Pasca penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) untuk tingkat SMA, masyarakat digegerkan dengan pembahasan tentang soal HOTS (higher order thinking skills) yang mengukur kemampuan berpikir tinggat tinggi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengugat soal-soal HOTS ini karena dinilai menyulitkan siswa. KPAI menyimpulkan adanya malpraktik yang menimbulkan ketidakadilan dalam soal-soal HOTS yang diujikan dalam UNBK.
Pembelajaran HOTS mulai mengemuka sejalan dengan adanya penyempurnaan perubahan standar proses dan penilaian pada kurikulum 2013. Standar proses diarahkan pada pencapaian kompetensi abad ke-21 yang terdiri dari kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Kompetensi ini bisa tercapai apabila proses pembelajaran dan penilaian mengarah pada terwujudnya keterampilan berpikir tingkat tinggi. Sementara keterampilan berpikir tingkat tinggi, dalam rumusan Anderson dan Krathwohl (2001), merujuk pada dimensi proses berpikir pada level menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi ide. Pada konteks ini, soal HOTS merupakan tuntutan kurikulum agar siswa memperoleh keterampilan berpikir sesuai dengan perkembangan zaman.
Di sisi lain, catatan KPAI tentang adanya malpraktik dan ketidakadilan dalam soal HOTS bisa jadi ada benarnya. Namun persoalan ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi produk soalnya saja. Perlu dilakukan analisis mendalam sehingga dapat ditemukan akar masalah dari persoalan ini. Dengan demikian dapat disimpulkan letak malpraktik dan ketidakadilan yang dimaksudkan, apakah pada soal HOTS yang digunakan dalam UNBK ataukah pada aspek yang lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, dilakukan penelusuran terhadap perencanaan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Apakah guru merencanakan pembelajaran HOTS ataukah tidak. Ada tidaknya pembelajaran HOTS dapat dilihat pada tiga hal, yakni rumusan indikator pencapaian kompetensi (IPK), langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Tiga hal tersebut dapat dilihat dari perangkat pembelajaran guru berupa rencana program pembelajaran (RPP).
Ketiga, dilakukan pemantauan terhadap proses pembelajaran. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal berhubungan dengan proses pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Proses pembelajaran harus dipastikan sesuai dengan tuntutan pembelajaran KD HOTS dan IPK HOTS yang dirumuskan oleh guru pada RPP. Jika proses pembelajaran sudah HOTS, maka siswa dapat dipastikan mampu mengerjakan soal HOTS.
Berdasarkan pengalaman saya dalam melakukan pendampingan implementasi kurikulum 2013, baik sebagai Instruktur Nasional maupun Pengawas Sekolah, mayoritas guru belum mampu merencanakan dan mengembangkan pembelajaran HOTS. Alih-alih pembelajaran HOTS, banyak guru yang belum memahami konsep kurikulum 2013, bahkan konsep dasar kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pun belum dipahami secara baik. Tidak sedikit guru yang tidak memahami dimensi proses berpikir pada KD sehingga tidak mampu memetakan KD yang HOTS dan tidak HOTS.
Guru juga kesulitan mengembangkan KD HOTS menjadi IPK HOTS. Tidak jarang IPK yang disusun guru justru mengalami penurunan dimensi proses berpikir dari tinggi ke rendah. Akibatnya pembelajaran menjadi tidak HOTS. Di sinilah sebenarnya akar masalah soal HOTS, yakni ketidakmampuan guru dalam merencanakan dan mengembangkan pembelajaran HOTS. Ketika pembelajaran tidak HOTS, tidak mungkin siswa mampu menyelesaikan soal HOTS.
Sayangnya tidak ada sistem pengawasan yang efektif sehingga mampu mengurai persoalan ini. Berbagai pelatihan berjenjang yang sudah dilakukan, menguap di tingkat implementasi. Tidak ada pendampingan berkelanjutan yang mampu menjadi penjamin mutu implementasi hasil pelatihan. Tampaknya perlu dilakukan audit total terhadap pola pelatihan berjenjang yang selama ini dikembangkan Kemendikbud dalam rangka implementasi kurikulum 2013.
Pelatihan yang menjadikan guru inti sebagai instruktur dan narasumber pelatihan menjadi nilai positif sekaligus titik lemah pada pola ini. Keterampilan teknis guru menjadi nilai positif pada pola ini sehingga pelatihan benar-benar menyentuh wilayah implementatif dan aplikatif. Sayangnya guru inti tidak dibekali kemampuan supervisi akademik sehingga lemah dalam proses pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan. Guru inti juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pendampingan secara terus-menerus karena tugas utamanya mengajar di sekolah masing-masing. Inilah titik lemah pola ini.
Akibatnya pelatihan-pelatihan yang dilakukan berhenti pada tahap awal implementasi hasil pelatihan. Padahal tahap ini biasanya baru pada usaha percobaan. Tidak ada penilaian berkelanjutan apakah implementasi hasil pelatihan benar-benar sesuai dengan yang dikehendaki kurikulum ataukah tidak. Karena tidak ada pendampingan jangka panjang, guru hanya mengandalkan insting keguruannya saja. Akibatnya banyak temuan praktik pembelajaran yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Kita tidak boleh mengulangi kegagalan guru dalam memahami KBK. Meskipun diluncurkan sejak 2004, sampai hari ini atau empat belas tahun kemudian, masih banyak guru yang mengajar dengan desain pembelajaran kurikulum berbasis isi. Memang belum ada hasil kajian yang menyatakan kegagalan ini, tapi kalau mau jujur melihat penampilan guru di kelas, banyak temuan yang dapat menguatkan tesis ini.
Ada kesenjangan yang sangat tajam antara kurikulum dengan kemampuan guru dalam mengimplementasikannya. Kurikulum sudah mengalami perubahan yang cepat dan substantif, tapi cara pandang dan cara mengajar guru tidak berubah. Kesenjangan inilah yang menyebabkan siswa menjadi gagap ketika mengerjakan soal ujian berstandar nasional. Bukan lagi kesenjangan sarana dan prasarana fisik atau fasilitas pembelajaran, melainkan infrastruktur utama pembelajaran, yakni kompetensi guru.
Semoga persoalan ini dapat segera diurai sehingga generasi muda kita mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Bagus Mustakim Instruktur Nasional Kurikulum PAI dan Budi Pekerti pada Direktorat PAI Dirjen Pendis Kemenag