Pasca-Kebenaran

Kolom

Pasca-Kebenaran

Y. D. Anugrahbayu - detikNews
Jumat, 27 Apr 2018 14:07 WIB
Y. D. Anugrahbayu (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Pada 2016 lalu, Kamus Oxford memilih "post-truth" (pasca-kebenaran) sebagai word of the year. Saya terjemahkan definisi yang tertera di sana: "Keadaan-keadaan (circumstances) di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada tarikan emosi (appeal to emotion) dan keyakinan pribadi."

Steve Tesich, seorang penulis Amerika-Serbia, kerap disebut sebagai orang pertama yang menggunakan kata post-truth. Ia menulisnya dalam sebuah artikel surat kabar The Nation pada 1992. Mengomentari Watergate dan berbagai skandal lain, Tesich melukiskan sebuah ironi: "Semua diktator sampai sekarang berupaya memberangus kebenaran. [...] Secara fundamental, kita sebagai orang-orang bebas, telah secara bebas memutuskan bahwa kita mau hidup dalam semacam dunia pasca-kebenaran."

Tak jelas dari mana datangnya pasca-kebenaran. Kamus Oxford dan Tesich sekadar menggambarkan, bukan melahirkannya. Begitu pula terpilihnya Donald Trump dan Brexit --dua peristiwa yang kerap dianggap simbol pasca-kebenaran par excellence-- lebih merupakan akibat daripada penyebab pasca-kebenaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak jelas pula apa yang dimaksud dengan 'pasca' (post) dalam kata 'pasca-kebenaran': 'sesudah' kebenaran? Apa artinya? Suatu keadaan di mana 'kebenaran' tak lagi bernilai atau berpengaruh? Suatu kemunduran dari cita-cita AufklΓ€rung (Pencerahan)?

Apapun itu, pasca-kebenaran ada di sana. Banyak yang meratap, tetapi mungkin lebih banyak yang merayakannya. Seberapa pun kerasnya kutukan terhadapnya, pasca-kebenaran sedikit banyak menjawab kebutuhan dasar jiwa manusia, yang dengan jeli ditangkap oleh Friedrich Nietzsche, kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud dalam ajarannya tentang self-defense mechanism: kebutuhan untuk merasa benar. Atau, dirumuskan secara lain: kehendak tak mau salah.

Kalau sungguh kita hidup di Era Pasca-Kebenaran, kebutuhan itu tak sukar dipenuhi. Kita hanya perlu menyukai atau membenci. Sesuatu bisa benar hanya karena disukai, atau sebaliknya, salah hanya karena dibenci. Pasca-kebenaran, pada akhirnya, tak berasal dari mana pun kecuali diri manusia sendiri: diri yang selalu mau merasa benar, diri yang tak mau salah.

Itulah mengapa pasca-kebenaran kerap terjalin dengan identitas. Layaknya sebuah rumah, identitas adalah suatu naungan. Di dalamnya kita aman, nyaman, diterima, 'dibenarkan'. Tentu, sekali waktu orang perlu keluar: bekerja atau sekadar jalan-jalan. Tetapi rumah tak pernah ditinggalkan selamanya. Keberadaannya membuat kata 'pulang' selalu bermakna.

Tak heran bila politik identitas sering mengulang narasi bernuansa 'pulang' atau 'kembali'. Suatu kejayaan masa lalu seakan-akan meredup, dan hendak dipancarkan lagi. Contoh paling kontemporer: Make America great again!

Meneguhkan identitas, membenarkan diri, menyingkirkan segala sesuatu yang membangkitkan rasa salah atau tak aman. Berbagai berita bohong kerap mengeksploitasi kebutuhan itu.

Salah satu yang barangkali paling parah --kendati jarang kita dengar di Indonesia-- adalah maraknya pengingkaran terhadap Holocaust, seiring dengan meningkatnya anti-semitisme. Matthew d'Ancona, seorang jurnalis senior, mencatat bahwa selama satu bulan saja pada 2017, ada 48 ancaman bom ditujukan kepada pusat-pusat komunitas Yahudi di Amerika. Sejak Agustus 2015 sampai Juli 2016, teridentifikasi 2,6 juta cuitan (tweet) bernada kebencian kepada orang Yahudi. Di Jerman, insiden bernuansa anti-semit meningkat sejak 2015-2016.

Yang tak kalah mengerikan adalah banyaknya artikel-artikel yang menyangkal Holocaust. Kalau kita buka mesin pencarian Google, dengan mudah kita temukan artikel-artikel seperti Holocaust Against Jews is a Total Lie-Proof; Is the Holocaust Hoax?; Was there really a Holocaust?; atau, Jewish Scholar Refutes the Holocaust. "Algoritma, dalam bentuk yang sekarang," tulis Matthew d'Ancona, "Tak peduli dengan kebenaran." (d'Ancona, 2017: 77)

Entah, apakah suatu peradaban yang sanggup mengingkari tragedi sebesar Holocaust --untuk tak menyebut genosida-genosida lain-- masih pantas disebut 'peradaban' (civilization). Kita, Homo sapiens, tak hanya punya kemampuan melakukan kejahatan luar biasa. Kita juga sanggup mengingkarinya. Dan akhirnya: membanggakannya.

Kita ingat bagaimana Hannah Arendt menggambarkan sosok Adolf Eichmann dalam Eichmann in Jerusalem. Seorang yang dari kantornya mengirim sejumlah anak, perempuan, dan laki-laki ke kamar gas, pulang tanpa merasa ada sesuatu yang tak beres, lantas mencium anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Eichmann, sekurang-kurangnya di mata Arendt, bukan sosok yang keji, penuh benci, atau harus darah seperti disangka orang. Ia sangat normal --terlalu normal. "Saya hanya menjalankan perintah," katanya berkali-kali di pengadilan.

Sapere-sapientia --darinya berasal kata sifat sapiens dalam Homo sapiens-- diam-diam menyimpan keculasan. Keculasan yang dikemas dengan rapi, rasional, bahkan memikat. Kadang-kadang: saleh.

Pada tahun yang sama ketika Kamus Oxford memilih post-truth sebagai word of the year, seorang filsuf, novelis, dan jurnalis wafat: Umberto Eco. Tiga tahun sebelumnya, ia sempat memberi sebuah ceramah di Athena. Salah satu kalimatnya: "Fakta, kalau hal itu jarang memberi tahu saya bahwa saya benar, lebih sering memberi tahu saya bahwa saya salah."

Koreksi-diri: sebuah kemampuan yang tak dimiliki oleh kaum fanatik mana pun. Terlebih di tahun politik.

Y. D. Anugrahbayu peminat filsafat

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads