Ujian Nasional (UN) sesungguhnya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Di mana posisi Indonesia berdasarkan laporan PISA 2015 masih berada di peringkat 62 dari 72 negara. Karena itu, UN diharapkan bisa jadi alat pemacu mutu pendidikan kita.
Soal UN tahun ini memang dirancang beda dengan tahun sebelumnya. Soal berisikan daya nalar tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS). Berjenis pilihan ganda dan esai. Yang membuat soal pihak pemerintah dengan porsi 20%-25%, sedangkan 75%-80 % dari guru. Jadi, wajar bila hasil perakitan soal mendapat protes dari peserta UN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua itu menunjukkan betapa siswa SMA itu punya daya nalar kritis dan skeptis. Dari curhatan di medsos kita bisa melihat perspektif siswa mengenai soal Matematika yaitu soal tidak sesuai kisi-kisi, sulit dikerjakan, dan soal tidak relevan dengan keseharian siswa. Sesungguhnya dan senyatanya telah terjadi perbedaan persepsi siswa dengan persepsi birokrat, pembuat soal.
Sebenarnya mudah mencari akar masalah soal Matematika yang memusingkan siswa ini. Kita bisa evaluasi dari proses pembelajaran di kelas dan pembuatan soal. Dari situ, nantinya kita bisa melakukan perbaikan.
Sebagaimana kita tahu, dalam membuat soal ujian mesti mengacu kisi-kisi soal yang sudah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kisi-kisi UN yang ditetapkan BNSP sudah berdasarkan kriteria pencapaian standar kompetensi lulusan, standar isi, dan kurikulum yang berlaku. Bila ada soal yang tidak sesuai kisi-kisi, berarti ada yang salah dalam proses pembuatan soal.
Bisa jadi, pihak pembuat soal kurang bisa menerjemahkan bahasa kisi-kisi. Hal itu bisa jadi karena bahasa dalam kisi-kisi kurang jelas dan multitafsir. Sehingga hasilnya, soal tidak sinkron dengan kisi-kisi.
Soal Matematika yang sulit dikerjakan siswa adalah soal HOTS. Sekitar 10% disediakan soal yang mendorong siswa agar dapat bernalar tingkat tinggi, yakni kemampuan berpikir kritis, evaluatif, dan kreatif. Pangkal persoalannya, dalam keseharian guru masih memakai pembelajaran berpikir di level tingkat rendah (lower order thinking skill/LOTS). Siswa hanya dilatih menjawab soal secara cepat dan tepat. Tak ayal bila kemudian siswa kesulitan menjawab tipe soal HOTS.
Soal Matematika tidak terkait dengan kehidupan di sekitar siswa. Pihak pembuat soal kurang paham konteks yang diharapkan pada kisi-kisi. Mungkin kurangnya pelatihan pembuatan naskah ujian. Sedangkan waktu pengerjaan pembuatan soal relatif singkat. Sehingga kurang menguasai materi dan kreativitas penulisan soal.
Selain itu, juga menandakan pihak pembuat soal kurang mampu mendekatkan soal Matematika dengan kehidupan sehari-hari. Matematika masih dipandang sebagai hal yang teoritis dan seabrek rumus-rumus. Padahal, ujian itu menilai kemampuan siswa mereproduksi pengetahuan matematika, melainkan juga kemampuan siswa mengekstrapolasi pengetahuan matematika, dan menerapkannya dalam menghadapi situasi dalam kehidupan.
Melihat terus munculnya keluhan soal UN yang sulit dari tahun ke tahun, berarti sudah waktunya memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. UN yang diagendakan sebagai bagian upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan biaya yang cukup besar, kualitasnya harus terus ditingkatkan. Meminimalisasi bahkan meniadakan gangguan teknis maupun kebocoran soal mutlak dilakukan.
Perbaikan
Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan untuk perbaikan ke depan. Pertama, proses pembelajaran harus diarahkan kepada proses menumbuhkan kesadaran dan keterampilan berpikir kritis. Siswa tidak melulu fokus berlatih mengerjakan soal-soal UN dari tahun-tahun sebelumnya dan mengikuti uji coba (try out). Terlebih Matematika harus diarahkan pada pembelajaran yang sesuai dengan potensi siswa dan menyangkut permasalahan sehari-hari. Sehingga seperti yang dikatakan Ausebel (dalam Dahar, 1988:137), dapat tercapai pembelajaran bermakna.
Kedua, pelatihan pembuatan soal. Program pelatihan pembuatan soal harus dimasifkan baik oleh komunitas guru seperti KKG/MGMP maupun dinas pendidikan setempat. Pelatihannya harus sampai tuntas. Tidak kejar tayang seperti yang selama ini terjadi dengan alasan keterbatasan anggaran. Padahal alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD. Soal UN harus disusun oleh guru-guru yang berpengalaman dan terlatih. Soal yang disusun oleh guru ditelaah oleh dosen-dosen dari perguruan tinggi. Dengan begitu, hasilnya berkualitas sesuai standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan.
Ketiga, soal UN harus dibakukan terlebih dahulu. Ujian yang belum dibakukan dipandang kurang dapat mencapai tujuan pengukuran itu sendiri (Sax, 1974). Oleh karena itu, soal UN seharusnya diujicobakan terlebih dahulu pada sampel yang cukup besar. Kemudian berdasarkan data yang diperoleh, diadakan analisis untuk menentukan validitas maupun reliabilitas soal secara keseluruhan. Sehingga soal UN benar-benar bisa mengukur hasil belajar siswa.
Keempat, komitmen UN lebih berintegritas harus dijunjung tinggi semua pihak. Dalam pelaksanaanya harus mengedepankan kejujuran. Sebagai ikhtiar untuk menekan kecurangan di satu pihak menekan sekolah berlaku jujur. Di lain sisi, indeks integritas sekolah juga masih relevan dipergunakan. Akhir kata, UN diharapkan turut memperbaiki kualitas pendidikan kita. Bukan malah menyengsarakan peserta didik tiap tahun.
Kurniawan Adi Santoso guru PNS di Sidoarjo, Jatim
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini