Dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia yang memberi ruang sebebas-bebasnya bagi masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, tidak heran bila banyak bermunculan partai politik dalam setiap kontestasi politik. Tetapi sistem presidensil menurut Scott Mainwaring tidak cocok dengan sistem multipartai, dan dapat menciptakan demokrasi yang tidak stabil.
Selain itu, presiden dapat mengalami resistansi apabila terjadi multipartai dalam parlemen karena Legislatif lebih dominan. Oleh karena itu harus ada pembatasan jumlah partai politik untuk masuk ke dalam parlemen, salah satunya dengan menggunakan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pada Pemilihan Umum 2009, partai politik yang sebelumnya tidak mendapat kursi di parlemen pada Pemilihan Umum 2004 --dan seharusnya tidak diperbolehkan menjadi peserta pemilihan umum-- dapat menjadi peserta pemilu dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-VI/2008. Hal ini mengakibatkan banyaknya partai politik peserta Pemilihan Umum 2009, yakni 44 parpol (7 partai politik lokal Aceh) --di mana 28 parpol tidak lolos ambang batas.
Kemudian menjelang Pemilihan Umum 2014, Undang-Undang Pemilu kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, di mana Pasal 208 menetapkan bahwa ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5%. Pada Pemilu 2014 sebanyak 15 partai politik ikut serta (3 partai politik lokal Aceh), dan yang tidak lolos ke parlemen ada dua partai.
Selanjutnya Undang-Undang Pemilu tersebut diubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dengan ketentuan ambang batas parlemen kembali dinaikkan, menjadi 4% dari suara sah nasional. Pihak penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan partai politik peserta Pemilu 2019.
Dari partai-partai politik yang lolos tersebut salah satu yang menarik untuk diamati adalah pergerakan partai-partai politik yang baru. Selain mereka sudah dinyatakan oleh KPU lolos verifikasi, tugas partai politik baru ini tidak sampai di situ saja. Partai politik baru ini juga mempunyai tugas yang cukup berat untuk mendelegasikan kadernya untuk duduk di parlemen, apabila tidak hanya mau jadi penggembira dalam pesta demokrasi 5 tahunan tersebut.
Selain mereka masih baru, dan belum mempunyai loyalitas yang teruji dan mengideologi seperti partai politik yang telah lama berkiprah dalam kontes pemilihan umum di Indonesia, juga tantangan ambang batas parlemen/parliamentary threshold yang akan dihadapi. Adapun partai-partai baru yang menjadi kontestan pemilu kali ini adalah Partai Persatuan Indonesia (PERINDO), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (GARUDA), dan Partai Berkarya.
Pada Pemilu 2014 satu-satunya partai politik baru pada saat itu dapat lolos ambang batas parlemen yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Partai Nasdem kala itu bahkan dapat mengalahkan partai yang lebih dahulu mengikuti pemilihan umum yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang tidak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2014.
Keempat partai baru tersebut harus dapat memperoleh suara yang signifikan apabila tidak mau hanya numpang lewat dalam kontestasi Pemilu 2019. Caranya, tentu dengan menawarkan program-program yang lebih bagus dari partai yang ada agar pemilih tertarik untuk memilih mereka. Keempat parpol baru tersebut juga harus pada menggunakan berbagai macam strategi partai untuk dapat mendudukkan kadernya di parlemen.
Apakah keempat partai tersebut dapat mengikuti jejak Partai Nasdem pada Pemilu 2014 yang langsung berhasil mendelegasikan kadernya di parlemen? Oleh karena itu menarik untuk menunggu hasil perhitungan suara partai-partai baru tersebut pada Pemilu 2019 nanti.
Aan Julianda Wasekjen PB HMI 2018-2020
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini