Berangkat dari pengalaman yang pernah terjadi dan dialami bangsa ini, tahun politik beserta intrik dan manuver politik para aktornya acapkali membuat masyarakat terfragmentasi. Tentu masih segar dalam ingatan, pasca-Pilpres 2014 dan Pilkada DKI tahun lalu, ditambah isu-isu SARA dan sentimen primordial telah membuat suhu politik makin panas. Lebih jauh dari itu, panasnya suhu politik yang terjadi itu telah membuat masyarakat terfragmentasi berdasarkan kepentingannya masing-masing.
Sentimen primordial dan isu SARA di tahun politik 2018 kemungkinan masih menjadi komoditas paling laku. Jika prediksi ini benar, maka kita akan kembali dihadapkan pada situasi di mana masyarakat kembali terpolarisasi. Berita hoax, ujaran kebencian, dan berita-berita provokatif kembali dimainkan untuk menjatuhkan lawan politik, kendati cara ini tergolong ilegal, namun realitasnya sering dimainkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila diidentifikasi, sebenarnya tahun politik ini bak dua muka pada sekeping uang koin. Di satu sisi, tahun politik hadir dengan bayang-bayang kelam instabilitas ekonomi sebagai implikasi dari meningkatnya suhu politik nasional. Di sisi yang lain, tahun politik dapat dijadikan sebagai dongkrak ekonomi nasional.
Imbauan Presiden
Di tengah kegamangan para pelaku ekonomi, pada pengujung 2017 lalu Presiden mengimbau agar para pelaku ekonomi serta investor tetap optimistis melihat perekonomian. Optimisme yang gembar-gemborkan Presiden juga diamini oleh berbagai kalangan. Kondisi ini tentu cukup beralasan, pasalnya secara fondasi makronomi, banyak pihak sepakat bahwa ekonomi Indonesia saat ini sudah berada di jalur yang benar, stabil, dan terus membaik. Dari sisi eksternal, optimisme Presiden didukung oleh fakta bahwa proyeksi ekonomi global kian membaik.
Dari sisi politik, rasa-rasanya masyarakat kita relatif telah matang dalam berdemokrasi. Presedennya, siklus politik rutin semacam pilkada dan pemilihan umum jenis lainnya dapat berlangsung dengan relatif baik. Hal ini terlihat dari pemilihan umum yang telah dilaksanakan tiga kali terhitung sejak 2004. Demikian juga pilkada serentak yang telah dua kali dilaksanakan. Semuanya berjalan relatif aman terkendali, kendati suhu politik sempat memanas.
Selain itu, berdasarkan pengalaman sebelumnya, perekonomian kita cenderung memiliki daya tahan serta kelenturan dalam menyesuaikan dengan suhu politik. Perihal ini tampak dari minimnya dampak kontraproduktif terhadap perekonomian nasional. Kondisi demikian, kiranya dapat menjadi preseden yang tepat untuk mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi di tahun 2018 yang kemungkinan suhu politik akan kembali memanas.
Kendati Presiden mengungkapkan optimismenya dalam menyambut tahun politik, serta preseden dari pemilu sebelumnya, seluruh pihak tentu harus mawas diri. Pasalnya, segala kemungkinan dapat terjadi. Jangan sampai tahun politik yang telah disambut optimisme Presiden malah berbuah sebaliknya. Kita mesti bahu-membahu agar stabilitas politik dan ekonomi di tahun ini tetap terjaga. Harapannya, optimisme Presiden benar-benar terealisasi, dan yang terpenting tahun politik ini benar-benar menjadi tonggak untuk mendongkrak perekonomian kita.
Arifudin mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mataram NTB
(mmu/mmu)











































