Berdasarkan proyeksi Frost & Sullivan, pasar e-commerce Indonesia diperkirakan tumbuh pesat 31% per tahun, menembus US$ 3,8 miliar pada 2019 nanti. Laju pertumbuhannya jauh di atas pasar e-commerce Asia Pasifik yang diperkirakan rata-rata hanya 26% per tahun, atau mencapai US$ 79 miliar pada 2020. Saya sendiri berkeyakinan dan sangat optimistis, dalam lima tahun ke depan industri e-commerce Indonesia akan tumbuh dengan nilai ekonomi sekitar US$ 15 miliar, dan pada 2025 bisa menembus US$ 80 miliar.
Makin agresifnya ekspansi perusahaan e-commerce tentu bukan tanpa landasan ekonomi riil yang jelas. Selain geliat e-commerce pada khususnya, dan ekonomi digital pada umumnya yang potensi pasarnya semakin tak berbatas alias borderless, watak konsumen di Indonesia dan Asia Pasifik pun sudah sangat mendukung berkembangnya pasar digital. Pelaku bisa menjual barang dan jasa dari perusahaan mana saja, tanpa market place. Walhasil, ceruk market yang satu ini kian kompettif, semakin banyak pemain lokal dan global yang berebut kue dan berjibaku menarik kepercayaan konsumen dengan berbagai terobosan dan kekuatan yang berbeda.
Bahkan brand yang awalnya sangat dominan di pasar fisik ikut mencoba menyasar segmen digital. Sebut saja misalnya MatahariMall.com yang konon memiliki keunggulan berkat dukungan jaringan mal dan perusahaan ritel di pasar fisik, yakni Matahari Department Store (Matahari), dan Hypermart dari Lippo Group.
Untuk itu, dengan semakin berkembangnya pasar digital dan beralihnya perilaku konsumen, pemerintah perlu berperan aktif mendorong UMKM masuk ke sektor e-commerce. Baik yang punya produk atau yang semata-mata bergerak di perdagangan, semuanya perlu menggunakan kesempatan yang baik ini. Begitu pula dengan start-up yang juga tak boleh kehilangan kesempatan menjual produknya sampai ke luar pasar nasional, menjangkau pembeli maupun nasabah di tingkat dunia.
Itulah peluangnya. Selama informasinya akurat, produk bagus dan kompetitif, punya nilai tambah, delivery baik, dan cepat merespons keluhan pelanggan, termasuk segera mengganti barang yang tak bagus, maka peluang tumbuh dan besar di pasar digital akan semakin terbuka lebar. Selain itu, yang juga tak kalah penting, sistem pembayarannya harus aman, nyaman, dan mudah.
Mengingat kondisi infrastruktur di Indonesia masih belum terlalu memadai dan akses ke lembaga keuangan relatif rendah, pemerintah bersama perbankan dan operator telekomunikasi perlu membantu memperbaikinya. Harapannya, masyarakat bisa bertransaksi online dengan aman dan nyaman menggunakan uang elektronik seperti kartu kredit, kartu debit, ataupun e-money. Sehingga bisnis e-commerce yang memanjakan konsumen bisa segera menunjukkan kontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan mendongkrak perekonomian nasional.
Harus diakui, e-commerce di Indonesia memang belum terlalu bombastis. Maklum masih tahap awal pertumbuhan. Namun, perdagangan melalui media elektronik diperkirakan tak lama lagi akan mengikuti tren dunia, yakni menyalip laju ritel konvensional. Perkembangan belakangan menunjukkan bahwa pemain nasional kini mulai bermunculan dan pelan-pelan mulai meraih kepercayaan konsumen, bersaing dengan e-commerce asing yang sudah lama ada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebut saja misalnya perusahaan e-commerce gigantis Amazon.com asal Amerika Serikat yang memiliki market cap (kapitalisasi pasar) sebesar US$ 368,49 miliar atau Rp 4.857,62 triliun tahun lalu. Angka tersebut tercatat dua kali lipat lebih dibanding APBN-P RI 2016 yang senilai Rp 2.082 triliun. Harapanya ke depan, e-commerce Indonesia sudah mempersiapkan diri menuju ke sana, yakni melahirkan pemain raksasa minimal level ASEAN, dengan didukung besarnya penduduk, pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, meluasnya penetrasi smartphone dan internet, serta makin banyaknya produk yang dijual.
Secara teoritik, ekonomi digital didefinisikan oleh Amir Hartman sebagai "the virtual arena in which business actually is conducted, value is created and exchanged, transactions occur, and one-to-one relationship mature by using any internet initiative as medium of exchange." (Hartman, 2000). Keberadaannya ditandai dengan semakin maraknya format bisnis atau transaksi perdagangan yang memanfaatkan internet sebagai medium komunikasi, kolaborasi, dan kooperasi antarperusahaan atau pun antarindividu. Perusahaan-perusahaan baru maupun lama yang terjun ke dalam format bisnis elektronik e-business dan e-commerce yang dibicarakan di atas adalah contoh kongkretnya.
Untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan dalam ekonomi digital, para pemain tentu perlu memahami karakteristik dari konsep yang menjadi landasan ekonomi digital tersebut karena sangat berbeda dengan ekonomi klasik yang selama ini dikenal. Tidak jarang bahwa perusahaan harus melakukan transformasi bisnis agar dapat secara optimal bermain di dalam arena ekonomi digital. Pasalnya, untuk mengimplementasikannya, diperlukan model bisnis yang sama sekali baru.
Bagi perusahaan baru (start-up company), untuk terjun ke bisnis sejenis ini biasanya lebih mudah dibandingkan dengan perusahaan yang telah lama berdiri. Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan lama yang ingin memanfaatkan keberadaan ekonomi digital harus mengadakan perubahan mendasar pada proses bisnisnya secara radikal (business process reengineering).
Lalu, bagaimana prospek UMKM jika ingin terlibat aktif dalam pasar digital? Tak bisa dielakkan, untuk meningkatkan digitalisasi UMKM Indonesia maka akses digital kepada UMKM tentu perlu pula ditingkatkan. Mulai dengan meningkatkan melek teknologi dan keuangan, serta meningkatkan jangkauan internet dengan penyediaan broadband yang lebih luas. Di pihak lain, penyedia pembiayaan digital baik dari perbankan maupun fin-tech dan e-commerce juga perlu meningkatkan jenis instrumen dan layanan yang terintegrasi sesuai dengan kebutuhan UKM.
Harus ada upaya untuk segera mengintegrasikan sebagian besar UMKM ke dalam gerak langkah ekonomi digital yang sedang gegap gempita dibicarakan. Ekonomi digital telah menjadi buah dari perkembangan teknologi dalam beberapa tahun terakhir yang berhasil membuat batasan antara dunia digital, fisik, dan biologi menjadi lebur.
Teknologi digital memungkinkan tiap orang bisa terkoneksi satu sama lain, dan arus informasi menjadi lebih cepat dan terbuka, tanpa mengenal batasan negara dan wilayah. Transaksi yang sebelumnya harus dilakukan dengan berhadapan langsung, sekarang bisa dilakukan secara online. Seperti kegiatan memesan taksi, membeli barang-barang, bahkan memesan penginapan dan makanan.
Perkembangan teknologi mengubah model bisnis yang selama ini berlaku. Karena itulah mengapa semua harus melakukan penyesuaian, tidak hanya secara individu, tetapi juga dalam industri dan kegiatan bisnis, utamanya UMKM yang menjadi salah satu tulang rusuk ekonomi nasional. Saya kira, masalah yang dialami pengusaha kecil dan menengah di Indonesia masih yang itu-itu saja, terutama dalam mengembangkan usaha. Mulai dari masalah akses pembiayaan sampai pada masalah informasi yang asimetris.
Masalah akses informasi menyebabkan UMKM kesulitan dalam menyediakan bahan baku yang murah dan berkualitas. Tak hanya itu, mereka juga kesulitan mendapatkan tenaga kerja dan manajerial yang dibutuhkan lengkap dengan informasi soal permintaan dan pasar. Maka dengan memanfaatkan teknologi inilah, kelompok UMKM bisa mengatasi sebagian masalah-masalah di bidang produksi, pemasaran, dan pembiayaan tersebut.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Deloitte pada 2015 terhadap sekitar 437 UKM di Indonesia, pengusaha UKM yang sudah terkoneksi dengan internet ternyata bisa merasakan manfaat lebih banyak. Mereka bisa mendapatkan akses ke pelanggan baru bukan hanya di wilayah Indonesia tetapi juga di kancah internasional. Walhasil, hal tersebut juga bisa meningkatkan penjualan dan pendapatan. Pebisnis UKM juga dimungkinkan untuk melakukan transaksi yang lebih mudah baik dengan pelanggan maupun pemasok, juga melakukan promosi dengan biaya lebih murah.
Namun, sangat disayangkan UMKM di Indonesia belum bisa sepenuhnya memanfaatkan digital untuk mengatasi masalah pembiayaan. Padahal di beberapa negara Eropa, bank konvensional mampu tampil lebih inovatif, bersaing dengan e-commerce dan perusahaan financial technology (fin-tech). Mereka telah memanfaatkan sistem digital untuk membantu UKM, terutama menyelesaikan masalah pembiayaan.
Jadi mau tidak mau, pemerintah harus mencari celah untuk bisa terlibat aktif dalam membesarkan UMKM nasional, terutama untuk pasar digital, mengingat begitu besar prospek ekspansi bisnis yang bisa diraih UMKM. Infrastruktur, berbagai kebijakan untuk kemudahan pembiayaan, dan berbagai terobosan akses pasar baik untuk bahan baku maupun untuk penjualan, perlu diambil agar UMKM juga bisa menikmati pertumbuhan dan perkembangan ekonomi digital di waktu mendatang. Semoga.
Nofi Chandra anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)