian, kenapa omongan geek kini didengar?
Sebagai loyalis, geek bisa jadi ujung tombak promosi film. Karena kini jumlah mereka banyak, dan tidak malu-malu lagi menunjukkan ke-geek-an mereka. Mereka bakal habis-habisan mempromosikan sesuatu yang mereka sukai. Pemilik film tak perlu sepeser pun membayar mereka. Efek getok tular yang diharapkan dari kaum geek. Pun bila filmnya dianggap buruk oleh kritikus dan penonton awam. Hal ini misalnya menimpa film superhero DC Comics, saingan utama Marvel. Kritikus yang menulis ulasan buruk atas Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) di-bully kaum geek loyalis fans DC Comics.
Kapitalisme Mutakhir
Di sini kita bertemu indikasi kaum geek sebenarnya tengah diperalat kapitalisme mutakhir. Produk budaya pop Hollywood yang kian "ramah-geek" tak ubahnya --meminjam istilah pengamat media Ignatius Haryanto di buku Aku Selebriti Maka Aku Penting (2006)-- Leviathan yang menghibur. Dalam Injil, Leviathan adalah monster laut raksasa yang menyeramkan. Istilah ini dipakai Thomas Hobbes (1588-1679) beratus tahun lalu untuk menunjuk pengaruh negara yang demikian besar. Namun, di zaman kapitalisme global, penjajahan tak dilakukan oleh negara alias "hard power" melainkan lewat industri hiburan alias "soft power".
Ekspansi kapital yang menjadi ciri utama perkembangan kapitalisme global, terasa tidak "mengisap" atau "menjajah" karena ia hadir tidak dengan wajah yang keras, tetapi dengan wajah yang menghibur, membuat kita tertawa, kagum, mengidolakan, dan berbagai pencitraan positif lainnya.
Di sini, mengutip Haryanto, yang menjadi keutamaan bukanlah kekuasaan negara maupun modal, tetapi secara spesifik bagaimana kekuasaan industri hiburan yang bisa menjadi tambang uang dan bisa digali oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Dampaknya adalah hal-hal sepele yang menjadi suatu yang seolah-olah penting betul.
Dalam sebuah wawancara radio, sutradara Simon Pegg (Hot Fuzz, Star Trek Beyond, Ready Player One) mengatakan, "Budaya nerd adalah produk konspirasi kapitalisme mutakhir, didesain untuk meninabobokkan konsumen." Ia lalu menjelaskan lebih jauh di blog-nya (2015). Perkembangan budaya pop anyar ini, katanya, telah diramalkan filsuf Prancis Jean Baudrillard di buku America yang membahas "infantilisasi masyarakat". Kita dibuat terpikat pada hal-hal yang menjadi kesukaan ketika kecil. Tujuannya agar kita abai pada hal-hal yang seharusnya jadi perhatian seperti ketidakadilan, korupsi, kesenjangan ekonomi, dan lain-lain.
Di saat menemukan kenyataan hidup yang keras dan pahit, paling enak memang bernostalgia dengan kenangan indah waktu kecil. Waktu ketika kita menghibur diri dengan mainan, buku komik, atau game.
Bukan tanpa alasan film yang melahirkan generasi nerd dan geek adalah Star Wars. Sebelum Star Wars, film-film Hollywood sangat serius, menggambarkan kenyataan yang tak hitam-putih, ambigu, serta mempertanyakan moralitas. Konon itu lahir sebagai reaksi kondisi sosial AS pada 1970-an kala mereka menemukan kenyataan perang di Vietnam, dan politisi berlaku koruptif di skandal Watergate. Masa itu lahir Dirty Harry, A Clockwork Orange, The French Connection, Taxi Driver, The Godfather, Carrie hingga All the President's Men.
Star Wars, di sisi yang lain, punya cerita sederhana tentang peperangan kekuatan jahat versus kekuatan baik. Latarnya dunia khayali galaksi nun jauh di sana, semacam versi lain cerita dongeng-sesuatu yang akrab dengan anak-anak. Di Star Wars siapa yang baik (Putri Leia, Luke Skywalker, Han Solo) dan jahat (Darth Vader) jelas. Pada akhirnya film itu digemari karena secara psikologis membuat penontonnya nyaman. Mengajak bertamasya ke dunia antah-berantah yang telah diakrabi sejak dulu. Bukan ditambah stres dengan tontonan yang menggambarkan keruwetan hidup.
Tulis Pegg lagi, "Itu sebabnya mungkin di Twitter lebih banyak orang membicarakan Star Wars: The Force Awakens dan trailer Batman v Superman ketimbang gempa di Nepal dan pemilu Inggris." Sepakat. Itu pula mungkin sebabnya bioskop kita ramai seperti pasar, berjubel orang cuma untuk nonton satu film. Bukan, bukan film The Secret: Suster Ngesot Urban Legend yang dibikin Raffi Ahmad. Tapi, Avengers: Infinity Wars yang disuka geek, nerd, dan orang kebanyakan.
Ade Irwansyah seorang nerd yang juga wartawan, menulis buku Seandainya Saya Kritikus Film (2009)
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini