Tuhan dalam Keseharian Tauhid Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tuhan dalam Keseharian Tauhid Kita

Jumat, 27 Apr 2018 11:36 WIB
Candra Malik
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Candra Malik (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Tentu, kisah seorang laki-laki tua yang seumur hidup menyembah patung tidak selalu menarik untuk diceritakan ulang. Namun, persaudaraan saya dengan Bli Soelung Lodhaya, pemimpin organisasi masyarakat Rwa Bhineda di Denpasar, membuka perenungan lebih mendalam tentang siapa sesungguhnya Tuhan dan bagaimana Allah meletakkan keimanan atas-Nya di sekujur jasmani rohani kita. Seperti ketika berlindung dari terik dan hujan di bawah atap rumah, kita tidak sedang menggadaikan keimanan, kan?

Ya, rumah itulah yang melindungi kita, tapi rumah itu bukan Sang Pelindung. Ia menjalankan fungsinya melindungi tapi tak akan pernah menjadi selain dirinya sendiri. Rumah, sebagus dan sekuat apa pun ia, akan merapuh dan pada akhirnya roboh. Ia melindungi seluruh penghuni, namun ia bahkan tak kuasa melindungi dirinya sendiri. Dari Soelung, dan teman-teman lainnya di Bali, saya belajar, kehadiran kitalah yang lebih penting dari segala simbol kehadiran Tuhan. Kehadiran kita tak tergantikan.

Terutama ketika menghadap pada-Nya dalam ibadah fardhu 'ain, kehadiran kita tidak terwakili, pun tak terwakilkan. Kita sendiri yang wajib datang, bahkan tidak sekadar datang karena memang bukan hanya jasmaniah, namun wajib disempurnakan pula dengan kehadiran rohaniah. Di dalam ritual, kita menyulut pelita hati untuk menghadirkan suasana batin tertentu demi menyalakan bara api spiritualitas. Ada kalanya, kita tak butuh banyak peletup iman, namun ada pula yang memerlukan stimulan lebih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya juga berkawan baik dengan Rino Casmir, seorang rocker yang saya kenal dari guru saya dalam bermusik, Doddy Katamsi. Ia memberi perhatian sangat baik pada bagaimana merawat iman. Rino bertanya, "Bolehkah menerima air dengan bunga tujuh rupa? Ustaz telah berdoa dengan air itu." Rino tentu tidak sedang berpretensi untuk meragukan kekuatan doa. Ia berikhtiar untuk tetap jernih berpikir, setidaknya demi mencari keterkaitan antara doa dan bunga tujuh rupa. Ia tak mempersoalkan medium air.

Air, bunga tujuh rupa, bahkan doa tidak bebas nilai. Setiap hal memiliki riwayat pada mulanya, makna di dalamnya, dan hikmah pada akhirnya. Saya menjawab Rino dengan ringkas, "Jika bunga, atau apa pun itu membuat kita berpaling dari Allah, berharap kepada selain-Nya, tidak boleh. Itu pertanda syirik." Lebih dari itu, ketika kita lebih percaya pada doa, melampaui keyakinan pada Allah Azza wa Jalla, Yang Maha Menerima dan Mengabulkan Doa, mari kuatkan lagi tauhid dalam akidah dan amaliah.

Beda lagi perjumpaan saya dengan seorang ateis. Tentu saja, saya amat menghormati pilihannya menentukan jalan hidup. Saya hanya bertanya satu hal: apakah seorang ateis tidak percaya adanya Tuhan atau percaya tidak adanya Tuhan? Satu dan lainnya berbeda. Teman saya ini menjawab, ia tidak percaya adanya Tuhan. Inilah jawabannya sebagai ateis. Padanya, saya mengaku salut. Sebab, ia bahkan telah berhasil mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan rasa percayanya sendiri.

"Untuk tidak percaya terhadap suatu hal," saya bilang," Anda bahkan harus lebih dulu mengadakan objek itu atau mempercayai eksistensinya untuk lalu tidak mempercayai keberadaannya." Tapi, perubahan sikap dari percaya ke tidak percaya ini tidak meniadakan keberadaan objek. Bahkan, ia harus tetap ada --untuk tidak dipercayai. Padahal, jika emang tak ada, jangankan untuk dipercaya atau tidak dipercaya, dibicarakan saja tidak. Lalu, untuk apa kita tidak mulai jujur pada diri sendiri?

Qiyamuhu binafsihi, Allah ada karena Dirinya Sendiri, bukan karena ada yang percaya. Allah itu Wujud, Maha Ada, Qidam, Maha Awal, Baqa, Maha Kekal, dan seterusnya. Sifat Allah yang 20 ini dapat diperlajari dalam ilmu tauhid. Kita bisa memilih untuk mempercayai adanya Allah dengan menyaksikan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya. Seperti Ibrahim AS yang semula menuhankan matahari dan rembulan sebelum pada akhirnya ia mengimani Tuhan Pencipta matahari, rembulan, dan semesta raya.

Demikian pula seorang laki-laki tua yang sepanjang hayatnya menyembah patung dan berdoa kepadanya. Pada akhirnya, ia menerima hidayah iman dan tauhid terhadap-Nya. Laki-laki itu tidak lagi menyembah dan berdoa pada patung, "Namun ia kini menyembah dan berdoa pada Tuhan patung itu," kata pembawa kisah bijak ini. Syukur, Allah mengabulkan doa pak tua itu. Namun, bagaimana jika sudah menyembah dan berdoa pada Tuhan Yang Mana Benar, doa tetap tak terkabul? Apa salah kita?

Yang paling melegakan, kita sungguh tidak memegang tanggung jawab untuk mengabulkan doa. Oleh karena itu, tak perlu merasa bersalah jika doa kita tak terkabul. Allah-lah yang memegang hak dan otoritas penuh mengabulkan doa. Yang oleh karena itulah, kita pun tidak selayaknya menyalahkan Allah jika Dia berkehendak tidak mengabulkan doa. Jika pun doa terkabul, itu bukan karena faktor pendoa dan doanya, tapi tetap semata karena Allah mengabulkannya. Inilah tauhid, memurnikan Keesaan-Nya.

Bukan rumah itu yang melindungi siapa pun di bawah atapnya ketika rumah itu melindungi siapa pun yang di bawah atapnya, melainkan sesungguhnya Allah-lah yang melindungi siapa pun yang Dia Kehendaki; baik yang di dalam rumah maupun di luarnya. Bukan doa itu yang menyembuhkan yang sakit; baik dengan wasilah air atau bunga tujuh rupa, atau apa pun, namun Allah-lah yang menyembuhkan. Allah pula yang menjadikan siang dan malam silih berganti, bukan matahari dan bulan.

"Apakah Allah yang menghendaki kita berbuat keburukan ketika kita berbuat keburukan?" tanya seorang pemuda di Suluk Badran, majelis ngaji agama dan budaya yang saya asuh di sebuah desa di Sukoharjo, dekat Solo, Jawa Tengah. Tanpa merasa perlu mengutip Q.S. Asy Syams: 8, "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya," saya menjawab, "Ya begini ini sifat dasar manusia. Suka merasa benar, bahkan paling benar, tapi tidak suka disalahkan. Manusiawi."

Ketika berbuat benar, kita --sebagian dari kita-- suka beranggapan bahwa ini berkat jerih payah kita sendiri. Tapi, jika bersalah, kita --sebagian dari kita-- tidak suka disalahkan, setidaknya tidak mau sendirian disalahkan. Oleh karena itulah, muncul pertanyaan klasik ini di majelis-majelis perenungan tauhid: apakah Allah juga menghendaki kita berbuat buruk? Padahal, jawabannya tak cukup dengan "ya" atau "tidak". Sebab, pahami pula, Allah punya sistem ganjar untuk kebaikan dan keburukan.

Pahala, dan surga, untuk mengganjar pelaku kebaikan. Dosa, dan neraka, untuk mengganjar pelaku keburukan. Dengan memahami ini, menjadi jelas betapa Allah-lah yang menentukan siapa yang Dia kehendaki mendapat petunjuk, siapa pula yang mendapat kesesatan, sebagaimana Q.S. An Nahl: 93. Bukan hak dan otoritas manusia yang untuk menilai dan menghakimi siapa lebih beriman, siapa yang kafir, siapa bergelimang dosa, dan siapa masuk neraka. Kita bukan Tuhan.

Dari zaman ke zaman, agama yang seharusnya menjadi penerang dalam kegelapan justru acap dijadikan api penyulut kebencian dan permusuhan. Perbedaan yang seharusnya disyukuri sebagai rahmat malah dikutuk bagai laknat. Nama Allah juga sering diseru untuk kepentingan yang tidak selalu berkaitan dengan kemaslahatan umat. Bahkan, Allah dan setan diposisikan sebagai partai yang vis a vis. Padahal, setan itu makhluk dan Allah itu Khalik yang, "tiada yang setara dengan-Nya," (Q.S. Al Ikhlas: 4).

Candra Malik budayawan sufi

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads