Serangan aliansi pasukan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis diluncurkan pada 13 April 2018 ke tiga target termasuk dua fasilitas yang dicurigai sebagai tempat untuk mengembangkan senjata kimia di wilayah Suriah. Publik domestik dan komunitas internasional terbelah dalam menyikapi serangan tersebut.
Banyak yang mendukung serangan pasukan aliansi, namun tidak sedikit yang menolak serangan tersebut dengan dalih yang bervariasi. Bahkan ada yang mengaitkan dengan pertarungan antara sunni dan syiah. Namun yang pasti serangan ini bukanlah pertama kali ke wilayah berdaulat Suriah; sebelumnya pernah dilakukan pada 2017.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hubungan Internasional dan Hukum Internasional
Konflik Suriah bisa dianalisis dengan pendekatan hubungan internasional, hukum internasional, ataupun kombinasi keduanya. Meskipun kedua disiplin ilmu tersebut terkait namun tulisan ini lebih ke hukum internasional.
Dalam perspektif hubungan internasional, serangan ke wilayah Suriah mewakili warisan lama perang dingin dan menjadikan lahan subur bagi proxy war. Namun sumber utama konflik sejatinya berasal dari perseteruan dalam negeri yang sangat rumit dari 4 (empat) pihak yaitu Rezim Assad, Kurdi, ISIS, dan para pemberontak. Masing-masing didukung oleh negara asing termasuk negara besar dan negara tetangga kecuali ISIS.
Sumbu utama konflik adalah sikap represif Pemerintah Suriah terhadap para demonstran pada 2011 sebagai rentetan dari Arab Spring yang menimbulkan perlawanan yang konsisten dari para demonstran atau oposan untuk menggulingkan Rezim Assad.
Perebutan kekuasaan di Suriah memasuki babak baru ketika Rezim Assad diduga kuat menggunakan gas kimia sarin terhadap penduduk sipil sehingga menimbulkan kegeraman dari para penduduk negeri dan komunitas internasional.
Belajar dari Kasus Irak
Serangan aliansi Amerika Serikat merupakan hasil dari sidang DK PBB yang gagal menghasilkan resolusi akibat di-veto oleh Rusia. Serangan unilateral ini sekarang menjadi hal yang lumrah karena telah sering terjadi.
Ingatan kita kembali ke masa penggulingan Rezim Saddam Hussein yang dianggap menyimpan hulu ledak nuklir yang akhirnya tidak terbukti. Saat itu, DK PBB tidak berhasil menyepakati keluarnya "any necessary means" sebagai frasa pamungkas yang memberikan otorisasi negara anggota PBB untuk melucuti senjata nuklir rezim Saddam Hussein dengan berbagai cara termasuk dengan kekuatan militer. Pada akhirnya benar atau salah menjadi hal yang tidak terlalu penting bagi sekutu.
Apa Kabar Hukum Internasional?
Sifat alamiah hukum internasional sangatlah berbeda dengan hukum nasional. Hukum internasional tidak memiliki penegak hukum yang memiliki otoritas untuk memaksa agar pihak yang bersalah dapat mematuhi aturan yang telah disepakati karena ada prinsip consent to be bound dan kedaulatan.
Sebagai ilustrasi, apabila suatu negara yang bukan state party terhadap suatu perjanjian, maka negara tersebut tidak terikat terhadap perjanjian dimaksud. Namun, banyak juga kasus di mana negara tidak mematuhi hukum internasional meskipun terikat oleh putusan tersebut. Salah satu contoh adalah Kasus Laut Cina Selatan.
Dalam kasus Suriah, hukum internasional hanya berfungsi sebagai "toolbox" para pemimpin dunia untuk melakukan justifikasi atas tindakannya. Para pemimpin tersebut akan menggunakan hukum internasional ketika dibutuhkan, namun akan meninggalkannya ketika dirasa tidak sesuai selera dan kepentingan.
Ketidakpatuhan Suriah atas OPCW memantik Amerika Serikat untuk melakukan penyerangan meskipun tindakan tersebut ilegal. Di sisi lain, Suriah juga melanggar konvensi internasional tentang penggunaan senjata kimia.
Unilateral Action dan Norma Baru
Serangan unilateral merupakan doktrin yang berbahaya. Tanpa otorisasi PBB, negara besar bisa menyerang negara lain apabila dirasa berlawanan dengan kepentingan nasional negara tersebut. Apabila terjadi demikian, tidak ada rujukan yang jelas dan pasti kapan dan seberapa besar serangan tersebut dilakukan. Ibarat di ring tinju, ketiadaan wasit dan aturan main akan cenderung membuat pertandingan berlangsung secara brutal dan tidak terukur.
UN Charter secara jelas mensyaratkan dua kondisi yang harus dipatuhi agar serangan menjadi legal menurut hukum internasional yaitu self-defence baik secara kolektif atau individu (Artikel 51) dan melalui otoritas DK PBB (Artikel 42) atas dasar humanitarian intervention. Amerika Serikat telah terikat klausula ini dalam konstitusinya dan memasukkan sebagai "Law of the Land".
Alasan humanitarian intervention juga tidak terpenuhi dalam serangan tersebut karena tiga syarat tidak terpenuhi. Yaitu, bukti kuat yang diakui oleh komunitas internasional, tidak ada alternatif lain selain menggunakan kekuatan, serta ketiadaan parameter necessary and proportionate saat melakukan serangan.
Apakah Amerika Serikat dan sekutu merupakan satu satunya yang melanggar hukum internasional? Negara besar lain seperti Rusia telah melakukan pelanggaran hukum internasional ketika menganeksasi Crimea. Adigum "more power more corrupt" berlaku. Meskipun secara jelas melanggar hukum internasional, tidak ada negara yang melakukan penyerangan ke Rusia. Upaya untuk mendapatkan otorisasi DK PBB juga menjadi mustahil karena di-veto oleh Rusia.
Penggunaan unilateral action tidak akan menyelesaikan masalah. Sebagaimana kasus Irak, apabila rezim Assad tumbang, potensi distabilitas di depan mata karena perebutan kekuasaan telah menunggu. Hal ini bisa dilihat dari proliferasi jumlah pihak yang berkonflik di Suriah. Masing-masing memiliki wilayah kekuasaan dan agenda tersendiri.
Ada dua hal yang bisa disimpulkan. Pertama, hak veto yang dimiliki 5 (lima) negara besar mengebiri hukum internasional. Apabila The Big 5 tidak mencapai kesepakatan, maka unilateral action menjadi pilihan. Hampir tidak mungkin DK PBB mencapai kesepakatan karena hak veto tersebut. Sejarah juga mencatat bahwa penggunaan kekuatan militer unilateral terhadap suatu negara hanya dilakukan oleh The Big 5 atau koalisi yang dipimpin oleh mereka.
Kedua, kasus Suriah merupakan dilema nyata dalam hukum internasional. Suriah dan Amerika Serikat telah melanggar hukum internasional. Pertentangan antara kedaulatan sebuah negara dan korban masyarakat sipil menjadi pilihan yang sulit.
Persoalan mendasarnya adalah sifat hukum internasional yang tidak memiliki penegak hukum sehingga perlu norma hukum baru tentang perlindungan masyarakat sipil dengan kekuatan bersenjata sesuai dengan perkembangan di hubungan internasional. Pilihan lain, negara besar akan dengan mudah menyerang negara lain dengan legal argument yang mengada-ada. Semoga ini tidak terjadi lagi.
Zaki Mubarok mahasiswa Program Doktoral di University of Wollongong; Master of International Law and International Relations of University of New South Wales, Australia dan United Nations Nippon Fellow 2016
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini